Sistem Keamanan dan Proteksi Kebakaran di Kejaksaan Agung Gagal
Sumber air terbatas mengakibatkan tim pemadam kesulitan memadamkan api di Kejaksaan Agung dan harus menambah sumber air. Kebakaran itu menunjukkan ada kegagalan sistem proteksi aktif gedung tersebut.
Oleh
AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kebakaran di Kejaksaan Agung menunjukan kegagalan sistem keselamatan dan proteksi kawasan merespon bahaya kebakaran. Pemerintah diimbau untuk mengecek seluruh gedung pemerintahan di atas 40 tahun agar peristiwa kebakaran tak terulang.
Kepala Program Studi S2 Tehnik Sipil Universitas Pelita Harapan Manlian Ronald A Simanjuntak menilai kebakaran gedung Kejaksaan Agung menunjukan kegagalan sistem keselamatan kawasan merespon bahaya kebakaran.
Gedung Utama Kejaksaan Agung merupakan bagian dari kawasan lingkungan Kejaksaan Agung. Sistem keselamatan bangunan gedung yang berbasis Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002, Perda DKI Jakarta Nomor 8 tahun 2008, dan Perda DKI Jakarta Nomor 7 tahun 2010, memiliki dua faktor utama yaitu kelaikan administrasi dan kelaikan teknis.
“Flash over cepat terjadi secara horisontal karena tidak ada fire compartmentation yang membatasi jilatan api. Tidak hanya itu saja, flash over api cepat melintas dari lantai atas ke lantai bawah. Ini jelas tidak maksimal sistem yang mengarahkan api ke luar bangunan gedung, yang terjadi adalah api sangat leluasa membakar isi bangunan gedung,” kata Manlian, Minggu (23/8/2020).
Manlian mempertanyakan pernyataan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Bapak Hari Setiyono yang menyampaikan Gedung Utama Kejaksaan Agung yang terbakar berstatus gedung cagar budaya.
“Apakah itu benar? Apa dasar pengakuan bangunan gedung utama adalah bangunan heritage atau cagar budaya? Karena bangunan gedung cagar budaya memerlukan aplikasi sistem proteksi kebakaran yang khusus,” kata Manlian.
Hingga saat sebelum kebakaran terjadi, kata Manlian, area yang terbakar digunakan untuk pembinaan. “Hal ini perlu dicermati serius, karena jika benar bangunan gedung ini dikategorikan cagar budaya, maka sudah tepatkah fungsi ini dioperasionalkan?” lanjut Manlian.
Tidak hanya itu saja, kata Manlian, proses pemadaman api memakan waktu yang lama. Salah satu faktornya sumber air terbatas mengakibatkan tim pemadam kebakaran kesulitan memadamkan api dan harus menambah sumber air. Oleh karena itu, kebakaran bangunan gedung Kejaksaan adalah kegagalan sistem proteksi aktif karena terlihat jelas sumber air tidak maksimal. Kondisi hidran gedung dan hidran halaman tidak berfungsi maksimal.
Selain kegagalan sistem proteksi aktif, kebakaran gedung Kejaksaan Agung juga kegagalan sistem proteksi pasif. Hal itu terjadi karena jilatan api cepat menyebar dari atas ke bawah dan secara horisontal.
Menurut Manlian, arsitektur bangunan gedung Kejaksaan Agung tidak mampu maksimal berfungsi sekaligus untuk mengendalikan dan mempermudah mematikan api. Bangunan gedung pemerintah dalam hal ini bangunan gedung Kejaksaan Agung seharusnya menjadi model yang optimal terhadap bahaya kebakaran.
Manlian mengimbau, pemerintah untuk mengecek total seluruh sistem keselamatan kebakaran bangunan gedung yang berumur di atas 40 tahun. Peristawa kebakaran di lingkup gedung pemerintahan pernah terjadi di gedung Kementerian Perhubungan dan bangunan gedung Bina Graha.
“Beberapa bangunan gedung milik pemerintah rentan terbakar. Secara khusus bangunan gedung Kejaksaan Agung yang diresmikan tahun 1968 apakah memiliki dokumentasi administrasi proyek yang terupdate?” lanjut Malian.
Pemerintah untuk mengecek total seluruh sistem keselamatan kebakaran bangunan gedung yang berumur di atas 40 tahun. Peristawa kebakaran di lingkup gedung pemerintahan pernah terjadi di gedung Kementerian Perhubungan dan bangunan gedung Bina Graha. (Manlian Ronald A Simanjuntak)
Akibat kebakaran tersebut, Manlian juga mempertanyakan kelengkapan administrasi bangunan gedung Kejaksaan Agung seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dan SLF (Sertifikat Laik Fungsi).
Dua kelengkapan tersebut harus dilihat kembali, karena kelengkapan administrasi ini memuat penambahan atau perubahan desain seperti arsitektur, struktur, utilitas, hingga sistem proteksi kebakaran. Penanggung jawab desain yang ditandai dengan tanda tangan pemilik Izin Pelaku Teknis Bangunan (IPTB) yang berkontrak, serta SLF sebagai bukti otentik keabsahan operasional karya bangunan gedung.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengatakan, gedung Kejaksaan Agung masuk deretan cagar budaya karena itu proses renovasi pembangunannya harus sesuai peraturan daerah yang ditetapkan Gubernur DKI Jakarta.
Terkait penyebab kebakaran dan fungsi proteksi keamanan kebakaran seperti deteksi asap, kata Hari, masih dalam proses penyelidikan Polri.
Hari melanjutkan, Gedung Utama Kejaksaan Agung tidak menyimpan berkas terkait penanganan perkara tindak pidana khusus korupsi dan tindak pidana umum.
“Terhadap berkas perkara yang terkait dengan tindak pidana korupsi 100 persen aman tidak ada masalah. Terbakarnya gedung tidak mempengaruhi penanganan perkara tindak pidana korupsi karena berkas perkara aman 100 persen,” kata Hari, Minggu (23/8/2020).
Hari menjelaskan, gedung utama yang terbakar ditempati pimpinan jaksa agung dan wakil jaksa agung di lantai 2. Sedangkan lantai 3 dan 4 ditempati Jamintel dan bidang intelijen. Kemudian lantai 5 dan 6 ditempati bidang pembinaan dan jaksa agung muda pembinaan.