Gelombang unjuk rasa memicu longgarnya pembatasan sosial selama pandemi Covid-19. Hal ini rentan memunculkan kluster penularan baru.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Persetujuan DPR pada Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memicu unjuk rasa di banyak daerah. Sebagian aksi itu berlangsung dengan kontak fisik. Pada situasi tersebut, sulit untuk menerapkan protokol kesehatan agar paparan virus korona dapat dihindari.
Ketua Satuan Tugas Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban mengingatkan, kerumunan unjuk rasa bisa memicu kluster penularan baru. Pada kerumunan itu, orang sehat dan orang tanpa gejala berkumpul menjadi satu. Percikan air dari mulut saat berbicara, batuk, ataupun bersin pasti akan mudah menyebar antarorang.
Pembatasan sosial semestinya terus dilakukan selama kurva pandemi belum landai. Hingga 8 Oktober, total pasien positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 315.714 orang. Sebanyak 11.472 orang di antaranya meninggal. ”IDI terus terang sangat khawatir akan terjadi kluster penularan baru. Kluster ini bisa berdampak pada membeludaknya jumlah pasien positif beberapa pekan mendatang. Jika seperti itu, tenaga medis pasti akan kewalahan melakukan pelayanan kesehatan di kemudian hari,” tutur Zubairi.
Di Jakarta, unjuk rasa pada Kamis (8/10/2020) pagi hingga sore terjadi di beberapa lokasi, di antaranya Kompleks Parlemen, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, dan kawasan Harmoni. Kerumunan massa terlihat tanpa jarak ideal untuk menghindari paparan virus korona.
Massa yang mengatasnamakan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan Konferensi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) berkumpul sejak pukul 10.00 di sekitar Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta Pusat. Massa tersebut menghentikan di sana memarkir kendaraan di jalan sambil menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.
Saat unjuk rasa, praktik pembatasan sosial tidak bisa diterapkan. Tidak ada jaga jarak fisik minimal 1 meter di antara peserta aksi. Sebagian pengunjuk rasa di sana juga tidak lagi memakai masker. Imbauan terkait pembatasan sosial tidak lagi dihiraukan. ”Percuma buruh mendengar imbauan pemerintah. Mereka saja tidak mendengar keluhan kami,” kata Lucky (32), pekerja yang tergabung dalam SPSI.
Dia awalnya berunjuk rasa di sekitar kantor Wali Kota Bekasi, Jawa Barat. Saat jumlah peserta aksi semakin banyak, ada yang mencetuskan ide untuk berangkat ke Kompleks Parlemen di Jakarta.
Sedikitnya ada lima rombongan pengunjuk rasa di sekitar Kompleks Parlemen hingga Kamis sore. Yudha (24), buruh yang tergabung dalam KSPSI, hanya menekankan penggunaan masker selama unjuk rasa. Hal tersebut lantaran persiapan unjuk rasa yang serba spontan hari itu.
Menurut Yudha, massa hari itu ingin menyuarakan upah pekerja yang semakin sedikit di masa pandemi. Dirinya sendiri sejak Juli dibayar Rp 110.000 per hari dengan jadwal masuk dua kali dalam sepekan. ”Selama pandemi, pekerja kontrak seperti saya tidak lagi masuk setiap hari. Jadwal ini berpengaruh ke upah kerja yang semakin sedikit. Buruh di sini ingin mempertanyakan perlindungan negara untuk kalangan seperti kami,” tuturnya.
Kepala Kepolisian Sektor Metro Tanah Abang Ajun Komisaris Besar Raden Muhammad Jauhari mengimbau, massa jangan berkerumun meski sedang berunjuk rasa. Massa di sekitar Kompleks Parlemen hari itu hanya berunjuk rasa sekitar 15 menit di Jalan Gerbang Pemuda. Setelah itu, polisi meminta massa untuk pergi ke rumah masing-masing.
”Setelah (unjuk rasa) ini, saya harap massa pulang dan mandi. Cegah kerumunan, kita semua tidak ingin terjadi penularan Covid-19,” kata Jauhari lewat alat pengeras suara.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, sejak awal, Muhammadiyah sudah meminta DPR untuk menunda, bahkan membatalkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Selain karena masih dalam masa darurat pandemi Covid-19, usulan ketentuan dalam RUU Cipta Kerja juga masih banyak yang kontroversial.
Bukan hanya itu, RUU tersebut juga tidak mendapatkan tanggapan yang memadai dari masyarakat. Padahal, semestinya sebuah RUU disusun dengan pertimbangan dan masukan dari berbagai elemen masyarakat.
Mu’ti berharap publik memilih jalan konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi jika ada pasal yang memberatkan atau merugikan. Penyampaian keberatan melalui unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan bisa menimbulkan permasalahan baru karena digelar saat Covid-19 belum berhasil dikendalikan.
”Demo dan unjuk rasa tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan akan menimbulkan masalah baru,” ujar Mu’ti. Tak hanya potensi penularan Covid-19, unjuk rasa juga dikhawatirkan akan menimbulkan masalah sosial-politik lainnya.
Pemerintah juga diharapkan bisa memahami suasana psikologis dan kekecewaan masyarakat. ”Pemerintah hendaknya tidak menggunakan pendekatan kekuasaan semata dalam menanggapi masyarakat yang kecewa,” ungkap Mu’ti. Pemerintah semestinya membuka dialog dengan masyarakat, terutama mereka yang keberatan dengan UU Cipta Kerja.
Terkait itu, ahli epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menekankan, jika pemerintah peduli dengan kesehatan publik, pemerintah semestinya tidak membuka wacana regulasi yang kontroversial di mata publik. Hal ini juga menandakan pemerintah tidak serius dalam penanganan situasi pandemi.
”Kalau memang serius dalam penanganan pandemi, pemerintah pasti sudah memetakan akan ada situasi kerumunan yang merespons RUU Cipta Kerja. Pemerintah juga cenderung tidak membuka ruang dialog bagi publik. Kalau situasi dibiarkan seperti sekarang, ya, memang pemerintah tidak serius dalam menangani pandemi,” kata Pandu.