Optimisme yang alamiah ada pada diri manusia dan rasa takut mesti seimbang agar masyarakat bisa didorong mengubah perilaku dengan membiasakan diri disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Oleh
Tim Kompas
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah lemah. Demikian pula halnya koordinasi antara pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat. Situasi ini turut mengakibatkan longgarnya penerapan protokol keamanan Covid-19. Padahal, DKI Jakarta belum lepas dari gelombang pertama pandemi. Jumlah kasus positif akan bertambah tanpa sinergi.
Dari pantauan pada Senin (20/7/2020) sore, di wilayah RT 006 RW 010, Kelurahan Pademangan Barat, Pademangan, Jakarta Utara, misalnya, kepatuhan warga terhadap protokol kesehatan masih rendah. Warga sekitar duduk bergerombol di salah satu gang sembari mengobrol tanpa mengenakan masker dan juga tak berjarak.
Liyan (40), salah seorang warga sekitar, saat ditemui di wilayah RT 006 RW 010, Pademangan Barat, mengatakan, mereka memilih duduk mengobrol bersama para tetangga karena terbatasnya ruang gerak di dalam rumah. ”Kami mau ke mana lagi, tempat kami mengobrol di sini. RW kami, kan, sudah selesai lockdown, jadi sebenarnya sudah normal,” katanya.
Menurut perempuan tiga anak itu, ancaman Covid-19 di wilayahnya sudah tidak lagi mengkhawatirkan seperti pada April sampai awal Juli lalu. Hal itu terlihat dari banyaknya tetangga mereka yang positif Covid-19 tetapi sudah sembuh dan kembali beraktivitas serta berkumpul bersama warga.
”Kami tetap mematuhi protokol kesehatan. Tetapi, kalau lagi di depan rumah, ya biasanya seperti ini (tanpa masker). Nanti saat masuk ke rumah sebelum sentuh anak-anak, saya cuci tangan dulu,” katanya.
Camat Pademangan Mumu Mujtahid mengatakan, melonjaknya kasus Covid-19 di Pademangan Barat dengan tingkat penularan yang berlangsung mudah dan cepat disebabkan daerah itu merupakan kawasan padat penduduk sehingga warga sulit menjaga jarak. Selain itu, ada faktor mobilitas orang. Kasus pertama penularan di wilayah itu teridentifikasi dari wilayah RW 011 pada April 2020. Kasus pertama berasal dari jemaah tablig akbar yang saat itu baru pulang dari negara terjangkit, India.
Dalam pengumuman harian perkembangan Covid-19, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan DKI Jakarta Fify Mulyani mengatakan, per 20 Juli ada pertambahan 361 kasus positif baru. Total ada 16.712 kasus dengan rincian 10.598 orang sembuh dan 749 orang meninggal.
Jumlah tes reaksi polimerase (PCR) yang dilakukan adalah 30.300 tes per 1 juta penduduk. Permasalahannya, tingkat hasil positif dari tes itu 5,5 persen. Angka ini di atas batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 5 persen.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Arifin mengakui, memasuki PSBB transisi yang berlangsung hingga akhir Juli, masih banyak warga yang tidak patuh dan menganggap remeh ancaman Covid-19. Arifin berpandangan, hal itu perlu dianalisis lagi, apa saja faktornya.
Menghadapi masyarakat dan perilaku demikian, Arifin menegaskan, satpol PP memilih melakukan patroli, mengawasi, dan melakukan penindakan. Adapun untuk masa PSBB transisi fase pertama, satpol PP berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta masuk ke kawasan pembatasan kawasan berskala lokal di tingkat RW.
Secara terpisah, DPP Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) menyatakan, dari Juni sampai saat ini, total sebanyak 305 pedagang dari 46 pasar di Jakarta positif Covid-19.
”Kami sedang fokus memberikan perlindungan terhadap pedagang yang ada di DKI. Sebanyak 45 pasar yang telah ditutup di Jakarta menjadi fokus dan pelajaran penting untuk ditindaklanjuti dalam tahapan program yang akan dilakukan Ikappi dan jajaran unit kerja pasar,” kata Ketua DPW Ikappi DKI Jakarta Miftahudin.
Sentuh akar rumput
”Apatisme terhadap Covid-19 tidak hanya di masyarakat, tetapi juga di jajaran pemerintah saat melihat kian kendurnya pengawasan dan penegakan kedisiplinan,” kata Guru Besar Pekerjaan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta Adi Fahrudin saat dihubungi pada Senin.
Ia menjabarkan, istilah ”transisi” dan ”normal baru” adalah jargon yang bertujuan menjaga optimisme masyarakat selama pandemi agar tidak jatuh dalam depresi. Akan tetapi, tanpa pendidikan berkesinambungan, keterbukaan informasi publik, dan pemastian protokol keamanan diterapkan, jargon itu melengahkan pemerintah dan warga.
Menurut Adi, saat PSBB dilonggarkan jadi transisi, semua orang bersemangat menikmati kegiatan di luar rumah. Mobilitas orang, meski hanya di lingkungan terbatas seperti antarpermukiman, rumah ke mal, dan ke tempat lain, terbukti turut menunjang penyebaran Covid-19. Apalagi, penerapan protokol kesehatan minim.
Penyebaran informasi mengenai bahaya Covid-19 dan protokol keamanan di masa pandemi, menurut Adi, dinilai masih terlalu pro kalangan sosial menengah ke atas. Pada saat yang sama, informasi kepada kelas sosial menengah-bawah masih samar. Bentuknya masih berupa perintah birokratis dari atas ke bawah, bukan berbasis memberdayakan aset akar rumput, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, majelis kerohanian, dan tokoh pemuda.
Sesat pikir peluang kecil
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Roby Muhamad, menjelaskan, berdasarkan beragam riset dan fakta, manusia di mana pun umumnya punya sifat alamiah berupa optimisme yang sebenarnya bias. Manusia cenderung menganggap peluang sesuatu yang buruk terjadi padanya kecil.
”Mungkin pada orang lain terjadi, tetapi pada dirinya kecil. Itu sudah built-in dalam pikiran manusia,” katanya.
Meski demikian, Roby menyebutkan, ada mekanisme di otak yang bisa menjadi salah satu pemicu perubahan perilaku, yaitu ketakutan. Contohnya, ketakutan terhadap risiko kematian dari penularan Covid-19 membuat seseorang menjauhi kerumunan dan pertemuan serta rajin mengenakan masker. Namun, kadar ketakutan itu mesti pas untuk mendorong terciptanya perubahan perilaku. Sebab, ada dua kemungkinan dari rasa takut berlebihan, yakni menimbulkan kepanikan atau malah membuat seseorang tidak berbuat apa-apa.
Karena itu, dalam konteks Covid-19, menciptakan keseimbangan antara bias optimisme dan ketakutan berlebihan jadi tantangan guna mendorong perubahan perilaku di masyarakat agar membiasakan diri dengan protokol kesehatan.
Ada mekanisme di otak yang bisa menjadi salah satu pemicu perubahan perilaku, yaitu ketakutan.
Menurut Roby, kunci menciptakan keseimbangan itu adalah mengefektifkan lagi komunikasi, baik yang digencarkan pemerintah, nonpemerintah, seperti media massa, maupun komunikasi yang berjalan pada kehidupan sehari-hari warga.
Roby berpendapat, komunikasi terkait Covid-19 selama ini cenderung lebih banyak mengangkat soal apa yang sedang terjadi. ”Itu penting, tetapi yang kadang orang sudah lupa atau mungkin malas adalah mengomunikasikan apa yang harus dilakukan orang,” ucapnya.
Depok dan Tangerang
Tak hanya di Jakarta, dari laman resmi Pemerintah Kota Tangerang Selatan, PSBB hingga tahap keenam belum memberikan dampak signifikan terhadap penanganan Covid-19 di Tangsel. Jumlah kelurahan yang masuk zona merah masih tetap 10 kelurahan. Kelurahan itu adalah Pondok Kacang Barat, Parigi Baru, Jurang Mangu Timur, Pondok Jaya, Pondok Ranji, Pondok Cabe Udik, Pamulang Barat, Bakti Jaya, Buaran, dan Serpong.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Tangsel Tulus Muladiyono belum merespons pertanyaan terkait penambahan kasus baru tersebut.
Wali Kota Depok Muhammad Idris juga melaporkan bahwa berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Depok, terus ada penambahan kasus positif di kota itu. Pada Senin kemarin ada penambahan jumlah kasus terkonfirmasi positif sebanyak 19 kasus sehingga total menjadi 1.011 orang. Status Kota Depok saat ini berada di zona kuning level 3 atau cukup berat.