Hal-hal yang Belum Jelas bagi Pesepeda mengenai Aturan Baru
Pesepeda masih bingung dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum semua pesepeda memahami aturan keamanan bersepeda yang baru diterbitkan. Sejumlah ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Keselamatan Pesepeda di Jalan dianggap membingungkan. Salah satunya adalah efektivitas penggunaan perlengkapan berkendara.
Masalah lain yang diperbincangkan adalah lintasan sepeda, kewajiban mengenakan helm, dan hak untuk menggunakan tempat parkir. Slamet Tryono (27) dan anggota Kupang Cycling Club berdebat soal perlu tidaknya sepatbor pada sepeda gunung sebab bunyi hasil gesekan sepatbor dan ban mengganggu konsentrasi ketika bersepeda.
”Peraturannya untuk sepeda sebagai aktivitas sehari-hari. Kalau sepeda untuk olahraga mengganggu konsentrasi dan cepat rusak karena gesekan,” katanya kepada Kompas, Rabu (23/9/2020).
Suhadi (39) tidak melintas di jalur sepeda yang sudah ada di Jakarta. Jalur sepeda terlalu sempit untuk sepeda jenis road bike miliknya. Performa road bike lebih baik saat berada di lintasan yang lurus dan tidak terhalang pesepeda lain. ”Seni mengendarai road bike, ya, berkendara di lintasan lurus, seperti jalur Sudirman-Thamrin,” ujar Suhadi.
Lantaran kebingungan itu, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat membuka forum webinar bersama pegiat komunitas pesepeda, Rabu (23/9/2020). Dalam forum itu, peserta webinar menanyakan lampu atau alat pemantul cahaya pada sepeda. Peserta menanyakan, lampu harus menyala pada pagi dan siang hari atau hanya malam hari. Letak pemantul cahaya yang tepat dan pakaian berwarna terang saat bersepeda pada malam hari.
Vina (35) yang sehari-hari bersepeda ke tempat kerja punya pengalaman tidak menyenangkan. Motor menabrak dirinya yang berada di jalur khusus sepeda hingga luka-luka. Bahkan, suatu waktu ada mobil tiba-tiba menerobos jalur sepeda hingga nyaris menabraknya di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. ”Peraturannya sudah bagus, sekarang aman dan tidaknya saat di jalan raya. Peraturan tanpa ada sanksi percuma,” katanya saat mengikuti webinar.
Dames Alexander Sinaga (29) punya pengalam serupa. Warga Palmerah, Jakarta Barat, ini menilai, bersepeda di Jakarta belum aman saat situasi lalu lintas ramai. Sepeda motor melaju kencang dari arah kiri sehingga nyaris membuatnya terjungkal. ”Malam itu saya melintas di lajur paling kiri dan menyalakan lampu, lalu ada pengendara yang hampir menabrak saya. Dia ngegas terus. Mungkin dia mengira saya yang harus mengalah pas menyeberang,” ucapnya.
Insiden nyaris terjadi di lampu lalu lintas Jalan Tentara Pelajar, Gelora, Jakarta Pusat. Lalu lintas ramai lancar, dari arah Gedung Parlemen menuju Stasiun Palmerah dan Pasar Palmerah melintasi pelintasan sebidang, dua anak berboncengan sepeda nyaris tertabrak mobil karena melawan arah menuju Gedung Parlemen.
Pada jalan lurus ini pula pesepeda rentan meskipun berada di lajur kiri sebab pengguna jalan lain sewaktu-waktu bisa melaju kencang.
Hak dan kewajiban
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 59 Tahun 2020 terbit sebagai respons bertambahnya jumlah pesepeda semenjak pandemi. Pemerintah ingin menjamin keselamatan berlalu lintas karena perilaku di jalan belum tertib. Di sisi lain, menjamin hak pesepeda, seperti jalur dan tempat parkir.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi menuturkan, perilaku pesepeda yang sempat viral, seperti melawan arus saat lalu lintas ramai dan masuk ke jalan tol karena tidak melihat rambu, tidak bisa ditoleransi karena membahayakan diri sendiri dan pengguna jalan lain.
Contoh pelanggaran lain yang kerap terjadi ialah tidak menggunakan jalur khusus sepeda dan beriringan lebih dari dua hingga memakan ruas jalan. ”Sepeda seharusnya berada di lajur kiri. Kalau beriringan tidak boleh sejajar memakan sampai setengah ruas jalan,” ujar Budi dalam webinar.
Peristiwa viral inilah yang mendorong penyusunan peraturan. Kementerian Perhubungan melibatkan komunitas pesepeda dari beberapa daerah dan perguruan tinggi, termasuk uji publik di Yogyakarta dan Bandung. Walakin ada pesepeda yang bingung karena belum tahu ataupun belum membaca peraturan ini secara utuh.
Budi mengatakan, sepeda ada peruntukannya, seperti untuk aktivitas sehari-hari dan berolahraga, sehingga persyaratannya berbeda. Sepeda untuk aktivitas sehari-hari wajib punya bel, sepatbor, rem, lampu, dan pemantul cahaya. Sementara sepeda untuk olahraga tidak wajib punya sepatbor.
Sementara itu, penggunaan helm tergantung dari kecepatan sepeda. Untuk aktivitas sehari-hari tidak wajib apabila kecepatan rendah, sedangkan untuk olahraga wajib karena kecepatan tinggi. ”Semua rambu dan marka jalan berlaku untuk pesepeda. Pesepeda wajib memberi isyarat tangan sebelum belok karena tidak ada lampu tanda,” katanya.
Ketentuan lainnya mengangkut penumpang kalau ada tempat duduk, tidak boleh bejajar lebih dari dua, dan sepeda ditarik kendaraan lain.
Menurut dia, ada konsekuensi dari peraturan ini. Pemerintah menyediakan infrastruktur, seperti jalur sepeda, sesuai level jalan dan tempat parkir sepeda. Parkir sepeda berada di perkantoran, sekolah, atau pusat perbelanjaan. Parkir harus terjangkau, misalnya di pusat perbelanjaan jangan berada di basemen 2, tetapi di basemen 1.
”Supaya mudah dijangkau dan tidak menyulitkan, sebaiknya ada rak dan tiang untuk mengunci, sandaran, dan gembok sepeda,” ucapnya. Lewat peraturan ini, ada harapan besar supaya warga beralih ke sepeda. Di sisi lain, paham hak dan kewajibannya.