Rapat Paripurna DPRD DKI Diwarnai Penolakan dari Empat Fraksi
Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta diwarnai ”walk out” dan penolakan dari empat fraksi. Penolakan terjadi karena empat fraksi berpandangan Pemprov DKI tidak transparan dalam hal data kepada DPRD.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta dengan agenda pengesahan Rancangan Peraturan Daerah Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2019 diwarnai penolakan dari empat fraksi. Mereka keluar dari ruang sidang dan menolak dengan alasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak transparan dalam memberikan data kepada DPRD DKI Jakarta.
Anggota Komisi A DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), August Hamonangan, dalam keterangan tertulis, Senin (7/9/2020), menjelaskan, Fraksi PSI secara tegas menolak laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD Pemprov DKI Jakarta tahun 2019. Hal ini akibat tidak ada transparansi data dari Pemprov DKI Jakarta.
”Kami tidak bisa dan tidak akan serta-merta menyetujui pertanggungjawaban APBD begitu saja. Kami minta data dibuka dan dibahas,” tegasnya.
Begitu Fraksi PSI menyatakan menolak, semua anggotanya memilih keluar ruangan Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta. Bersama Fraksi PSI, fraksi lain yang memilih meninggalkan ruangan rapat paripurna adalah Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Partai Nasdem, dan Fraksi Partai Golkar.
August menerangkan, terkait permintaan untuk membuka data itu, sebelumnya upaya transparansi sudah diperjuangkan Fraksi PSI. Fraksi PSI telah mengirimkan surat permintaan data penyerapan anggaran yang rinci per kegiatan dan per rekening dalam format Microsoft Excel pada 15 April 2020 kepada Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD). Namun, hingga kini belum juga diberi tanggapan.
”APBD adalah uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan secara benar, bukan langsung diketok palu,” tegasnya.
August menilai Pemprov DKI Jakarta kerap berkilah saat diminta pertanggungjawaban anggaran, padahal ditemukan beberapa pos anggaran yang janggal. Misalnya, anggaran Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta di mana terungkap temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam pembelian robot pemadam dengan jumlah sekitar Rp 1,4 miliar dan Rp 840 juta. Akibatnya, Dinas Gulkarmat DKI Jakarta harus mengembalikan kelebihan tersebut kepada kas daerah.
Lalu soal anggaran Formula E di Dinas Pemuda Olahraga. Dalam APBD 2019, Pemprov DKI membayar uang commitment fee sebesar Rp 360 miliar untuk pelaksanaan Formula E tahun 2020. Sementara dalam APBD 2020 juga telah dibayarkan commitment fee sebesar Rp 200 miliar untuk pelaksanaan Formula E tahun 2021.
Di sisi lain, pelaksanaan Formula E tahun 2020 yang sedianya dilakukan bulan Juni telah dibatalkan akibat pandemi Covid-19. Sementara Formula E tahun 2021 belum ada kejelasan.
Selain itu, soal anggaran penanganan banjir. Di era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, pelaksanaan normalisasi sungai mandek. Sementara bencana banjir terus mengancam Ibu Kota.
”Kalau kami tanya, katanya ada masalah pembebasan lahan. Tetapi, sudah tiga tahun masalah ini selalu berulang, tidak ada perbaikan. Mungkin karena memang tidak ada kemauan untuk menangani banjir,” ujar August.
Transparansi
Masalah transparansi juga menjadi alasan Fraksi PAN keluar dari ruang rapat dan menolak laporan P2APBD 2019. ”Kami Fraksi PAN tegas menolak pengesahan P2APBD karena tidak ada tampilan data yang jelas terkait penggunaan anggaran. Dengan angka silpa Rp 1,203 triliun, kami butuh detail pengeluaran anggaran di 2019,” ujar Oman Rakinda, Sekretaris Fraksi PAN DPRD DKI Jakarta, dalam keterangan tertulis.
Dalam pandangan PAN, apa yang sudah dilakukan eksekutif tidak menjalankan perintah dari aturan yang berlaku. ”DKI jalan dengan uang rakyat, dari dan untuk rakyat. Seharusnya eksekutif memberi laporan sesuai dengan asas pengelolaan keuangan daerah, termaktub dalam Pasal 4 PP Nomor 58 Tahun 2005, yakni transparan, apalagi ke kami dewan, yang merupakan representasi rakyat,” tambahnya.
Alasan lain yang membuat PAN menolak adalah masih banyak aspirasi DPRD yang belum didengarkan. ”Kami menyerap banyak aspirasi lewat reses. Salah satu cara kami mengajukan suara rakyat ya lewat laporan reses. Namun, tidak ada yang masuk,” tegas Oman.
Kalau melihat data, lanjut Oman, masih banyak kampung kumuh. Ada 136 kampung kumuh di Ibu Kota yang belum disentuh pemerintah. ”Aspirasi rakyat di kampung ini harus jadi prioritas, tetapi sayang tidak diakomodasi juga,” terang Oman.
Sementara Fraksi Nasdem dan Fraksi Partai Golkar menolak karena Pemprov DKI Jakarta tidak memenuhi hasil reses kedua fraksi itu. ”Sudah satu tahun kita dilantik di sini dan sudah tiga kali reses, banyak aspirasi yang kita sampaikan tidak diwujudkan eksekutif,” kata Basri Baco, anggota Fraksi Partai Golkar.
Selain itu, Baco juga menilai tidak ada transparansi data dari Pemprov DKI Jakarta. Akhirnya, meski ada penolakan dari empat fraksi itu, Raperda tentang APBD 2019 tetap disetujui, bersama dengan dua raperda lainnya, yaitu usulan Raperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 15 Tahun 2010 tentang Pajak Penerangan Jalan dan Raperda tentang Perubahan atas Perda Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Parkir.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengapresiasi anggota DPRD DKI Jakarta dalam mencermati berbagai substansi materi dari ketiga raperda yang resmi menjadi perda tersebut. Ketiga raperda dari Pemprov DKI Jakarta tersebut secara berurutan disetujui oleh pimpinan dan anggota DPRD DKI Jakarta melalui penandatanganan persetujuan bersama pimpinan DPRD dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Terkait Raperda P2APBD 2019 yang disetujui DPRD, Anies berharap ke depan kinerja pengelolaan keuangan Pemprov DKI Jakarta semakin baik, transparan, dan akuntabel sehingga sejalan dengan komitmen Pemprov DKI bersama DPRD DKI Jakarta untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan pemerintahan yang bersih.