Tanpa Isolasi Ketat, Risiko Kluster Keluarga Pasca-Unjuk Rasa di Depan Mata
Adanya unjuk rasa tanpa protokol kesehatan Covid-19 memastikan akan ada kenaikan kasus dalam dua pekan ke depan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Risiko meningkatnya kluster keluarga dalam penularan Covid-19 patut kian diwaspadai. Kepatuhan masyarakat menjalankan protokol kesehatan dan peningkatan kapasitas serta kecepatan pengetesan sampel, juga penelusuran kontak pasien positif yang semestinya menjadi keniscayaan, masih jauh panggang dari api.
Kluster keluarga berarti dalam satu keluarga ada lebih dari satu orang yang terinfeksi Covid-19. Akan tetapi, penyebab anggota keluarga pertama terinfeksi virus korona baru tersebut harus dipastikan para pakar kesehatan dan epidemiologi berasal dari luar rumah. Misalnya, melalui interaksi tanpa masker, menjaga jarak, ataupun menyentuh benda-benda di sekitar, lalu menyentuh wajah tanpa membersihkan lebih dulu.
”Adanya unjuk rasa memastikan akan ada kenaikan kasus dua pekan ke depan. Oleh sebab itu, hal terpenting yang harus dilakukan sekarang ialah mengajak orang-orang yang mengikuti unjuk rasa untuk mengisolasi diri selama 14 hari guna mencegah penularan Covid-19 ke keluarga ataupun orang lain,” kata pakar Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, ketika dihubungi dari Jakarta, Selasa (13/10/2020).
Pada PSBB pertama Maret hingga Mei, tingkat kepatuhan penduduk hanya 60 persen. Ketika ada PSBB transisi, jumlah kasus melonjak karena kedisiplinan masyarakat beserta pengawasannya merosot tajam. (Iwan Ariawan)
Ia memaparkan, paling ideal memang mengisolasi orang-orang yang terlibat unjuk rasa dan yang tidak menjaga jarak di tempat khusus supaya pengawasan dan pemeriksaan perkembangan aktivitas virus di dalam tubuh terkendali. Permasalahannya, tempat isolasi kemungkinan tidak cukup menampung.
Isolasi mandiri di rumah hanya bisa dilakukan jika ada ruangan khusus untuk individu terduga itu bisa tinggal 14 hari. Pada waktu bersamaan, seluruh anggota keluarga juga dikarantina di rumah. Tidak boleh keluar, sekalipun untuk berbelanja kebutuhan pokok. Artinya, harus ada penjaminan kesejahteraan mereka tercukupi selama masa karantina.
Iwan paham bahwa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang ketat merupakan langkah darurat yang tidak bisa dilakukan terus-menerus karena roda ekonomi dan kegiatan manusia harus bergulir. Meskipun begitu, pelonggaran tidak boleh dilakukan mendadak tanpa mengikuti perkembangan data terbaru, seperti bertambahnya risiko kenaikan kasus positif akibat unjuk rasa berhari-hari.
Faktor terpenting ialah menyiapkan dan menerapkan skenario untuk menjalani kehidupan di masa pandemi. Indikator pelonggaran bahwa situasi sudah cukup aman sehingga PSBB bisa mulai dilonggarkan ada dua. Pertama, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan memakai masker, menjaga jarak, dan sering mencuci tangan dengan air sabun mencapai 85 persen.
”Pada PSBB pertama di bulan Maret hingga Mei, tingkat kepatuhan penduduk hanya mencapai 60 persen. Ketika ada PSBB transisi, jumlah kasus melonjak karena kedisiplinan masyarakat beserta pengawasannya merosot tajam,” papar Iwan.
Menurut dia, kepatuhan terhadap protokol kesehatan adalah masalah budaya masyarakat Indonesia. Perilaku ini harus dibiasakan dan di saat darurat seperti pandemi harus ditanamkan dengan berbagai cara, mulai dari persuasif hingga koersif. Sebab, standar kepatuhan 85 persen itu patokan internasional yang tidak bisa ditawar.
Negara-negara seperti Skandinavia, Taiwan, dan Jepang bisa mencapai angka itu karena faktor pemahaman masyarakatnya terhadap bahaya Covid-19, penegakan kedisiplinan, dan khusus di Asia Timur memang sudah ada kebiasaan memakai masker ketika berada di tempat umum.
Indikator kedua adalah kecepatan tes Covid-19, analisis sampel, dan penelusuran kontak erat pasien harus bisa dilakukan kurang dari 48 jam. Standarnya ialah hasil analisis tes Covid-19 keluar maksimal 24 jam setelah individu diperiksa. Setelah itu langsung dilakukan pelacakan orang-orang yang berinteraksi dengan pasien tersebut dan maksimal 48 jam seusai tes dilakukan ke pasien pertama para kontaknya juga menjalani tes usap.
”Kesuksesan penanganan pandemi bukan dari jumlah sampel yang diambil. Percuma jika sampel mengantre di laboratorium berhari-hari. Setelah itu butuh beberapa hari lagi untuk melacak kontak pasien. Virusnya sudah telanjur menyebar,” papar Iwan.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) DKI Jakarta Widyastuti, pekan lalu, mengakui bahwa kapasitas laboratorium yang menganalisis sampel tes reaksi berantai polimerase (PCR) terbatas. Belum lagi fasilitas kesehatan swasta yang melakukan tes PCR mandiri tidak langsung melaporkan hasil tes kepada dinkes. Akibatnya, butuh setidaknya sepekan bagi dinkes dan puskesmas lokal untuk melakukan pelacakan kontak.
Inisiatif pasien
Kepala Puskesmas Kecamatan Menteng IGA Rusmala Dewi mengutarakan bahwa kecepatan pelacakan kontak kini bergantung pada inisiatif setiap pasien positif Covid-19. ”Kami menerima telepon ataupun korespondesi di media sosial puskesmas dari para pasien positif yang melakukan tes PCR mandiri di klinik atau rumah sakit swasta langsung setelah mereka memperoleh hasil. Dengan demikian, kami bisa segera memulai penelusuran,” ujarnya.
Meskipun demikian, Dewi tidak bisa memastikan jika semua warga Menteng sudah memiliki kesadaran seperti itu. Apalagi, kini tes massal di rukun tetangga (RT) sudah ditiadakan sejak akhir Agustus. Puskesmas-puskesmas kini fokus mencari kontak erat pasien positif, minimal 10 kontak per pasien.
”Pasien positif kami dapat dari pemeriksaan di puskesmas, lapor diri pasien yang diperiksa di fasilitas swasta, dan data dari Dinkes Jakarta,” kata Dewi.
Jonathan Aditama, penanggung jawab penanganan Covid-19 Puskesmas Kecamatan Menteng, memaparkan, puncak kasus positif terjadi pada September, yakni dengan rata-rata 60 pasien per hari. Setelah Pemerintah Provinsi Jakarta memperketat PSBB selama dua pekan, rata-rata kasus positif pada Oktober adalah 36 orang per hari.
Ia mencemaskan PSBB transisi mengakibatkan lonjakan kasus. Pembukaan kembali izin makan di tempat untuk rumah-rumah makan sangat berisiko karena meski tempat duduk sudah dijarangkan, bahkan dipasangi sekat, pengunjung harus membuka masker ketika makan. Penting ada kebijakan pengelola rumah makan memastikan pengunjung tidak berbicara tanpa bermasker.
”Apabila pengunjung datang berdua dan bercakap-cakap sambil makan atau mengobrol di telepon, droplet virus korona bisa menyebar di udara dan menempel di perabotan restoran ataupun orang yang kebetulan melintas di dekatnya,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Pemerintahan sekaligus anggota Satuan Tugas Pencegahan Covid-19 Kecamatan Tebet Lukman Haris mengatakan telah menyiapkan skenario mencegah penularan terjadi di pengungsian akibat banjir. Saat ini, belum ada warga yang harus meninggalkan rumah karena kebanjiran.
”Selain rumah ibadah dan posko-posko reguler, kami juga memanfaatkan sekolah-sekolah. Jadi, setiap titik pengungsian kuotanya dibatasi agar warga bisa menjaga jarak,” ucapnya.