Pandemi Sulit Dikendalikan Tanpa Pengetatan Mobilitas Warga
Sulit mengendalikan pandemi selama mobilitas warga masih tinggi. Jalan keluarnya, atur ulang aktivitas warga, mulai dari yang esensial hingga tidak esensial, secara ketat.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya mobilitas warga berdampak pada lonjakan kasus harian Covid-19. Pengaturan jam kerja bagi pekerja formal belum efektif karena tidak dilakukan secara massif. Sebagian ahli menyarankan adanya pembatasan sosial berskala besar secara ketat dalam rentang waktu lebih panjang dari sebelumnya.
Jam kerja Febry Kurniawan (27) berlangsung normal tanpa lembur semenjak pandemi. Sebagai gantinya manajemen perusahaan yang berlokasi di Cibitung, Bekasi, Jawa Barat, membagi karyawan dalam tiga sif, masing-masing delapan jam, supaya tidak terjadi kerumunan.
”Kalau di tempat kerja, untuk protokol kesehatan, masih jalan. Namun, di lingkungan sekitar tempat tinggal sudah banyak yang bosan harus pakai masker terus. Jadi, banyak yang melanggar. Itu juga yang bikin agak ngeri untuk nongkrong atau jalan-jalan,” tutur Febry, Jumat (4/9/2020). Kekhawatirannya semakin bertambah karena sepekan terakhir temuan kasus Covid-19 dari kawasan industri di Bekasi mencapai 546 kasus.
Hidanti Karnila (26) sudah kembali bekerja seperti biasa di Permata Hijau, Jakarta Selatan, sejak pembatasan sosial berskala besar transisi. Manajemen perusahaannya membatasi jumlah karyawan di dalam ruangan dengan penjarakan antarmeja kerja. ”Kerja pukul 09.00-17.00. Protokol kesehatan berjalan. Sejauh ini karyawan baik-baik saja. Namun, waswas kalau ketemu klien bahas perkembangan proyek,” kata Hidanti. Ia sebisa mungkin memilih ruangan terbuka ketika harus bertemu klien di luar kantor masing-masing.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Dwi Oktavia menuturkan, permukiman dan perkantoran menjadi kluster penyebaran Covid-19 terbesar di Jakarta. Banyak pelajar, mahasiswa, pegawai negeri, dan swasta teridentifikasi positif.
Sebanyak 70 persen kasus positif terjadi pada rentang usia 19-50 tahun. Secara keseluruhan, 55 persen pasien Covid-19 merupakan orang tanpa gejala. ”Kelompok usia itu (19-50) mobilitasnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya,” ujar Dwi.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat, sampai 9 Agustus ada 166 kantor kluster penularan Covid-19 dengan laporan 1.081 kasus positif. Lonjakan kasus terjadi sejak pembatasan sosial berskala besar transisi pada 4 Juni. Sebelum transisi, laporan kasus positif dari kluster perkantoran hanya 43 kasus.
Kluster perkantoran juga muncul Jawa Timur. Sampai pertengahan Juli terjadi penularan Covid-19 di 20 kluster perkantoran dengan 272 kasus positif. Kluster perkantoran lain di Bandung, Jawa Barat. Ada 40 orang terkonfirmasi positif seusai tes usap terhadap 1.265 orang di Kantor Gubernur Jawa Barat pada akhir Juli. Sementara itu, di Kalimantan Timur terdapat 61 kasus positif dari empat kluster kantor pemerintahan dan pekerja migas di Samarinda.
Jajak pendapat Kompas awal Agustus merekam kekhawatiran warga akibat peningkatan kasus kluster perkantoran. Tiga dari lima responden mengatakan takut tertular saat kembali masuk kantor di masa adaptasi kebiasaan baru.
Hasil penelitian ”Mobilitas Pekerja dan Risiko Covid-19 di Perkantoran Jabodetabek” menyebutkan, pekerja dapat tertular Covid-19 di kantor ataupun di moda transportasi publik. Kemudian menularkannya kepada anggota keluarga di rumah. Mereka yang tinggal di permukiman padat penduduk lebih rentan menyebarkan virus kepada orang lain. Mereka yang tinggal bersama golongan rentan juga dapat menimbulkan kasus yang fatal.
Ketatkan mobilitas
Menurut Associate Professor dan Sosiolog Bencana di Nanyang Technological University, Sulfikar Amir, mestinya pemerintah mengatur aktivitas warga untuk mengurangi kerumunan. Aktivitas ini mulai dari yang esensial hingga non-esensial.
Sulfikar dalam webinar ”Perlukah Emergency Brake” oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia DKI Jakarta pada Agustus lalu menuturkan, intervensi sosial sebagai mitigasi untuk menekan laju penularan sehingga kasus positif turun. ”Kesehatan dan ekonomi sulit jalan bersama-sama karena bisa membahayakan keselamatan warga. Pilihan paling logis adalah kesehatan jalan dahulu kemudian ekonomi,” ucap Sulfikar.
Sulfikar menyarankan kembali terapkan pembatasan sosial berskala besar dengan syarat lebih ketat mencapai 70 persen pembatasan atau penutupan dan estimasi waktu lebih panjang setidaknya tiga pekan selama dua kali. Pembatasan paling utama ialah aktivitas perkantoran dan penutupan sekolah. Sebab, mobilitas paling tinggi ada di dua sektor ini.
Di sisi lain, tidak perlu menutup aktivitas ekonomi tertentu. Misalnya sektor usaha mikro, kecil, dan menengah berbasis rumah tangga. Sektor ini bisa memanfaatkan jasa pengiriman, seperti ojek, sehingga aktivitas orang di luar rumah berkurang. ”Selama ini, waktu pembatasan sosial terlalu pendek, hanya dua pekan. Memori warga tidak cukup untuk menangkap efek pembatasan karena tidak ada ruang internalisasi perilaku keselamatan yang lebih baik,” katanya.
Apabila angka harian sudah berada di bawah 50, bisa berlangsung intervensi sosial lapis kedua berupa pelonggaran dengan sanksi denda. Jika upaya ini berhasil di DKI Jakarta, akan menjadi referensi daerah lain. ”Semakin terlambat mitigasi ulang, akan semakin sulit karena jumlah penularan semakin besar. Demikian ongkos penanganan akan semakin besar juga,” tuturnya.