Jasa pembuatan KTP elektronik palsu masih eksis. Pemerintah mengklaim telah mengantisipasi peredaran KTP elektronik palsu dengan sejumlah metode.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jasa pembuatan kartu tanda penduduk elektronik atau KTP elektronik palsu masih eksis. Itu seiring dengan pengungkapan sindikat pemalsu KTP elektronik oleh aparat Polres Metro Jakarta Utara. Bisnis ilegal ini masih ada karena banyak masyarakat yang membutuhkan KTP elektronik palsu, salah satunya untuk keperluan pengajuan kredit fiktif.
Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Sudjarwoko, Jumat (11/9/2020), menyampaikan, jajarannya menangkap lima dari tujuh tersangka pemalsu KTP elektronik. Kelima tersangka yang ditangkap memiliki peran berbeda.
D (45) berperan menerima pesanan dari pelanggan, lalu tersangka I (40) bergerak sebagai perantara dan memberikan data identitas pemesan. Selanjutnya, tersangka E (42) bertugas sebagai pembuat atau pencetak KTP elektronik palsu. Sementara MS (23) dan IA (41) berperan sebagai kurir pengirim blangko KTP elektronik palsu.
Sementara dua tersangka lainnya masih dalam pengejaran polisi. Sudjarwoko menerangkan, pengungkapan kasus berawal dari informasi masyarakat yang menyebut ada seseorang di Jalan Raya Tipar Cakung, Cilincing, Jakarta Utara, yang bisa membuat KTP elektronik palsu.
Berdasarkan informasi tersebut, polisi lalu bergerak melakukan penyelidikan. Polisi memancing pelaku D untuk bertransaksi membuat KTP elektronik seharga Rp 500.000 dengan jangka waktu penyelesaian pesanan selama sepekan.
Saat waktu pengambilan KTP elektronik tiba, polisi kemudian menangkap pelaku D beserta barang bukti satu buah KTP elektronik palsu yang siap diserahterimakan. Kepada polisi, D mengaku memperoleh KTP elektronik palsu dengan cara membeli dari pelaku I seharga Rp 400.000.
”Modus operandinya, pemesan hanya menyerahkan persyaratan data identitas diri, tanpa melalui proses resmi ke Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil),” ujar Sudjarwoko saat merilis pengungkapan kasus tersebut di Kantor Polres Metro Jakarta Utara.
Polisi kemudian mengembangkan penyelidikan dengan menangkap tersangka I di Koja, Jakarta Utara. Tersangka I mengaku memperoleh KTP elektronik palsu dari tersangka E yang memiliki usaha percetakan di Pasar Pramuka, Jakarta Pusat.
Tersangka I membeli KTP elektronik Rp 350.000 dari tersangka E. Menurut Sudjarwoko, untuk keperluan pembuatan KTP elektronik, tersangka E memperoleh blangko KTP elektronik palsu dari tersangka IA yang membelinya seharga Rp 25.000 dari tersangka F. Tersangka F hingga kini masih dalam pengejaran polisi. ”Para tersangka melakukan aksinya sejak 2018,” ucap Sudjarwoko.
Sujarwoko menjelaskan, dari keterangan para tersangka, para pemesan mengetahui dan secara sadar memesan KTP elektronik palsu. Pemesan menggunakannya untuk melamar pekerjaan, berganti status nama dan identitas diri, persyaratan untuk menikah, dan persyaratan untuk mengajukan kredit fiktif.
Secara kasatmata, tidak terlihat perbedaan mencolok dari fisik KTP elektronik palsu dengan yang asli. Komponen yang membedakannya, kata Sudjarwoko, hanyalah tidak terdapat cip pada KTP elektronik palsu. Selain itu, apabila diperiksa lebih teliti, nomor induk kependudukan yang tercantum di KTP elektronik palsu adalah nomor acak dan asal-asalan. Bukan nomor khusus atau nomor yang terdaftar di Disdukcapil.
Usaha percetakan yang dimiliki tersangka E memudahkan ia melakukan aksinya. Menurut Sudjarwoko, mereka terdorong terjun ke bisnis percetakan KTP elektronik palsu setelah pendapatan dari usaha percetakan lesu. Membuat KTP elektronik palsu memberikan keuntungan yang besar bagi para tersangka.
Sudjarwoko mengungkapkan, para pelaku bisa memperoleh keuntungan hingga ratusan juta dari bisnis ilegal itu sejak 2018. Polisi memperkirakan sudah ada ratusan KTP elektronik palsu yang mereka produksi. Hingga saat ini, polisi masih melakukan pendalaman terkait adanya keterlibatan jaringan lain dalam kasus tersebut.
Dari tangan para pelaku polisi menyita setidaknya 32 barang bukti, yang di antaranya satu unit mesin pindai (scan), sembilan lembar identitas KTP palsu yang telah dicetak, dan 10 blangko KTP elektronik palsu.
Para tersangka dijerat Pasal 96 juncto Pasal 5 huruf f dan huruf g Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Mereka terancam hukuman 10 tahun penjara.
Dipicu pandemi
Kriminolog Universitas Indonesia, Josias Simon, berpendapat, pengungkapan kasus pemalsuan KTP elektronik turut dipicu situasi pandemi Covid-19 saat ini yang mendorong seseorang mencari pekerjaan apa pun, termasuk menjalankan jasa ilegal pembuatan KTP elektronik palsu.
Penegakan hukum yang tidak tuntas hanya akan membuat kasus serupa terulang. Menurut Josias, jasa pembuatan KTP elektronik palsu masih akan eksis seiring adanya permintaan dari masyarakat.
”Dengan kondisi pandemi begini, keinginan masyarakat mendapat uang dengan cara meminjam kredit online semakin menjamur. Mengajukan pinjaman secara online syarat administrasinya relatif mudah dan verifikasinya tidak rumit. Tapi di sana ada celah yang memungkinkan KTP elektronik palsu bisa lolos sebagai syarat kredit online,” tutur Josias.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditdukcapil) Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, pemerintah telah mengantisipasi penggunaan KTP elektronik palsu dengan kartu pembaca KTP elektronik serta verifikasi nomor induk kependudukan dan metode pengenalan wajah (face recognition).
Saat ini sudah ada lebih dari 3.000 lembaga atau perusahaan yang bekerja sama dengan Ditdukcapil sehingga masyarakat yang menggunakan KTP elektronik palsu bisa segera ketahuan. Oleh sebab itu, ia meminta masyarakat tidak coba-coba berani membuat KTP elektronik palsu.
”Kalau NIK tak terdata di Ditdukcapil, layanan atau permohonannya akan ditolak,” ujar Zudan.