Anomali Terjadi Justru Saat Penambahan Kasus Makin Tinggi
Pengabaian pada protokol kesehatan terus terjadi saat lonjakan kasus Covid-19 makin tinggi. Belum ada kewaspadaan meski wilayah zona merah penularan telah melingkupi seluruh Jakarta.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hampir enam bulan Covid-19 merebak di negeri ini, belum ada tanda kurva pandemi bakal melandai. Saat kasus harian di Jakarta semakin tinggi, sebagian warga justru abai dengan protokol kesehatan. Anomali sikap warga ini terjadi setiap saat di banyak tempat.
Pada 30 Agustus 2020, di Jakarta tercatat penambahan 1.114 kasus positif Covid-19 dalam sehari. Angka ini merupakan penambahan tertinggi sejak Maret. Begitu pula Senin (31/8/2020), penambahan kasus harian Covid-19 masih dalam kisaran ribuan, yakni 1.049 kasus.
Di tengah kondisi itu, sejumlah pedagang di lingkungan simpang Pasar Rebo, Jakarta Timur, beraktivitas tanpa masker. Munandar (30), seorang pedagang buah di kawasan itu, meletakkan maskernya di dekat laci uang saat berjualan sepanjang siang.
Munandar mengetahui soal kewajiban memakai masker karena petugas satuan polisi pamong praja (satpol PP) kerap melakukan inspeksi masker kepada warga setempat. Walakin, masker itu tidak selalu dia pakai setiap saat. ”Saya sejauh ini masih percaya enggak percaya dengan Covid-19. Tetangga saya waktu itu ada yang kena, kemudian saya dites. Hasil saya negatif,” ucap Munandar yang berasal dari Banten. Meski begitu, dia akan memakai masker kalau diminta oleh pembeli.
Dwi Priyoko (34), warga setempat, menurunkan masker di dagu saat menunggu bus jurusan Bandung dari Pasar Rebo. Padahal, saat itu dia mengobrol dengan orangtuanya dan berada dalam antrean menunggu bus.
Dwi beranggapan dirinya aman karena mengobrol dengan keluarga yang sama-sama berangkat dari rumah. Sementara dia tidak menyadari potensi penularan yang berasal dari orang-orang di antrean. ”Tadi niatnya dilepas sebentar biar napas sedikit lega, lalu diajak ngobrol dan kelupaan pakai lagi,” ujarnya seraya menaikkan masker kemudian.
Tidak hanya Munandar dan Dwi, pemandangan warga tidak memakai masker saat beraktivitas sebenarnya terus hadir di lingkungan Jakarta Timur. Sejumlah warga dari wilayah Ciracas dan Pasar Rebo yang menuju Jakarta Pusat kerap berada dalam dua kondisi, yakni mengenakan masker dalam posisi kurang pas, seperti tidak menutupi hidung, digantung di dagu, atau bahkan tidak memakai masker sama sekali.
Kondisi tersebut seakan menjadi biasa bagi warga setempat. Padahal, sepekan lalu, seluruh wilayah Jakarta tergolong sebagai zona merah penularan Covid-19. Sementara pada Senin ini, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara masih tercatat sebagai zona merah setidaknya selama empat pekan berturut-turut.
Situasi pandemi di Jakarta sama sekali belum aman karena angka rasio positif mencapai 9,7 persen sepekan terakhir. Padahal, Juli lalu, angka rasio positif Covid-19 di Jakarta rata-rata 5 persen. Sesuai panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ambang maksimal rasio kasus positif 5 persen, dengan catatan jumlah tes minimal 1 per 1.000 orang per minggu.
”Tren peningkatan rasio kasus positif jadi indikasi penularan virus di komunitas tinggi. Tes naik atau turun, rasio positifnya naik, artinya penularan meluas,” jelas epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, Minggu (30/8/2020).
Semakin longgar
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyayangkan pengabaian protokol kesehatan masih terjadi di sekitar lingkungan warga. Dia menilai kondisi tersebut berjalan seiring dengan pembukaan sejumlah tempat wisata dan bioskop yang direncanakan dalam waktu dekat.
Agus menilai berbagai kebijakan pembukaan sektor usaha saat ini kontradiktif dengan penanganan pandemi. Apabila mengacu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, pembukaan berbagai sektor semestinya tidak dilakukan saat temuan kasus semakin melonjak.
Pasal 17 Ayat 6 peraturan tersebut secara rinci menjelaskan, pelepasan masa PSBB bisa dilakukan dengan tiga prasyarat, yakni efektivitas pembatasan sosial seperti yang diatur dalam Pasal 13, adanya penurunan jumlah kasus, serta tidak ada penyebaran ke area baru. Menurut Agus, pemerintah belum mengindahkan tiga prasyarat itu dalam evaluasi PSBB.
Kebijakan yang diambil pemerintah, seperti membuka bioskop dan sejumlah tempat lain, memunculkan kebingungan publik. Tidak heran apabila publik mengira situasi saat ini seakan kembali normal. ”Kebijakan penanganan pandemi sangat ambigu dan kontradiktif dengan situasi di lapangan saat ini. Terlalu banyak pengecualian yang dibuat sehingga menimbulkan kebingungan bagi publik,” ungkapnya.
Agus menambahkan, realisasi kebijakan yang membingungkan akan memengaruhi kepatuhan publik terhadap protokol kesehatan yang ada. Dia mengingatkan agar pemerintah lebih tegas menerapkan kebijakan dan menegakkan sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan.
”Mewujudkan kepatuhan publik mulanya harus dari kejelasan kebijakan dan sosialisasi pemerintah. Kemudian, apakah aturan tersebut sudah berjalan secara tegas bagi pelanggar. Jadi bukan sepenuhnya salah warga,” katanya.
Anggota Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, juga mengingatkan pemerintah agar tidak gegabah dalam pembukaan berbagai sektor. Lonjakan kasus Covid-19 saat ini adalah dampak linier atas keputusan pembukaan sejumlah sektor nonkesehatan.
”Apabila semua sektor nonkesehatan dibuka, tidak heran terjadi lonjakan kasus dan bahkan akan terus meninggi di kemudian hari. Saya mencemaskan terjadinya kejenuhan di kalangan praktisi kesehatan akibat lonjakan kasus. Terutama juga karena kapasitas pelayanan kesehatan yang makin terbatas, sedangkan kasus terus bertambah,” ucap Hermawan.