Sanksi atas pelanggaran adalah senjata untuk memenangi pertempuran kita melawan virus korona baru. Tentu saja, kesadaran mematuhi protokol kesehatan adalah amunisi paling baik.
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·4 menit baca
Minggu (13/9/2020) siang, satu grup percakapan hangat lantaran unggahan foto kerumunan pesepeda yang hendak masuk jembatan PIK 2. Jembatan yang ada di perbatasan Jakarta Utara dan Banten ini memang instagramable, seolah-olah mereka yang lewat di situ baru saja menembus batas dua provinsi itu.
”Duh, kalau lihat orang ngumpul kayak gitu, bikin gemas. Mereka itu (kerumunan orang) nggak boleh protes ya kalau ICU rumah sakit penuh”, tulis seorang kawan dengan nada kesal.
Bila foto kerumunan itu muncul di luar masa pandemi Covid-19, barangkali respons orang akan biasa saja. Bahkan, bisa jadi orang kian berduyun-duyun berusaha melewati gerbang penjagaan untuk sampai ke jembatan itu.
Akan tetapi, situasi saat ini berkata lain. Serbuan virus korona baru saat ini memaksa kita mempunyai kebiasaan baru: biasa pakai masker, biasa menjaga jarak, biasa mencuci tangan, dan biasa menjaga kebersihan individu. Walaupun mayoritas pesepeda yang ada di foto itu memakai masker, kerumunan tetap tidak masuk di logika teman-teman saya di grup percakapan itu.
Sudah lewat enam bulan pandemi Covid-19 di Indonesia, kasus yang muncul masih tinggi dan mencemaskan. Di Jakarta saja, sehari bisa bertambah 1.000 kasus.
Masih banyaknya penambahan kasus saban hari membuat kesal mereka yang selama ini merasa sudah tertib. Selain menjalankan kebiasaan baru untuk mencegah diri tertular Covid-19, mereka yang tertib juga mengurangi aktivitas di luar rumah, termasuk untuk nongkrong atau sekadar berburu spot berfoto.
Di masa pandemi ini, sebagian orang memilih untuk tetap menjaga kesehatan dan mencegah penularan dengan tidak bepergian ke luar rumah. Ada pula yang merasa masa seperti ini sebagai waktu mengurangi kesenangan pribadi, baik berupa nongkrong bersama teman, sekadar makan di restoran, maupun piknik ke luar kota.
Sebagian orang menyatakan keheranannya, masih ada orang yang berani makan di restoran dengan situasi seperti saat ini. Keheranan juga mereka alamatkan kepada orang-orang yang masih menikmati staycation di tengah pandemi.
Bagi sebagian lainnya, makan di tempat adalah hal biasa. Mereka juga tidak khawatir meskipun duduk berdekatan dan berada dengan banyak orang di satu ruangan tanpa memakai masker. Ruang makan di banyak restoran bahkan tertutup. Mereka percaya, pihak restoran telah menerapkan protokol kesehatan.
Sementara dua hari terakhir pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang diperketat, rumah makan kembali sepi lantaran pemerintah melarang orang makan di restoran. Begitu peraturan ditegakkan, orang mengikutinya. Ketertiban soal makan di tempat ini makin tinggi apabila petugas gencar melakukan razia.
Hal serupa sebenarnya bisa diterapkan pada berbagai kebutuhan lain. Membubarkan kerumunan, misalnya, membutuhkan ketegasan petugas juga. Lokasi yang berpotensi menyebabkan kerumunan bisa ditutup sementara waktu. Jika warga tetap nekat, pemerintah bisa menjatuhkan sanksi.
Langkah pencegahan
Di tengah belum adanya vaksin dan obat penangkal virus korona baru, langkah-langkah pencegahan menjadi penting. Memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan kudu dilakukan apabila ingin menghindari kemungkinan terpapar korona. Tiga hal itu diulang terus-menerus selama enam bulan terakhir. Meskipun terdengar membosankan, implementasinya belum total. Masih ada saja orang yang melanggar.
Dalam razia pada Senin dan Selasa (14-15/9/2020), misalnya, petugas masih mendapati orang yang tidak bermasker saat berada di luar rumah. Kalaupun ada, masker masih tersimpan di kantong celana. Masker pun masih ada yang dipakai serampangan sehingga tidak memberikan perlindungan bagi pemakainya ataupun orang di sekitar.
Begitu pula dengan kerumunan. Ada saja orang yang masih bergerombol saat beraktivitas di luar rumah. Sudah bergerombol, tanpa masker pula. Lengkap sudah.
Ada juga yang berolahraga di luar ruang secara berkelompok. Sebut saja, misalnya, bersepeda berombongan. Beberapa kali kita jumpai pesepeda yang duduk bergerombol di tepi jalan tanpa menjaga jarak dan acap kali mencopot masker.
Tentu ada 1001 kasus lain terkait pengabaian protokol kesehatan. Menindak sekian banyak kasus juga bukan perkara mudah. Kecuali, ada sistem penindakan yang dibangun dan sanksi yang jelas dan memberikan efek jera.
Di negara lain, keharusan memakai masker juga diikuti dengan aturan denda. Di Singapura, misalnya, keharusan memakai masker diikuti dengan ancaman denda 300 dollar Singapura untuk pelanggaran pertama. Kalau seseorang mengulangi kesalahan yang sama ini, denda akan bertambah, bahkan ada peluang pelanggar dibawa ke pengadilan (Straitimes.com, 27 Agustus 2020).
Sanksi atas pelanggaran adalah senjata untuk memenangi pertempuran kita melawan virus korona baru. Tentu saja, kesadaran mematuhi protokol kesehatan adalah amunisi paling baik untuk menekan penyebaran kasus di antara kita.