Sanksi Progresif Bisa Berdampak dengan Pengawasan Ketat
Setegas apa pun sanksi yang berlaku bagi pelanggar protokol kesehatan tidak akan berguna kalau pengawasan kendur. Aturan baru itu bisa berdampak dengan pengawasan yang ketat.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi untuk memberi sanksi progresif kepada pelanggar protokol kesehatan Covid-19 di Jakarta akan percuma apabila pengawasan lemah. Sebab, sejauh ini masih ada saja warga yang mengabaikan protokol tersebut saat bepergian.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai tingkat pengawasan yang masih minim cenderung memberi celah pada regulasi terbaru ini. Padahal, regulasi sanksi progresif telah mengatur secara tegas hukuman pantas bagi orang yang berulang kali melanggar.
”Regulasi terbaru semestinya sudah sangat tegas, tetapi praktik pengawasannya masih belum berlaku ketat. Persoalannya, pihak pemerintah provinsi serius atau tidak dalam sisi pengawasannya,” ujar Trubus saat dihubungi, Senin (24/8/2020).
Regulasi sanksi progresif ada dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Pasal 5 Pergub tersebut menjelaskan jenjang pelanggaran protokol kesehatan apabila terjadi berulang.
Orang yang tidak pakai masker dikenai sanksi kerja sosial selama 60 menit atau denda administratif paling banyak sebesar Rp 250.000. Apabila berulang dua kali, dikenai kerja sosial selama 120 menit atau denda maksimal sebanyak Rp 500.000.
Pelanggaran ketiga kali dikenai kerja sosial selama 180 menit atau denda maksimal sebanyak Rp 750.000. Pelanggaran lebih dari tiga kali dikenai kerja sosial selama 240 menit atau denda Rp 1 juta.
Meski begitu, sejumlah pengendara di jalan-jalan Ibu Kota masih ada saja yang mengabaikan protokol kesehatan. Pantauan Kompas sepekan terakhir, setidaknya satu hingga tiga orang tampak tak memakai masker setiap jam di ruas jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta Arifin mengatakan, sanksi denda banyak dikenakan kepada pengendara di jalan. Dari total Rp 3,41 miliar denda pelanggaran protokol kesehatan hingga 20 Agustus 2020, sekitar Rp 1,7 miliar berasal dari pengguna kendaraan bermotor. ”Masih banyak pelanggar dari kalangan pengendara mobil dan sepeda motor,” ucapnya.
Perwakilan Forum Rukun Warga DKI Jakarta Irsyad menilai, ketidakpatuhan terjadi karena sebagian warga berpikir situasi sudah kembali normal. Pola pikir ini menimbulkan persepsi bahwa Covid-19 saat ini sudah mereda, padahal belum.
Sosialisasi tentang Covid-19 di lapangan tidak berjalan dengan baik. Kerap bertebaran infodemi dari laman internet hingga grup percakapan di ponsel. Infodemi menimbulkan anggapan Covid-19 tidak berbahaya hingga tidak ada. ”Sanksi progresif sebagai upaya supaya warga kembali patuhi protokol kesehatan. Akan lebih baik dibarengi sosialisasi ke level rukun warga,” kata Irsyad.
Truhus menilai perlu juga menerapkan sanksi pidana apabila warga masih membandel. Sanksi berupa kurungan menjadi pertimbangan apabila seseorang telah berulang kali dikenai sanksi, tetapi tidak juga patuh. ”Saya pikir perlu juga memasukkan sanksi pidana karena itu juga diatur dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Pola pikirnya begini, orang yang melanggar kepatuhan protokol kesehatan bisa merugikan banyak orang, misalnya, menyebabkan penularan makin masif. Kalau memang sudah terlalu sering, si pelanggar baru dikenai sanksi kurungan,” papar Trubus.