Pemkot Bogor dan Depok Dukung Penetapan Batas Atas Tes Usap
Penetapan harga batas atas tes usap sebesar Rp 900.000 diharapkan semakin banyak warga yang menjalani tes usap mandiri. Hal ini tentu akan membantu pemerintah setempat agar pandemi Covid-19 semakin terkendali.
Oleh
AGUIDO ADRI
·5 menit baca
BOGOR, KOMPAS — Pemerintah Kota Bogor dan Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat, belum menerima surat edaran dari Kementerian Kesehatan terkait aturan batas tarif tertinggi tes usap mandiri sebesar Rp 900.000. Meski demikian, pemerintah setempat menyambut positif penetapan harga batas atas tes usap oleh Kementerian Kesehatan dan akan membantu mengawasi pelaksanaan tes usap mandiri sesuai ketentuan aturan.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan pada 5 Oktober mengeluarkan Surat Edaran No.HK.02.02/I/3713/2020 tentang batasan tarif tertinggi pemeriksaan real time polymerase chain reaction (RT-PCR). Melalui SE tersebut, Kementerian Kesehatan mengatur batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan RT-PCR, termasuk pengambilan spesimen adalah Rp 900.000. Batasan tarif itu berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan RT-PCR atas permintaan sendiri atau mandiri.
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim di Bogor, Selasa (6/10/2020), mengatakan hingga Selasa sore belum menerima surat edaran dari Kementerian Kesehatan terkait batas atas tes usap. Meski demikian, Pemerintah Kota Bogor mendukung upaya kementerian Kesehatan dengan menetapkan harga batas atas untuk layanan tes usap PCR (reaksi rantai berpolimerase) sebesar Rp 900.000.
Penetapan harga atas tersebut, kata Dedie, memberikan kesempatan kepada warga Kota Bogor agar aktif secara mandiri menjalani tes usap agar pandemi Covid-19 semakin terkendali. Semakin banyak warga yang menjalani tes usap akan membantu tugas pemerintah yang sudah aktif dan gencar menjalankan tes usap.
”Selama ini masih ada warga yang enggan tes usap karena perkara harga mahal untuk tes usap. Nah, kesamaan harga tes usap di fasilitas kesehatan mendorong warga untuk tes usap mandiri. Tentu ini sangat membantu pemerintah daerah dalam penanganan pandemi. Tentu kami tidak bisa melayani semua kebutuhan pribadi warga yang ingin menjalani tes usap secara gratis,” kata Dedie.
Di luar penetapan harga atas tes usap, lanjut Dedie, Pemkot Bogor tetap terus gencar menjalankan tes usap masif aktif. Selain itu, Pemkot Bogor juga terus akan memaksimalkan jumlah penelusuran kontak erat kepada kasus terkonfirmasi positif, terutama di lingkaran keluarga yang terpapar. Dari lingkaran keluarga di RW-RW itu, pemkot akan memasifkan tes usap.
”Tes usap kita sudah lebih dari 16.000. Berdasarkan standar WHO, tes usap di Kota Bogor sudah melebihi batas target. Kami akan terus jalan tes usap masif, pandemi masih panjang. Oleh karena itu, selain dari program gratis tes usap pemerintah, diharapkan penetapan tes usap ini akan semakin banyak warga mandiri dan aktif tes usap. Semakin banyak yang tes usap, semakin membantu petugas melacak yang kontak erat dengan kasus positif,” kata Dedie.
Menurut Dedie, Kementerian Kesehatan perlu menyosialisasikan informasi penetapan tes usap secara luas kepada masyarakat dan kepada fasilitas kesehatan lainnya. Hal ini penting agar ke depan tidak ada tes usap yang melebihi standar yang sudah ditetapkan.
Sementara untuk pemerintah setempat, kata Dedie, tentu akan membantu menyosialisasikan dan memantau kepatuhan aturan batas atas harga tes usap. ”Jadi harus ada pengumuman resmi kapan mulai berlakunya pembatasan tersebut. Warga dan penyelenggara perlu tahu informasi ini secara terang aturannya. Kalau dari kami tentu akan membantu, nanti kalau memang ada rumah sakit atau laboratorium yang menetapkan harga di atas kewajaran bisa lapor ke Dinas Kesehatan Kota Bogor atau ke Satgas Covid-19 Kota Bogor juga bisa,” tutur Dedie.
Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok Novarita mengatakan, hingga saat ini belum menerima surat edaran dari Kementerian Kesehatan. Seperti Kota Bogor, Pemkot Depok mendukung penetapan harga batas atas tes usap Rp 900.000, dan jika sudah menerima surat edaran dari Kementerian Kesehatan, Dinkes akan menyurati ke semua fasilitas kesehatan dan laboratorium untuk menerapkan aturan tersebut.
”Pembatasan harga ini kan sama seperti rapid test (tes cepat) yang harganya dulu belum tetap dan berbeda. Hal yang sama sekarang terjadi untuk tes usap. Memang perlu ada penetapan harga yang sama agar warga tidak bingung atau terbebani dengan perbedaan harga. Jika sudah terima suratnya, kami akan langsung kirim surat ke penyelenggara tes usap dan laboratorium juga agar tidak boleh melebihi dari ketentuan,” kata Novarita.
Novarita melanjutkan, di luar penetapan harga batas tes usap mandiri, pihaknya terus berusaha menaikkan angka tes usap sesuai instruksi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Berdasarkan data terakhir pada 1 Oktober, Diskes Depok sudah melakukan tes usap sebanyak 21.000 orang. Angka ini meningkat dari data terakhir pada 15 September 2020, tes usap PCR di Kota Depok masih jauh dari standar WHO, yaitu baru mencapai 14.500 orang.
Selama menambah dan mengencarkan tes usap sesuai target WHO, lanjut Novarita, demi menekan penyebaran Covid-19, menambah tenaga surveilans, baik di tingkat kota, kecamatan, maupun kelurahan.
”Di tingkat kota ada 2, kecamatan 11, dan kelurahan 63. Tenaga surveilans tersebut akan membantu Tim Surveilans Kota Depok dan seluruh puskesmas Kota Depok dalam rangka percepatan upaya tracing Covid-19 di masyarakat. Satu orang per kelurahan yang bertugas di puskesmas,” kata Novarita.
Penambahan tim surveilans itu sejalan dengan permintaan Kamil. Ia meminta Pemkot Depok, 90 persen kontak erat harus menjalani tes usap sejak 2 hari kasus ditemukan. Berikutnya, mengejar atau melacak kotak erat minimal 24 orang perkasus.
”Ini sejalan dengan permintaan Pak Gubernur. Ini bagian dari KPI (key performance indicators) dari Pak Gubernur,” kata Novarita.
Novarita mengatakan, tim surveilans bertugas mendata dan mendeteksi secara cepat dan dini dengan tes yang tepat. Selanjutnya, sesudah menemukan kasus maka surveilans berikutnya menelusuri dan mendeteksi kontak, melakukan analisis kontak, dan mengarahkan untuk isolasi.
Tim surveilans juga memonitor angka kematian lengkap dengan variabelnya. Antara lain umur, ada tidaknya penyakit lain, lokasi meninggal, dan kajian klinis mendalam sebab kematian.
”Saat bertugas, tim surveilans juga akan memonitor dan menentukan kebijakan tentang dampak Covid-19 pada sistem layanan kesehatan,” kata Novarita.