Pandemi Covid-19 berdampak pada berbagai ketidakpastian hidup, termasuk dalam hal ekonomi. Kendati kondisi ekonomi tidak menentu, sebagian masyarakat tetap berupaya mengalokasikan dana untuk menabung.
Oleh
Agustina Purwanti (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Menabung atau menyimpan uang menjadi salah satu kegiatan yang sudah dikenal sejak dini hingga dewasa. Keynes, tokoh ekonomi dunia (1936), menyatakan, tabungan merupakan bagian dari pendapatan pada periode tertentu yang tidak habis dikonsumsi pada periode bersangkutan. Seseorang cenderung akan menyisihkan dananya untuk menabung ketika memiliki kelebihan pendapatan.
Namun, situasi tertentu seperti pandemi Covid-19 saat ini telah menggerus daya finansial sebagian masyarakat yang akhirnya berdampak pada kelebihan pendapatan mereka. Merespons hal tersebut, masyarakat menyesuaikan keuangan pribadi dan keluarga sehingga muncul beragam perilaku menabung.
Ada sebagian masyarakat yang kehilangan mata pencaharian utama. Catatan Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,7 juta pekerja harus kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Ada juga sebagian masyarakat yang mengalami pemotongan gaji demi kelangsungan operasional perusahaan. Bagi sebagian masyarakat, dana yang dialokasikan untuk menabung pun berkurang drastis, atau bahkan hilang.
Situasi tersebut terekam dalam jajak pendapat yang dilakukan Kompas akhir Juni lalu. Empat dari sepuluh responden mengaku tidak bisa menabung setelah pandemi melanda karena berkurangnya pendapatan mereka.
Mereka yang tidak bisa menabung saat pandemi ini sekitar 40 persennya sudah mengantongi sejumlah tabungan sebelum pandemi. Sepertiga responden memiliki tabungan sebesar Rp 1 juta hingga Rp 3 juta. Sebanyak 20 persen lainnya sudah menyimpan Rp 3 juta hingga Rp 5 juta sebelum pandemi. Sementara 23 persen responden lainnya sudah mengumpulkan tabungan lebih dari Rp 5 juta.
Perilaku menabung
Merujuk pada Survei Konsumen yang dilakukan oleh Bank Indonesia setiap bulan, ada juga masyarakat Indonesia yang masih aktif mengalokasikan tabungan dari sebagian pendapatannya. Publikasi BI triwulan pertama tahun ini menunjukkan, lebih kurang seperlima pendapatan masyarakat digunakan untuk menabung.
Hasil survei BI tersebut sejalan juga dengan pengakuan separuh responden dalam jajak pendapat ini. Mereka masih dapat menyisihkan dananya untuk menabung walaupun nominalnya beragam. Enam dari 10 responden tetap menabung sekalipun nominalnya lebih kecil. Sepertiga responden lainnya masih menabung dengan besaran yang sama seperti sebelum pandemi terjadi.
Bahkan, 8 persen responden justru mampu menabung dalam jumlah yang lebih besar dari biasanya. Hal ini barangkali sebagai respons turunnya pengeluaran karena sebagian aktivitas berkurang sehingga dana dialihkan untuk menabung.
Fenomena serupa dialami masyarakat di Amerika Serikat dan Inggris. Biro Analisis Ekonomi Amerika Serikat mencatat bahwa tingkat tabungan pribadi AS mencapai 33 persen, seperti dipublikasikan The Wall Street Journal awal Juni lalu. Angka tersebut tertinggi sejak tujuh dekade lalu. Sementara di Inggris, kebiasaan menabung masyarakat meningkat menjadi 8,6 persen, lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 5,4 persen.
Mempertahankan kebiasaan menabung meski dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti tak hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang yang berkemampuan ekonomi besar. Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, responden di semua kategori pengeluaran menyadari pentingnya mempertahankan kebiasaan menabung.
Enam dari sepuluh responden yang ada di kelompok pengeluaran lebih dari Rp 3 juta per bulan mengaku masih bisa menabung di tengah pandemi. Hal serupa dialami separuh dari responden kelompok menengah. Sebanyak 45 persen kelas ekonomi rendah pun masih bisa mengalokasikan dana untuk menabung di masa sulit sekarang ini.
Strategi keuangan
Bencana nonalam yang tengah terjadi saat ini agaknya turut membawa dampak positif bagi masyarakat, salah satunya strategi mengatur keuangan. Hal tersebut tergambar dari pengakuan sekitar separuh responden yang mengatakan mampu bertahan di tengah pandemi karena sebelumnya sudah menabung.
Meski berhadapan dengan daya tahan finansial yang beragam, tak dapat dimungkiri tabungan mereka sebelumnya sangat bermanfaat saat ini. Ada sekitar 40 persen responden yang mampu bertahan hidup mengandalkan tabungan hingga lebih dari tiga bulan. Namun, ada juga 22 persen responden lain terpaksa menguras habis tabungannya sejak awal pandemi.
Pada masa pandemi ini, separuh lebih responden juga mengaku menghemat pengeluaran mereka agar bisa bertahan menabung. Sementara seperempat responden lainnya berupaya menambah pendapatan dengan membuka usaha kecil makanan atau nonmakanan, seperti menjual masker dan alat pelindung diri.
Paling tidak, strategi pengelolaan keuangan masyarakat tersebut mungkin berjalan karena ada dua faktor yang menjadi pendukung di tengah pandemi.
Pertama, imbauan untuk mengurangi aktivitas di luar rumah membuat pengeluaran di luar rumah menjadi lebih rendah dari biasanya. Anggaran untuk berkegiatan di luar rumah, seperti transportasi atau membeli makanan, jadi bisa dialokasikan untuk menabung. Kedua, masyarakat merasakan bahwa kebutuhan akan tabungan menjadi semakin penting, terutama saat kondisi tak terduga datang seperti pandemi saat ini.
Tak dapat dimungkiri, pandemi Covid-19 telah memorak-porandakan dunia dari berbagai sisi. Namun, tidak sedikit pula sisi positif yang muncul, salah satunya memperkuat kesadaran masyarakat akan pentingnya menabung.