Sejumlah Pihak Khawatirkan Kasus Naik akibat Unjuk Rasa
Unjuk rasa yang memunculkan kerumunan besar selama berhari-hari berpotensi memunculkan kluster-kluster baru penularan Covid-19
Oleh
Helena F Nababan
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di saat DKI Jakarta kembali menerapkan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi mulai Senin (12/10/2020), sejumlah pihak mengkhawatirkan penambahan kasus serta potensi kluster baru karena dalam dua hari ini. Potensi kluster baru yang dimaksud merujuk pada aksi unjuk rasa yang mengakibatkan terjadinya kerumunan orang.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Hariadi Wibisono, Selasa (13/10/2020) menegaskan, DKI Jakarta mungkin bisa beralih ke PSBB transisi dari PSBB ketat hanya kalau yakin sudah ada kurva kasus positif atau tingkat penularan yang melandai.
”Namun, dengan adanya demo yang masif setiap hari, banyak orang yang terlibat dan tanpa memperhatikan protokol kesehatan. Saya khawatir di hari-hari mendatang, akan muncul kluster eks demosntran dan kluster petugas keamanan,” kata Hariadi.
Hariadi mengkhawatirkan peningkatan kasus bukan hanya di DKI Jakarta. ”Sekarang demo marak di kota-kota lain. Maka risiko peningkatan kasus akan besar di kota-kota tersebut,” katanya.
Kekhawatiran senada juga diungkapkan Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya. ”Dengan kasus harian yang masih tinggi, serta adanya demontrasi, potensi kasus semakin naik bisa terjadi. Kami melihat perpindahan dari PSBB ”total” ke transisi sebetulnya tidak terlalu signifikan karena PSBB total kemarin juga masih hampir sama dengan PSBB transisi,” jelas Teguh P Nugroho, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya.
Ia katakan hampir sama karena pembatasan pada perkantoran dan industri juga tidak total seperti PSBB awal di bulan April. ”Sejauh ini pantauan kami dan laporan yang masuk ke kami masih sama dengan yang sebelumnya,” jelas Teguh.
Untuk itu, Ombudsman RI Perwakilan Jakarya Raya menyarankan beberapa hal kepada Pemprov DKI untuk bisa ditindaklanjuti selama PSBB transisi ini. Pertama, lanjut Teguh, tetap terkait dengan penguatan regulasi agar Pemprov DKI Jakarta bisa dengan tegas menindak para pelanggar protokol kesehatan.
Kedua, Pemprov DKI diharapkan bisa melakukan penelusuran kasus yang massif dan penyediaan isolasi bagi yang terduga tertular atau orang tanpa gejala, baik secara mandiri maupun di fasilitas pemerintah.
”Mumpung perda tentang penanggulangan Covid-19 belum disahkan, SE Kemenkes terkait harga tes PCR agar tidak melebihi Rp 900.000 sebagai harga tertinggi dapat dimasukkan ke sana. PCR mandiri pada dasarnya adalah bantuan dari masyarakat dalam proses tracing, tanpa mengandalkan biaya dari pemerintah dan hasilnya bisa dijadikan data penelusuran,” kata Teguh.
Untuk tes PCR mandiri itu, Teguh melanjutkan, Ombudsman masih menemukan rumah sakit yang mengambil keuntungan terlalu besar dari biaya PCR.
”Kami juga masih menemukan puskesmas yang setelah mendapat data PCR mandiri dari suspek Covid-19, menyuruh suspek untuk mencari rumah sakit sendiri. Itu kami temukan di Puskesmas Mampang. Kami juga menemukan ada keluarga suspek yang tidak langsung ditelusuri oleh puskesmas dengan tes usap,” jelasnya.
Ketiga, Ombudsman berharap ada penguatan pengawasan terhadap aktivitas perkantoran dan industri. Itu karena selain dari jumlah yang melebihi pembatasan 50 persen, banyak perkantoran yang mengakali untuk menghabiskan anggaran dengan membuat kegiatan bersama di luar kota tanpa menerapkan protokol kesehatan, termasuk kewajiban isolasi mandiri setelah keluar kota selama 14 hari.
Untuk itu, lanjut Teguh, yang keempat, Pemprov DKI mesti membangun gugus tugas bersama sebagai kesatuan megapolitan bersama daerah penyangga.
”Itu karena banyak kantor kementrian dan lembaga yang membuat kegiatan bersama di daerah penyangga, seperti Bogor, Tangsel dan Bekasi. Hal itu berpotensi menjadi kluster keluarga dan kluster perkantoran,” jelasnya.
Pemprov, jelas Teguh, seharusnya melibatkan masyarakat di tingkat RW/RT untuk melakukan pengawasan melalui program RW siaga, termasuk pelibatan bhabinkamtibmas dalam pengawasan suspek Covid-19. Pemprov DKI, lanjut Teguh, seharusnya juga melakukan evaluasi terhadap layanan transportasi daring agar mematuhi protokol kesehatan.
Sejauh ini, aplikator baru melakukan klaim sepihak bahwa para mitranya melakukan disinfeksi dan mengukur suhu mereka. Tapi terkait pembatas antarpengemudi dan penumpang ojol, sampai saat ini belum berjalan dan berpotensi menjadi kluster ojek daring.
”Tentu saja itu termasuk pembatasan ojek online dan taksi daring untuk menerima pesanan dari kawasan zona merah ditingkat RT/RW,” Teguh menegaskan.
Terpisah, menanggapi kekhawatiran akan munculnya kluster demonstrasi, Wakil Gubernur DKI Jakarat Ahmad Riza Patria menyatakan, Pemprov DKI menghormati warga Jakarta yang melakukan aksi unjuk rasa.
”Namun, kami mohon dilakukan secara baik, menggunakan masker (dan) menjaga jarak. Tentu harapan kami tidak dalam jumlah yang besar karena berpotensi menimbulkan kerumunan dan akhirnya dapat menimbulkan penyebaran Covid-19 dan bahkan menimbulkan suatu kluster baru,” jelasnya.
Adapun terkait RW siaga, Ahmad Riza Patria menjelaskan, kemungkinan pertambahan kasus di kluster keluarga diantisipasi sejak awal dengan cara setiap KK menunjuk satu anggota keluarga menjadi satgas di RW.
Kader Covid-19 itu tugasnya memastikan semua anggota keluarga melaksanakan protokol kesehatan dan terus berkoordinasi dengan pimpinan setempat, seperti RT/RW dan lurah, untuk saling mengisi dan melengkapi. Selain itu, juga terus peduli sesama warga sekitarnya dan terus memberikan informasi dan kondisi dari anggota keluarga untuk dapat diketahui RT/RW dan diteruskan kepada instansi terkait.
Dengan PSBB transisi yang diwarnai pelonggaran di sejumlah aspek, termasuk restoran atau rumah makan atau kafe atau tempat rekreasi, Ahmad Riza memastikan, selama dua minggu ke depan sepanjang 12-25 Oktober, ada kebijakan baru.
”Pada pembukaan unit-unit ini, kami meminta ada pendataan pengunjung keluarga yang memasuki unit-unit tersebut. Jadi didata namanya, nomor KTP, dan telepon genggamnya dengan tujuan untuk mempermudah pencegahan dan penanganan apabila ditemukan yang terpapar virus korona,” jelas Ahmad Riza.
Dalam hal penanganan Covid-19 di DKI Jakarta, Ahmad Riza juga berharap, raperda tentang penanggulangan Covid-19 yang tengah dibahas bisa menajdi suatu regulasi yang komprehensif, holistik, lebih lengkap, detail, dan rinci yang bisa memastikan perlindungan bagi warga Jakarta dari penyebaran virus Covid-19.
”Harapan kami DPRD bisa lebih cepat lagi melakukan pembahasan dan penuntasan dari perda Covid-19,” katanya.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi menegaskan, meski saat ini DKI sudah masuk PSBB transisi di saat raperda penanggulangan Covid-19 masih berlangsung, ia berharap pimpinan yang tergabung dalam Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompinda) serta kepada daerah terkait mau untuk turun ke lapangan untuk turut mengawasi pencegahan dan pengawasan secara langsung.
”Forkompinda, semua pemerintah daerah yang terkait, apa caranya turun ke bawah ya tim timnya semua turun ke bawah, mengecek lapangan,” katanya.
Menurut Prasetio, dengan adanya gugus tugas di tingkat provinsi, seharusnya juga bisa memberikan gambaran jelas bagaimana penanganan Covid-19, mulai dari yang terkena atau tertular hingga masyarakat yang terdampak.
Untuk itu, dengan adanya kebijakan pencatatan dan pendataan pengunjung di tempat umum ataupun kafe/restoran/tempat makan, ia menilai kebijakan itu baik dan bisa menjadi cara pengawasan dan penelusuran.
”Apalagi, belajar dari libur panjang lalu saat PSBB transisi, warga Jakarta banyak yang keluar Jakarta dan tidak menjaga protokol. Cara pendataan ini bijaksana untuk pengetatan pengawasan,” kata Prasetio.