Di saat bangsa Indonesia masih berjuang melawan virus korona jenis baru, ratusan warga Duri Selatan mempunyai ”medan perjuangan baru”, yakni mempertahankan hidup tanpa hunian.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Di saat bangsa Indonesia masih berjuang melawan virus korona jenis baru, ratusan warga Duri Selatan membuka ”medan perjuangan tambahan”, yakni mempertahankan hidup tanpa hunian.
Kebakaran menghanguskan seratus rumah warga di Duri Selatan, Tambora, Jakarta Barat. Ratusan orang kehilangan tempat tinggal dan berakhir di pengungsian. Warga yang rata-rata merupakan pekerja nonformal ini bingung menjalani hidup setelah kebakaran yang melanda permukiman mereka, Selasa (11/8/2020) malam.
Posko Pengungsian Kelurahan Duri Selatan mencatat, kebakaran terjadi di RT 001, RT 002, dan RT 003. Semua RT tersebut berada di RW 005. Sebanyak 101 rumah terbakar. Akibat kebakaran ini, sebanyak 533 warga terdampak dan tinggal di pengungsian, 59 di antaranya merupakan anak balita dan 16 warga lanjut usia.
Menurut Lurah Duri Selatan M Ghufri Fatchani, api berasal dari ledakan kompor di rumah seorang warga. Api kemudian menyambar tumpukan ”gas melon” 3 kg. ”Kebetulan, warga tersebut menjual gas melon,” kata Ghufri yang ditemui di kantornya, Rabu (12/8/2020) siang.
Saat ini, warga tinggal di pengungsian yang berada di tiga titik, yaitu di tenda biru milik dinas sosial, di rumah dinas lurah, dan di aula kelurahan. Menurut Ghufri, pos pengungsian aktif selama satu bulan ke depan.
”Bantuan yang paling mendesak dibutuhkan selain pangan, juga pakaian laik pakai. Sebab, sekitar 90 persen warga kami itu hanya membawa baju di badannya,” ujarnya.
Dia melanjutkan, pihak kelurahan akan membantu pembuatan dokumen kependudukan warga yang terbakar. Sementara itu, pihaknya juga sedang bersurat ke Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk menyediakan internet bagi pelajar di pengungsian agar mereka tetap bisa mengakses pembelajaran jarak jauh.
Berdasarkan pemantauan Kompas, deretan bangunan yang terbakar itu berada di pinggir kali, dekat Pasar Pos Duri. Warga menyebut kali itu sebagai ”Kali Item Duri”. Pada Rabu siang, sejumlah warga sedang membersihkan puing-puing sisa kebakaran. Ada juga warga yang mengangkut besi-besi yang hangus setelah dilalap api.
Warga RT 010 RW 005, Asep (37), merupakan salah seorang saksi mata. Pada Selasa, pukul 20.00, api muncul dari salah satu rumah di sisi kanan kali. Kemudian api membakar sebuah pohon rimbun di sisi kiri kali. Api dari pohon ini kemudian merembet ke sejumlah toko di Pasar Pos Duri.
Sebelum datang petugas pemadam kebakaran, katanya, warga bahu-membahu memadamkan api. Mereka mendirus ”si jago merah” dengan air kali yang berwarna coklat dan berbau busuk itu.
Menurut Asep, kebakaran dengan pola yang sama pernah terjadi tahun 2007. Rumahnya pun terbakar waktu itu. Kebakaran pun disebabkan oleh ledakan kompor dari salah satu rumah warga.
Bagi sepasang suami istri, Eman (70) dan Titin (65), kebakaran ini merenggut satu-satunya tempat berlindung yang susah payah mereka bangun sejak 1970-an. Waktu itu, Eman bekerja sebagai tukang bangunan.
”Rumahnya itu tak langsung jadi. Dapat kayu tripleks terus dibawa pulang. Terus jadi kamar satu. Separuh lagi bikin bilik. Biarin deh bolong-bolong dulu waktu itu asalkan ada tempat tinggal,” kata Eman.
Di rumah berukuran 4 meter x 6 meter dengan dua lantai itu, suami istri ini tinggal bersama tiga cucu mereka. Biaya hidup sehari-hari dikumpulkan dari hasil mengamen. ”Kini, bingung mau tinggal di mana. Hasil tabungan ngamen selama setahun terakhir habis semua,” ujar Eman.
Sejak setahun terakhir, Eman ikut mengamen seperti istrinya karena sudah tidak sanggup menjadi kuli. Mereka mengamen dengan menggunakan kotak musik yang bisa memutar lagu dangdut. Setiap hari, mereka mendapat paling banyak Rp 100.000.
Di rumah berukuran 4 meter x 6 meter dengan dua lantai itu, suami istri ini tinggal bersama tiga cucu mereka. Biaya hidup sehari-hari dikumpulkan dari hasil mengamen.
Setiap hari, Eman dan Titin menyisihkan pendapatan. Selama setahun terakhir, mereka mengumpulkan Rp 2 juta. Uang itu disimpan di bawah baju yang tersusun di lemari. Ketika api melalap rumah, mereka langsung lari keluar dan sempat terjatuh dua kali. Kaki kanan Titin lebam karena terjerembab.
Sadar akan uang simpanan yang belum diambil, Eman ingin masuk ke rumah yang sudah dilalap api itu. ”Tapi, saya ditahan cucu. Sudah, ikhlaskan saja, kata cucu menenangkan saya,” ujar Eman.
Warga lainnya, Sutirah (44), harus merelakan rumah yang dikontraknya hangus. Sutirah bekerja sebagai ibu rumah tangga. Sementara suaminya menjadi pemungut sampah. Kontrakan seharga Rp 400.000 per bulan itu adalah kemewahan baginya di tengah mahalnya biaya sewa rumah di Jakarta.
”Kini pusing. Ini nasi aja sudah dibagiin, tapi belum termakan. Enggak ada napsu makan. Kepikiran tabungan enggak ada, gimana mau nyari kontrakan baru,” ujar Sutirah.
Ibu tiga anak ini sebenarnya memiliki besan yang rumahnya juga berada di Tambora. Namun, ia enggan menumpang di rumah besannya itu. ”Enggak enak, masa menumpang di rumah besan. Lagipula, rumahnya juga sempit, nanti mau tidur di mana,” ujarnya.
Menurut Lurah Ghufri, warga terdampak rerata merupakan buruh harian lepas, pengojek, dan pedagang kecil. Lokasi kebakaran termasuk kawasan padat. Rumah berukuran 2 meter x 3 meter bisa dihuni hingga tiga kepala keluarga.
Duka Sutirah, Eman, dan Asep mewakili ratusan warga yang kini dipaksa memulai hidup baru di tengah kesesakan ekonomi dan ancaman Covid-19.