Budaya bertransportasi umum terus dibangun di sejumlah daerah di Indonesia. Namun, gaungnya berpotensi meredup selama masa pandemi karena kekhawatiran terpapar virus dari moda transportasi umum.
Oleh
Albertus Krisna (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Perbaikan layanan transportasi umum menjadi fokus pemerintah. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dan RPJMN 2020-2024.
Didalam kebijakan itu, sejumlah sistem angkutan umum modern dan maju dikembangkan pemerintah, di antaranya pembangunan angkutan massal cepat berbasis rel, seperti MRT dan jalur lingkar layang KA di Jabodetabek. Kemudian, pengembangan kereta perkotaan di 10 kota metropolitan, pengembangan angkutan massal berbasis bus (bus rapid transit/BRT) di 34 kota besar, dan penyediaan dana subsidi atau PSO. Peningkatan pangsa angkutan umum juga dilakukan, fokus pada enam kota metropolitan, yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Medan.
Meski demikian, pengguna moda umum di sejumlah daerah cenderung menurun, sebaliknya pemakai moda pribadi terus meningkat. Survei BPS tahun 2014 di Jabodetabek menunjukkan, dari total 3,6 juta komuter, hanya 27,8 persen yang menggunakan angkutan umum. Lima tahun berselang, angka ini justru turun menjadi 27,2 persen. Padahal, pilihan moda transportasi umum di Jabodetabek sudah lebih lengkap dibandingkan dengan kawasan lainnya.
Hal yang sama terjadi di kawasan Medan-Binjai-Deli Serdang (Mebidang). Survei BPS 2015 di Mebidang mencatat, pengguna transportasi umum 21,6 persen dari total 325.924 komuter ke tempat kegiatan. Sementara tahun 2019, angka ini hanya menurun menjadi 21,5 persen.
Penyebab
Minimnya pengguna transportasi umum, menurut artikel ”The Factor Influencing Satisfaction with Public City Transport (Pavlína, 2015)”, disebabkan oleh 12 faktor. Mulai dari faktor kedekatan stasiun atau halte, ketepatan waktu, frekuensi, pelayanan berkelanjutan, kecepatan, kenyamanan, keselamatan, kejelasan jadwal, kebersihan, tarif, dan kepuasan menyeluruh.
Dalam kondisi normal, masih ada sejumlah faktor yang belum terpenuhi. Salah satu contoh, jauhnya stasiun atau halte dari tempat tinggal komuter. Warga harus menggunakan moda transportasi lain, seperti angkot, ojek, atau kendaraan pribadi, untuk bisa mengaksesnya. Hal ini kemudian turut memengaruhi membengkaknya ongkos perjalanan dan juga lamanya waktu tempuh.
Ketika masa pandemi Covid-19, muncul faktor lain yang menjadi pertimbangan sebagian besar warga. Hal ini terekam dari hasil jajak pendapat Kompas akhir Juni lalu.
Hampir tiga perempat responden khawatir adanya penyebaran virus selama perjalanan menggunakan transportasi umum. Hal ini pun dipengaruhi oleh faktor kebersihan armada dan berpengaruh pada keselamatan penumpang.
Perubahan moda
Kondisi ini kemudian mengubah perilaku warga dalam bermobilitas. Tiga perempat lebih responden memilih tetap menggunakan moda transportasi pribadi. Sebanyak 11,7 persen berperilaku sebaliknya, pindah dari moda pribadi ke umum. Adapun yang tetap menggunakan angkutan umum hanya 7,5 persen.
Terdapat perbedaan perilaku antara komuter di Jabotebek dan non-Jabodetabek. Pengguna transportasi umum di Jabodetabek lebih banyak yang bertahan (14,4 persen). Sementara responden di luar Jabodetabek hanya sebesar 5,9 persen.
Hal ini disebabkan salah satunya oleh karakteristik pengguna angkutan umum, yaitu kelompok choice dan captive. Kelompok choice merupakan orang yang memiliki pilihan dalam memenuhi kebutuhan mobilitasnya. Mereka mempunyai pilihan, bisa menggunakan kendaraan pribadi dari sisi keuangan, legal dan fisik, tetapi juga bisa naik angkutan umum. Sebaliknya, kelompok captive merupakan orang yang bergantung penuh pada angkutan umum untuk kebutuhan mobilitasnya.
Jabodetabek dengan sistem pelayanan angkutan umum yang relatif lebih baik menjadikan persentase jumlah kelompok captive lebih banyak. Ditambah lagi komuter dengan jarak tempuh 20 km ke atas persentasenya lebih besar dibandingkan dengan komuter di luar Jabodetabek. Hal ini membuat kelompok choice sulit menggapai lokasi kegiatannya karena terbentur faktor fisik.
Moda favorit
Sepeda motor menjadi moda transportasi pribadi yang paling banyak dipilih warga selama masa pandemi. Hampir 70 persen responden terpantau paling sering menggunakan moda ini untuk bepergian ke tempat kegiatan. Di luar Jabodetabek, persentase ini bahkan lebih besar, yaitu mencapai 72,2 persen. Sementara di kawasan Jabodetabek hanya sebesar 55,7 persen.
Hampir 70 persen responden terpantau paling sering menggunakan sepeda motor ini untuk bepergian ke tempat kegiatan.
Meski menjadi moda terfavorit, hanya 11,4 persen responden yang beralih dari angkutan umum ke sepeda motor. Sementara kelompok yang beralih dari angkutan umum ke mobil pribadi lebih besar, hampir 14 persen. Hal ini disebabkan mobil dinilai lebih aman dengan kabin yang lebih kedap dari interaksi banyak orang.
Di antara dua moda kendaraan pribadi itu, terdapat moda lain yang juga menjadi andalan warga, yaitu bus umum (4,4 persen) dan jalan kaki (3,8 persen). Kehadiran BRT di puluhan kota besar di Indonesia kini berangsur menjadi andalan warga. Terlebih ketika ada perbaikan di faktor tarif. Sementara jalan kaki banyak dilakukan para komuter karena kebijakan pemerintah yang mengharuskan pelajar dan pekerja beraktivitas di rumah.
Perubahan perilaku mobilitas ini harus menjadi perhatian serius, terutama banyak beralihnya komuter ke transportasi pribadi. Jika hal ini menjadi kebiasaan baru, dalam jangka panjang, dampak yang lebih besar akan muncul. Mulai dari meningkatnya kemacetan, keterbatasan lahan parkir, hingga gangguan kesehatan dari polusi udara.