Warga Terjangkit Covid-19 Tidak Boleh Lagi Isolasi Mandiri di Rumah
Sejak Pemrov DKI Jakarta memberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar pada 14 September 2020, semua pasien positif Covid-19, termasuk orang tanpa gejala, diimbau tidak melakukan isolasi mandiri di rumah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan kembali pembatasan sosial berskala besar pada 14 September 2020, semua pasien positif Covid-19, termasuk orang tanpa gejala, diimbau tidak melakukan isolasi mandiri di rumah. Hal ini untuk mencegah terjadinya kluster keluarga.
Dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2020, yang menjadi salah satu dasar pemberlakuan PSBB DKI Jakarta, diatur ketentuan pasien positif Covid-19 agar dirujuk dan diisolasi ke fasilitas kesehatan. Rujukan isolasi bagi pasien Covid-19 tanpa gejala adalah ke Wisma Atlet Kemayoran, sedangkan bagi pasien bergejala batuk, demam, ataupun pilek ke rumah sakit.
Ketika ditemui pada Senin (14/9/2020), Kepala Puskesmas Kecamatan Tanah Abang Sari Ulfa Nardia mengatakan, isolasi di fasilitas kesehatan sangat dibutuhkan, apalagi jika pasien tinggal di permukiman padat. Di kawasan padat penduduk, satu rumah bisa dihuni oleh enam hingga sepuluh orang.
”Selain tidak ada privasi yang memungkinkan pasien benar-benar terpisah dari orang lain, juga ada risiko penularan virus korona baru kepada anggota keluarga karena di dalam rumah, orang tidak memakai masker dan menjaga jarak, apalagi di permukiman padat,” tuturnya.
Meskipun begitu, ia masih melihat kemungkinan perubahan adaptasi di lapangan yang bisa dikonsultasikan dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta. Misalnya, jika ada pasien positif Covid-19 yang memiliki rumah cukup besar, dengan kamar tidur yang mencakup kamar mandi, sehingga ia tetap berada di rumah ketika menjalani isolasi.
Khusus di Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, pasien tanpa gejala diisolasi di tiga rumah dinas milik lurah dan gedung kesenian. Saat ini pihak kecamatan mengupayakan agar sekolah-sekolah negeri bisa diubah menjadi tempat isolasi darurat mengingat angka kasus positif terus bertambah. Camat Tanah Abang Yassin Pasaribu mengungkapkan, tiga tempat isolasi sudah mulai penuh sehingga transformasi sekolah menjadi tempat isolasi perlu segera dilakukan.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 31 Agustus 2020 di Jakarta terdapat 67 rumah sakit rujukan yang terdiri dari milik pemerintah pusat, pemerintah provinsi, swasta, dan organisasi masyarakat. Terdapat 14 RS dengan keterisian tempat tidur untuk pasien Covid-19 di atas 80 persen. Bahkan, RS Umum Hermina Jatinegara, RS Umum Hermina Daan Mogot, dan RS Umum Daerah Tugu Koja keterisian tempat tidurnya sudah 100 persen.
Camat Tanah Abang Yassin Pasaribu mengungkapkan, di tiga tempat isolasi sudah mulai kepenuhan sehingga transformasi sekolah menjadi tempat isolasi perlu segera dilakukan.
Untuk unit perawatan intensif (ICU) ada tujuh RS yang keterisian tempat tidurnya di atas 80 persen. RSU Pertamina Jaya, RSUD Tarakan, RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, serta RSU Hermina Podomoro keterisian tempat tidur ICU sudah 100 persen. Tempat tidur pasien dan ICU yang banyak kosong umumnya ada di RS swasta.
Pekan lalu, Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengatakan bahwa keterisian 4.053 tempat tidur secara total di semua RS mencapai 77 persen sehingga ia memutuskan menarik rem darurat berupa pengetatan PSBB. Alasannya karena sekalipun tempat tidur ditambah menjadi 4.807 unit hanya akan bertahan hingga awal bulan Oktober. Di ICU, dari total 528 tempat tidur sudah 83 persen yang terisi (Kompas, 10 September 2020).
Dalam pengetatan PSBB kali ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap mengutamakan kedisiplinan warga untuk memakai masker dan menjaga jarak. Lalai bermasker akan dikenai denda Rp 250.000 hingga Rp 1 juta. Tercatat telah ada 158.000 individu ataupun lembaga yang melanggar protokol kesehatan selama PSBB. Denda yang telah dikumpulkan kini berjumlah Rp 4,3 miliar.
Beberapa waktu lalu, psikolog sosial dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Yunita Faelanisa, mengatakan bahwa di masa PSBB ini sosialisasi hendaknya terkonsentrasi pada pendisiplinan masyarakat karena sudah enam bulan Covid-19 menjadi momok di Indonesia.
Pemberlakuan sanksi, lanjut Yunita, jangan sekadar untuk mempermalukan pelanggar seperti dimasukkan ke dalam peti mati. Tetapi, harus berupa sanksi yang membuat mereka melihat betul dampak penyakit tersebut kepada masyarakat sehingga memunculkan empati.
”Misalnya setiap rukun warga mengirim warganya yang terkenal meremehkan Covid-19 untuk menjadi sukarelawan selama beberapa hari di RS rujukan agar melihat susahnya perjuangan para tenaga kesehatan merawat dan menyembuhkan pasien,” kata Yunita.