BUMD Penjualan Daging Sapi Harus Jamin Asupan Protein Warga
BUMD pada dasarnya harus memiliki efek yang besar di masyarakat luas. Saat ini, PD Dharma Jaya belum terasa memiliki pengaruh demikian.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perubahan status Perusahaan Daerah Dharma Jaya menjadi perusahaan umum daerah atau perumda tidak sekadar menaikkan jumlah modal dasar perusahaan rumah potong hewan dan distributor daging sapi ini. Harus ada upaya meningkatkan kuota daging yang bisa diserap perumda untuk dijual kepada konsumen dengan harga terjangkau sebagai upaya akses asupan protein bagi semua lapisan ekonomi.
Perubahan bentuk badan usaha milik daerah ini dibahas dalam rapat paripurna DPRD DKI Jakarta, Rabu (9/9/2020), di Jakarta. Sejauh ini, tahapan rapat masih mendengar tanggapan dari sepuluh fraksi. Umumnya mereka menyetujui perubahan PD Dharma Jaya menjadi perumda dengan beberapa catatan.
Perusahaan ini berdiri pada 1966 sebagai rumah potong hewan dan penyalur daging sapi ke masyarakat di Ibu Kota. Apabila statusnya berubah menjadi perumda, modalnya akan naik dari Rp 250 miliar menjadi Rp 2 triliun.
”BUMD pada dasarnya harus memiliki efek yang besar di masyarakat luas. Saat ini, PD Dharma Jaya belum terasa memiliki pengaruh demikian. Perlu dibahas lebih lanjut apabila penambahan modal secara drastis itu memang diperlukan,” kata anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta, Eneng Malianasari.
Ia menggarisbawahi perekonomian Jakarta yang tengah lesu. Tingkat pengangguran meningkat 11 persen serta omzet usaha mikro, kecil, dan menengah turun hingga 75 persen.
Menurut Eneng, membuat perumda baru dengan modal dasar yang besar berisiko tidak efektif apabila tidak disertai rencana bisnis yang transparan, jelas, serta berkontribusi pada peningkatan keuangan daerah. Hendaknya dipaparkan dulu kajian risiko bisnis setiap BUMD agar dapat ditentukan jumlah penanaman modal yang sesuai.
Sementara itu, anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD DKI Jakarta, M Thamrin, menyoroti pentingnya membangun jaringan antara perumda dan daerah penyalur sapi. Komoditas daging sapi tidak hanya dijual begitu saja, tetapi turut berkontribusi mengembangkan usaha kuliner di Jakarta. Gerai-gerai penjualan daging sapi yang murah dan berasal dari pemerintah semestinya ada di setiap kelurahan agar asupan gizi masyarakat terjaga.
Dihubungi terpisah, Direktur Usaha PD Dharma Jaya Mohamad Adam Ali Bhutto mengatakan, target perusahaan menjadi perumda adalah agar bisa menjadi pelaksana cadangan pangan DKI Jakarta. Sejauh ini, peran tersebut masih diemban oleh Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Peran ini memungkinkan Dharma Jaya membeli daging beku impor lebih besar dari jumlah kebutuhan harian masyarakat Jakarta.
Daging kemudian disimpan agar bisa disebarluaskan pada masa darurat yang mengakibatkan jumlah daging sedikit dan susah didapat. Salah satu contohnya ialah saat pandemi Covid-19.
Bisa juga jika ekspor-impor daging terkendala akibat situasi politik Indonesia dengan negara eksportir, berkat cadangan daging, masyarakat tidak perlu khawatir karena daging tidak menghilang dari pasaran. Perusahaan yang bergerak di cadangan pangan tidak bisa digugat secara hukum dengan delik penimbunan atau penumpukan komoditas.
”Saat ini, modal Rp 250 miliar digunakan untuk seluruh kegiatan operasional. Spesifik pembelian daging hanya Rp 10 miliar hingga Rp 20 miliar. Jadi, Dharma Jaya hanya bisa memenuhi kebutuhan daging harian warga,” tuturnya.
Penambahan modal dasar menjadi Rp 2 triliun akan memungkinkan Dharma Jaya membeli daging dalam jumlah lebih besar. Akan tetapi, hal itu juga harus disertai dengan pembukaan keran impor yang lebih luas karena kecukupan kebutuhan daging sapi baru bisa dipenuhi dengan membeli dari negara lain. Saat ini, Dharma Jaya mengimpor daging dari Australia dan Selandia Baru dengan harga beli mulai dari Rp 95.000 per kilogram.
Badan usaha milik negara, yaitu Bulog, Berdikari, dan Perusahaan Perdagangan Indonesia diperbolehkan mengimpor daging kerbau dari India dengan harga mulai dari Rp 60.000 per kilogram. Ketiga BUMN ini juga memegang impor daging sapi dari Brasil dengan harga mulai dari Rp 80.000 per kilogram.
Menurut Adam, nilai jual tersebut sudah mengakibatkan daging dari Australia dan Selandia Baru kalah bersaing di pasar. Secara total, Dharma Jaya baru menguasai 5 persen dari pasar daging nasional. Meskipun begitu, menjelang hari raya Idul Fitri, perusahaan tersebut bisa mengendalikan harga dagingnya berkisar antara Rp 89.000 per kilogram dan Rp 98.000 per kilogram, sementara di pasar harga mencapai Rp 140.000 per kilogram.
”Agar Dharma Jaya bisa menaikkan kuota impor dan mulai merambah impor dari negara-negara lain, harus dibuat surat tiga menteri, yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perekonomian,” ujarnya.
Dari sisi aksesibilitas warga bisa dikoordinasikan dengan Perumda Pasar Jaya agar kios-kios daging Dhrama Jaya ada di semua gerai toko dan pasar yang dikelola Pasar Jaya.
Situasi harapan swasembada sapi di Indonesia terlilit banyak masalah. Rochadi Tawaf dari Komite Pendayagunaan Pertanian mengkritisi aturan pemerintah yang justru menghalangi para peternak nasional.
Mereka dilarang menggunakan hormon percepatan pertumbuhan untuk sapinya, tetapi pemerintah tidak melarang daging sapi yang diternakkan dengan hormon tersebut diimpor dari luar negeri. Semestinya larangan pemakaian hormon ini untuk ternak sapi lokal dan daging impor.
Impor daging sapi juga ia tekankan sebagai katup pengatur untuk merangsang produksi daging sapi lokal. Dengan demikian, kompetisi peternak Indonesia dengan luar negeri pada level yang sama. Saat ini justru ada pembebasan impor sehingga menekan produksi nasional (Kompas, 3/9).