Utamakan Kolaborasi Pemerintah-Masyarakat Saat Jemput OTG untuk Diisolasi
Penolakan melakukan isolasi bisa diproses pidana sebagai tindakan yang membahayakan keselamatan orang banyak akibat penularan penyakit. Namun, hendaknya dilakukan bersama polisi, institusi yang memiliki kewenangan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyatakan Satuan Polisi Pamong Praja atau Satpol PP bisa menjemput paksa pasien positif Covid-19 yang menolak isolasi bisa dipahami dari sisi keterdesakan menegakkan kedisiplinan demi mencegah penularan penyakit. Akan tetapi, demi mengantisipasi gugatan balik, upaya itu sebaiknya melibatkan polisi.
Penegakan kedisiplinan yang bersifat pemberian sanksi di luar sosial dan administratif harus tetap dilakukan penegak hukum formal, yaitu polisi. Itu pun setelah pendekatan persuasif kemasyarakatan gagal dilakukan.
Saat penerapan PSBB kali ini, selain melakukan operasi tertib bermasker dan pembubaran kerumuman yang melanggar aturan menjaga jarak fisik, Satpol PP bisa menjemput paksa pasien positif Covid-19 yang menolak isolasi di tempat yang ditentukan, seperti Wisma Atlet Kemayoran. Mereka juga bisa menindak pasien atau orang tanpa gejala (OTG) yang terbukti melanggar aturan isolasi. (Kompas.id, 15 September 2020)
Kepala Satpol PP Arifin ketika ditemui setelah rapat di Balai Kota Jakarta, Selasa (15/9/2020), mengatakan, pihaknya akan turun tangan berdasarkan laporan dari kecamatan ataupun kelurahan. ”Apabila satuan tugas rukun warga (RW), rukun tetangga (RT), dan tokoh-tokoh yang memiliki otoritas di masyarakat tidak bisa membujuk individu tersebut, kami berwenang datang ke rumahnya dan menjemput paksa untuk dibawa ke Wisma Atlet,” tuturnya.
Pakar administrasi negara Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, yang dihubungi pada Rabu (16/9/2020) mengatakan, dirinya memahami kelelahan dan kekesalan pemerintah dan masyarakat menanggapi kebandelan warga yang masih meremehkan Covid-19 dan tidak memperhatikan protokol kesehatan. Penegakan kedisiplinan yang memberi efek jera memang sangat diperlukan, tetapi jangan sampai aturannya bersifat emosional.
”Memasuki ranah pribadi, seperti rumah dan menjemput paksa atau menangkap seseorang, hanya boleh dilakukan penegak hukum formal, yaitu polisi. Mereka bekerja jelas di bawah hukum pidana dan jika dikaitkan dengan Covid-19, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Itu pun harus diturunkan ke dalam peraturan pemerintah (PP) guna menspesifikasi regulasi tentang pendisiplinan hukum pada masa pandemi Covid-19,” paparnya.
Satpo PP merupakan tenaga penegak hukum yang beroperasi di bawah peraturan daerah (perda). Tugas mereka ialah menjaga ketertiban di ruang publik, tetapi tidak boleh melakukan penindakan pidana. Maksimal adalah penindakan administratif, seperti denda dan sanksi sosial. Memberi Satpol PP otoritas memasuki ranah pribadi melanggar hukum dan berisiko menimbulkan konflik vertikal dan horizontal di lapangan.
Roy menjelaskan, Satpol PP bisa meneruskan laporan apabila ada pasien positif yang keras kepala kepada pihak kepolisian. Jika penjemputan paksa memang harus dilakukan, setidaknya ada anggota polisi yang wajib turun tangan dengan Satpol PP sebagai pendamping. Penolakan melakukan isolasi bisa diproses pidana sebagai tindakan yang membahayakan keselamatan orang banyak akibat penularan penyakit.
”Collaborative governance, yaitu kesatuan visi masyarakat dengan pemerintah yang bisa menjadi tonggak pendisiplinan tanpa harus bersifat koersif. Jika memang harus koersif, lakukan di koridor hukum pidana dengan aparat penegak hukum yang semestinya,” kata Roy.
Kekeluargaan
Di tingkat level masyarakat, kecamatan dan kelurahan hingga satuan tugas RT, RW menjadi mediator utama. Camat Pademangan, Jakarta Utara, Mumu Muhtahid mengakui susahnya mendisiplinkan masyarakat agar terus memakai masker dan tidak berkerumun beramai-ramai. Kecamatan ini memiliki akumulasi kasus positif tertinggi sejak bulan Maret. Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta tanggal 15 September, di Pademangan ada tujuh kasus aktif.
Menurut Mumu, memang ada pasien yang harus dibujuk agar mau melakukan isolasi. Akan tetapi, sejauh ini tidak perlu tindakan koersif (memaksa mendisiplinkan masyarakat).
Keluarga pasien umumnya sangat mendukung dalam memberi pengertian karena mereka juga tidak mau tertular Covid-19. Pasien kemudian mau diantar ke Wisma Atlet Kemayoran atau tempat isolasi yang disiapkan oleh pihak kecamatan.
Demikian pula di Kelurahan Kebon Manggis, Kecamatan Matraman, Jakarta Timur, yang per 15 September hanya memiliki satu kasus aktif. Lurah Ibnu Fajar mengatakan, sosialisasi tetap gencar dilakukan setiap hari. ”Kesadaran masyarakat cukup tinggi untuk pergi sendiri ke Wisma Atlet,” ujarnya.