Pelajar Bekasi Dicegah Demo ke Jakarta, Elsam Nilai Ada Kontradiksi dalam Penanganan Unjuk Rasa
Sebanyak 32 pelajar yang akan berdemonstrasi ke Ibu Kota ditangkap polisi di Stasiun Bekasi, Kota Bekasi. Mereka dinilai belum cukup umur untuk terlibat unjuk rasa.
Oleh
STEFANUS ATO
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota mencegah 32 pelajar di Stasiun Bekasi, Kota Bekasi, Jawa Barat, yang bergerak menuju Jakarta pada Selasa (13/10/2020) siang. Para pelajar itu diduga berangkat ke Ibu Kota untuk mengikuti unjuk rasa. Secara keseluruhan, ada 11 titik penyekatan dari polisi guna mencegah warga, terutama pelajar, yang akan mengikuti unjuk rasa di Jakarta.
Wakil Kepala Kepolisian Resor Metro Bekasi Kota Ajun Komisaris Besar Alfian mengatakan, Polres Metro Bekasi Kota mengerahkan 419 personel kepolisian dibantu 252 personel TNI, 120 petugas satpol PP, dan 100 petugas dinas perhubungan untuk menjaga serta menyekat di 11 titik perbatasan dan 6 obyek vital di Kota Bekasi. Salah satu dari enam obyek vital itu adalah Stasiun Bekasi.
”Penyekatan di 11 titik dan 6 obyek vital. Kami saat penyekatan mengimbau agar penyampaian aspirasi di wilayah Kota Bekasi saja, di DPRD Kota Bekasi atau Pemkot Bekasi. Supaya tidak terlalu padat di Jakarta,” kata Alfian, di Bekasi, Selasa (13/10/2020).
Dari hasil peyekatan polisi hingga Selasa siang, ada 32 pelajar yang diamankan di Stasiun Bekasi Kota. Puluhan pelajar itu diduga akan menumpang kereta rel listrik untuk mengikuti unjuk rasa di Ibu Kota.
TNI dan Polri senantiasa siap mengawal demonstrasi guna menjamin keamanan dan ketertiban di ibu kota RI. Unjuk rasa pun dibolehkan sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. (Irjen Nana Sudjana)
Kepala Kepolisian Sektor Bekasi Utara Komisaris Chalid Thayib mengatakan, penyekatan di stasiun menyasar warga yang akan berangkat ke Jakarta untuk mengikuti unjuk rasa. Proses penyekatan di stasiun dilakukan dengan menggeledah barang bawaan warga untuk mengantisipasi barang-barang berbahaya, seperti bom molotov atau benda tajam.
”Sasaran penyekatan ini lebih kepada pelajar atau anak-anak sekolah. Mereka dilarang unjuk rasa karena masih di bawah umur. Mereka sekadar ikut saja tanpa tahu apa substansi atau isi tuntutan unjuk rasa,” kata Chalid.
Selama proses penyekatan sejak Selasa pagi hingga siang, 32 pelajar diamankan polisi. Para pelajar itu akan dibina, termasuk memanggil guru dan orangtua para pelajar tersebut.
”Kami panggil orangtua dan gurunya (untuk menjelaskan) kalau mereka belum boleh melakukan unjuk rasa. Mayoritas para pelajar ini berasal dari daerah Ujung Harapan, Babelan, Kabupaten Bekasi,” kata Chalid.
Di Jakarta, terkait unjuk rasa hari Selasa, Kepala Polda Inspektur Jenderal Nana Sudjana memastikan sudah ada yang menyampaikan pemberitahuan, yaitu kelompok Aliansi Nasional Anti-Komunis (ANAK) NKRI. Mereka berencana menghadirkan 1.000 peserta aksi.
Nana menyatakan, TNI dan Polri senantiasa siap mengawal demonstrasi guna menjamin keamanan dan ketertiban di ibu kota RI. Unjuk rasa pun dibolehkan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Namun, Nana mengingatkan, jika aksi berubah menjadi anarkistis, TNI dan Polri akan menindak tegas dengan penegakan hukum. ”Sesuai arahan Kapolri, jelas kami akan mengedepankan upaya-upaya persuasif dan humanis, tetapi tegas. Itu yang selalu kami lakukan dalam melayani masyarakat,” ujarnya.
Kontradiksi penanganan demonstrasi
Dalam keterangan tertulisnya, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman menilai, terdapat kontradiksi dalam penanganan demonstrasi dan mogok kerja pada 6-8 Oktober lalu. Polri melarang aksi-aksi unjuk rasa dengan alasan menekan risiko penyebaran Covid-19 dari adanya pengumpulan massa. Anehnya, pemerintah dan DPR kukuh menyelenggarakan Pilkada 2020 yang potensi destruktifnya lebih besar terhadap upaya pencegahan infeksi Covid-19.
Terkait kericuhan yang memuncak dalam gelombang demonstrasi tanggal 8 Oktober, pemerintah dan anggota Dewan semestinya paham bahwa kondisi itu dipicu sikap pemerintah dan DPR yang mengabaikan aspirasi masyarakat yang menolak pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU.
”Pendekatan keamanan yang digunakan oleh pemerintah dengan menggunakan aparat keamanan hingga menyebabkan aksi-aksi represif terhadap massa demonstran menunjukkan pemerintah sudah melakukan pelanggaran HAM (hak asasi manusia),” kata Wahyu.