PSBB di Jakarta Perlu Ketegasan dan Pemantauan Terus-menerus
Perlu ketegasan dan pemantauan terus-menerus di lapangan agar upaya pengetatan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di DKI Jakarta benar-benar bermanfaat menurunkan laju pertambahan kasus baru Covid-19.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlu ketegasan dan pemantauan terus-menerus di lapangan agar upaya pengetatan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di DKI Jakarta benar-benar bermanfaat menurunkan laju pertambahan kasus baru Covid-19.
Pada Senin (14/9/2020), hari pertama pengetatan kembali PSBB di DKI Jakarta, kondisi lalu lintas menjadi jauh lebih sepi dibandingkan masa PSBB transisi dengan diwajibkannya perusahaan di sektor esensial untuk bekerja dari rumah.
Berdasarkan pemantauan, kepadatan calon penumpang memang tidak terjadi di halte Transjakarta maupun titik-titik di mana angkutan umum biasa menunggu penumpang, seperti di Kampung Melayu, Cawang, dan Cililitan, Jakarta Timur.
Namun, bagi sejumlah anggota masyarakat yang masih harus berada di luar rumah, penggunaan masker dan jaga jarak masih sekadar formalitas. Masyarakat melepas masker saat bercakap dengan pedagang atau pengojek.
Padahal, melalui interaksi semacam inilah, risiko terbesar penularan Covid-19 menurut epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif.
Menurut dia, masyarakat sering kali lalai dan menganggap remeh ancaman Covid-19 dan membuka maskernya ketika berbincang dengan orang yang sudah dikenalnya.
Dulu di awal-awal PSBB mungkin sehari bisa 50 orang kami tegur tidak pakai masker. Beberapa minggu lalu tinggal 20-an orang setiap hari. Hari ini hanya enam orang.
Menurut dia, ancaman terbesar penularan Covid-19 itu tidak berasal dari orang yang benar-benar asing, tetapi dari orang yang sudah kita kenal, tetapi tidak tinggal satu rumah. Ini yang membuat masyarakat lalai dalam menggunakan masker.
”Ketika orang berada bersama dengan orang kemudian membuka maskernya dan kurang dari 1 meter inilah yang jadi ancaman,” kata Syahrizal yang juga pengurus pusat bidang politik kesehatan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI).
Padahal, menurut Syahrizal, kepatuhan protokol kesehatan, seperti menggunakan masker, jaga jarak lebih dari 1 meter, dan mencuci tangan, jelas akan dapat mengendalikan penularan Covid-19.
Ia meyakini, berdasarkan perhitungannya, jika 90 persen masyarakat yang masih harus berada di luar rumah itu mengikuti protokol kesehatan, daya perlindungan komunitasnya itu setara dengan apabila 70 persen penduduk mendapat vaksinasi.
Untuk itu, ketegasan dalam pengawasan di lapangan menjadi hal krusial yang harus benar-benar dijaga oleh pemerintah. ”Ini tinggal masalah pengawasan. Pengawasannya harus ketat. Tinggal bagaimana pemerintah bisa menjamin bahwa tidak ada masyarakat yang lolos,” kata Syahrizal.
Pengawasan yang ketat dan berkesinambungan diyakini akan membiasakan masyarakat untuk terus mengenakan masker. Selama dua pekan terakhir, satuan polisi pamong praja terus melakukan razia terhadap masyarakat yang tidak mengenakan masker di ruang publik.
Kepala Satpol PP Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan Ganef mengatakan, melalui keberadaan petugas yang terus ada di tengah masyarakat, kepatuhan mengenakan masker terus meningkat.
”Dulu di awal-awal PSBB mungkin sehari bisa 50 orang kami tegur tidak pakai masker. Beberapa minggu lalu tinggal 20-an orang setiap hari. Hari ini hanya enam orang,” kata Ganef.
Hal ini pun diapresiasi oleh masyarakat. Devi (25), karyawan swasta, mengatakan, sejauh ini Pemprov DKI Jakarta sudah cukup tegas melaksanakan protokol kesehatan di ruang publik; seperti pada pembatasan kapasitas transportasi umum.
”Sejak PSBB ini jadi lebih sepi juga di dalam bus, jadi enggak begitu khawatir juga,” kata Devi.
Di sisi lain, Hamzah (41), warga Kebon Pala, Jakarta Timur, menghargai kebijakan pemerintah untuk menggelar PSBB kembali untuk mengurangi penularan Covid-19. Namun, ia yang berpenghasilan sebagai pengojek itu merasakan penurunan besar sekali pada mata pencariannya, terlebih lagi ia tidak terdata sebagai penerima bantuan sosial.Untuk itu ia berharap, pendataan jaring pengaman sosial kepada masyarakat yang tidak mampu dapat diperbaiki. ”Pendataan itu acuannya apa? Kita enggak tahu. Tetangga ada yang sudah meninggal, tetapi masih dapet. Tolong datanya yang akurat,” kata Hamzah.