Kewaspadaan warga pada pandemi Covid-19 di sejumlah tempat justru berkurang saat kasus makin melonjak. Warga terlihat santai karena terjebak pada rasa aman palsu.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akhir Agustus 2020 ditutup dengan penambahan kasus harian Covid-19 yang mencapai 1.000 pasien di Jakarta. Tiga hari di penghujung Agustus, jumlah orang yang dites terus menurun dari kisaran 6.000 orang menjadi sekitar 4.000 orang. Namun, penambahan kasus harian tetap tertinggi se-Indonesia.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia, dalam konferensi pers, juga menyebut angka rasio positif di Jakarta sepekan terakhir masih berkisar 9,8 persen. Angka ini masih jauh dari batas aman yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen.
Dalam kondisi kurva yang sama sekali belum melandai hingga Selasa (1/9/2020), warga Jakarta justru tampak santai menghadapi situasi pandemi Covid-19. Sejumlah warga di sejumlah lokasi makin kendur menerapkan protokol kesehatan Covid-19.
Sejumlah pusat kerumunan, seperti di Tanah Abang, Jakarta Pusat, tampak ramai, Selasa (1/9/2020). Di antara kerumunan ada Iis (40) yang melepas masker saat berbelanja pakaian. Masker itu terus menggantung di lehernya saat bercakap-cakap dengan pedagang ataupun berpindah toko.
Warga RT 006 RW 006 Kelurahan Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, ini merasa aman melepas masker karena daerahnya yang disebut telah berubah menjadi zona hijau. Namun, dia tidak banyak tahu mengenai perkembangan kasus Covid-19 di wilayahnya saat ini.
”Kemarin dapat info dari RW tempat saya kalau daerah Tanah Abang sudah menjadi zona hijau. Karena keluar enggak terlalu jauh dari rumah, saya pikir, ya, aman-aman saja,” ucap Iis.
Tidak hanya Iis, warga wilayah Tanah Abang, yakni di sekitar Kelurahan Kampung Bali serta Kelurahan Kebon Kacang, juga banyak yang tidak mengenakan masker. Keadaan tersebut seakan telah biasa terjadi di kalangan warga setempat.
Nur Rohman (46), warga RW 009 Kebon Kacang, juga tidak memakai masker saat berada di lingkungan toko kelontong depan rumahnya. Padahal, toko kelontongnya ini berada di pinggir jalan yang dilalui banyak orang. Interaksi dengan pembeli juga dia lakukan tanpa memakai masker.
Dia meyakini, penularan tak akan mudah terjadi selama masih berada di sekitar rumah. ”Daerah RW sini sudah aman, kok. Ada warga yang positif, tapi itu sudah sebulan lalu,” ujar Nur. Meski begitu, dirinya juga tidak banyak mengetahui perkembangan kasus Covid-19 di Jakarta beberapa hari ini.
Selain wilayah Tanah Abang, warga Kelurahan Kota Bambu Utara, Palmerah, Jakarta Barat, juga kian ramai bepergian tanpa masker pada Senin (31/8/2020) malam. Orang dewasa dan anak-anak tampak bebas keluar rumah, jajan, dan makan di pinggir jalan. Hampir tidak ada jarak fisik minimal 1 meter di antara mereka.
Banyak warga di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat yang belum mengetahui betapa masif perkembangan kasus Covid-19 di DKI Jakarta. Padahal, menurut laman corona.jakarta.go.id per 1 September 2020, sebanyak 257 dari total 267 kelurahan di DKI Jakarta masih tergolong memiliki kasus positif aktif. Artinya, meski suatu wilayah ditentukan sebagai zona hijau, potensi terpapar Covid-19 sangat memungkinkan terjadi tanpa kepatuhan protokol kesehatan yang ketat.
Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, mengingatkan, tidak akan ada situasi aman selama protokol kesehatan belum terwujud. Kepatuhan yang rendah di kalangan publik juga menandakan warga belum cukup sadar dengan kewajiban menjalankan protokol kesehatan.
Sebagian warga di Kecamatan Tanah Abang, misalnya, tidak bisa merasa aman hanya karena wilayah RW mereka terhitung sebagai zona hijau. Hal tersebut lantaran sejumlah kelurahan di sana masih menyimpan kasus positif aktif Covid-19.
”Pasien positif, apalagi yang tergolong orang tanpa gejala, masih rentan menularkan Covid-19. Publik sebaiknya tidak terjebak dalam wacana kalau situasi sudah aman, belakangan justru kasus terus melonjak naik,” kata Hermawan.
Di tengah situasi itu, risiko penularan bertambah dengan ditemukannya mutasi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19 yang lebih menular. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amien Soebandrio mengatakan, mutasi virus korona baru SARS-CoV-2 yang dalam kelompok D614G semakin banyak ditemukan di Indonesia.
”Dari 22 spesimen yang dianalisis, ada delapan yang memiliki mutasi D614G. Mungkin akan bertambah,” katanya, Minggu (30/8/2020).
Hermawan menyatakan, mutasi virus yang terjadi bisa menyebabkan lonjakan kasus terus meninggi di kemudian hari. Sebaiknya pemerintah tidak gegabah membuka sektor non-kesehatan, juga mengendurkan praktik pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai daerah.
”IAKMI sejak awal bersikap konsisten, pemerintah jangan gegabah. Saya justru mencemaskan terjadinya kejenuhan di kalangan praktisi kesehatan akibat lonjakan kasus. Terutama juga karena kapasitas pelayanan kesehatan yang makin terbatas, sedangkan kasus terus bertambah,” ujarnya.
Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, mengingatkan rendahnya kepatuhan protokol kesehatan di bermula dari ketegasan pemerintah. Hal tersebut terimplementasi dalam berbagai kebijakan pemerintah.
Agus menilai, berbagai kebijakan pembukaan berbagai sektor non-kesehatan saat ini kontradiktif dengan penanganan pandemi. Apabila mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, pembukaan berbagai sektor semestinya tidak dilakukan saat temuan kasus semakin melonjak.
Pasal 17 Ayat 6 peraturan tersebut secara rinci menjelaskan, pelepasan masa PSBB bisa dilakukan dengan tiga prasyarat, yakni efektivitas pembatasan sosial seperti yang diatur pada Pasal 13, adanya penurunan jumlah kasus, serta tidak ada penyebaran ke area baru. Menurut Agus, pemerintah belum mengindahkan tiga prasyarat itu dalam evaluasi PSBB.
”Kebijakan penanganan pandemi sangat ambigu dan kontradiktif dengan situasi di lapangan saat ini. Terlalu banyak pengecualian yang dibuat sehingga menimbulkan kebingungan bagi publik,” ungkapnya.
Bertepatan dengan enam bulan pandemi Covid-19 di Indonesia pada September ini, langkah penanganan ke depan semestinya dilakukan dengan tidak gegabah dan lebih berhati-hati. Kesehatan publik harus tetap menjadi yang utama. Hermawan menilai, situasi ekonomi akan bisa segera pulih apabila semua warga negara sehat.