Janji Hentikan Reklamasi: Syarat dan Ketentuan Berlaku
Bagi Komunitas Nelayan Tradisional Muara Angke, apa pun kepentingannya, bahkan dengan alasan kepentingan publik, reklamasi tetaplah reklamasi yang merampas ruang penghidupan nelayan.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·5 menit baca
Iwan Charmidi (40) meluapkan kejengkelannya. Penjelasan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bahwa reklamasi di Ancol berbeda dengan proyek 17 pulau, tidak masuk akal. Seperti promo diskon dagangan, janji Gubernur menghentikan reklamasi rupanya disertai syarat dan ketentuan yang berlaku.
Bagi Ketua Komunitas Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke itu, apa pun kepentingannya, bahkan dengan alasan kepentingan publik, reklamasi tetaplah reklamasi yang merampas ruang penghidupan nelayan. Gubernur Anies menyatakan, reklamasi dua area di Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara, tidak bermasalah karena tidak berhadapan dengan kawasan nelayan. Padahal, kawasan nelayan bukan hanya daratan, melainkan juga perairan Teluk Jakarta, termasuk yang ada di utara Ancol.
Iwan menuturkan, nelayan skala kecil dengan modal pas-pasan hanya bisa mencari ikan dekat pesisir Jakarta. Di utara Ancol, mereka bisa memperoleh ikan kada, ikan belanak, ikan kerapu, kepiting, rajungan, kerang hijau, dan udang rebon. ”Jadi, kalau Pak Anies bilang (reklamasi di Ancol) itu tidak mengganggu, itu bohong,” ujarnya saat dihubungi pada Kamis (16/7/2020).
Iwan pun terngiang debat pemilihan kepala daerah DKI tanggal 12 April 2017. Saat itu, ia mewakili komunitas nelayan Jakarta bertanya kepada Anies serta calon gubernur lain, Basuki Tjahaja Purnama, tentang komitmen mereka menyejahterakan nelayan, sedangkan kepentingan reklamasi selama ini sepertinya lebih diutamakan.
Jadi, kalau Pak Anies bilang (reklamasi di Ancol) itu tidak mengganggu, itu bohong.
Anies kala itu menyatakan, reklamasi berdampak buruk bagi nelayan serta lingkungan. ”Mengapa kita menolak reklamasi, karena reklamasi itu justru memberikan dampak yang amat buruk kepada para nelayan kita. Selain itu, memberikan dampak kepada pengelolaan lingkungan,” ujarnya.
Setelah tiga tahun, Iwan baru menyadari bahwa ada syarat dan ketentuan berlaku dari penolakan reklamasi yang dijanjikan Anies. Salah satunya, reklamasi boleh digarap asal demi kepentingan publik.
Tanggal 24 Februari 2020, Anies mengeluarkan Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) Seluas ± 35 Ha (Lebih Kurang Tiga Puluh Lima Hektar) dan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas ± 120 Ha (Lebih Kurang Seratus Dua Puluh Hektar). Dalam penjelasan pada Sabtu (11/7/2020), ia menyatakan langkah itu bagian dari upaya menyelamatkan Jakarta dari bahaya banjir.
Sebab, perluasan lahan memanfaatkan lumpur hasil pengerukan sungai dan waduk yang mengalami sedimentasi alami sehingga harus terus-menerus dikeruk agar tidak menambah risiko banjir. ”Dan penambahan lahan itu, istilah teknisnya adalah reklamasi,” ucapnya.
Pada bagian ini, Iwan tidak paham kepentingan publik mana yang dijadikan dasar, sedangkan nelayan pesisir Ibu Kota—bagian dari publik—terancam dirugikan. Anies beralasan, selama sebelas tahun, perluasan lahan di Ancol Timur sebenarnya sudah berlangsung, menghasilkan daratan seluas 20 hektar yang berasal dari 3,4 juta meter kubik lumpur kerukan. Sepanjang waktu itu, penimbunan berjalan tenang-tenang saja karena tidak mengganggu kegiatan nelayan.
Iwan mengingatkan, perluasan lahan tidak berhenti pada angka 20 hektar, tetapi total 155 hektar. Siapa bisa menjamin kegiatan nelayan tidak terganggu ketika angka yang ditargetkan sudah tercapai?
Syarat dan ketentuan berikutnya, reklamasi boleh berjalan lagi asal bukan bagian dari proyek 17 pulau buatan, yang kemudian oleh pemerintah pusat disinergikan dengan proyek Pembangunan Kawasan Pesisir Terpadu Ibu Kota Nasional (NCICD). ”Nah, yang 17 pulau itu tidak sejalan dengan kepentingan umum, kemudian ada permasalahan dengan hukum, ada mengganggu rasa keadilan, sementara yang di Ancol ini adalah proyek pemerintah untuk melindungi warga Jakarta dari banjir,” kata Anies dalam penjelasannya.
Nah, yang 17 pulau itu tidak sejalan dengan kepentingan umum, kemudian ada permasalahan dengan hukum, ada mengganggu rasa keadilan, sementara yang di Ancol ini adalah proyek pemerintah untuk melindungi warga Jakarta dari banjir.
Keterangan itu masih membingungkan, terutama jika menilik peta rencana perluasan lahan. Litbang Harian Kompas memadukan peta rencana perluasan lahan pada dua tempat di Ancol berdasarkan Kepgub DKI No 237/2020, serta peta rencana detail tata ruang (RDTR) Kecamatan Pademangan Jakarta Utara, lampiran dari Peraturan Daerah DKI No 1/2014 tentang RDTR, dan Peraturan Zonasi.
Hasilnya, rencana perluasan Dufan sebesar 35 hektar beririsan dengan rencana reklamasi Pulau K (32 hektar), sedangkan rencana perluasan Ancol Timur (120 hektar) beririsan dengan rencana Pulau L (481 hektar).
Meski demikian, kader Partai Gerindra yang juga Sekretaris Komisi D DPRD DKI, Syarif, dalam sebuah diskusi tetap menegaskan, tidak ada korelasi antara reklamasi dua area di Ancol dan proyek 17 pulau. Riwayatnya pun berbeda.
Karena itu, Syarif meminta publik tidak mempermasalahkan Kepgub DKI No 237/2020. Namun, saat dikonfirmasi kembali pada hari Kamis, ia juga meminta masyarakat tidak kehilangan daya kritisnya. ”Kita harus cermat terhadap Kepgub No 237/2020. Yang utama adalah kita harus kawal bagaimana merumuskan tata ruang pasca-terbentuknya daratan itu,” ujarnya.
Selain itu, jika reklamasi di Ancol benar berbeda dengan proyek 17 pulau, bukan berarti risiko lingkungan lantas hilang. Apalagi, lumpur kerukan sungai dan waduk jadi andalan untuk membentuk daratan baru. Iya, sungai dan waduk Ibu Kota yang sudah terkenal sebagai tempat penampungan limbah itu. Lumpur yang dikeruk pun mempunyai kemungkinan sudah turut tercemar.
”Kalau misalnya (kadar pencemaran) tinggi, bukan tidak mungkin bahan pencemar itu akan luruh dan lepas ke perairan, dan menambah beban pencemaran,” ucap Peneliti kimia laut dan ekotoksikologi Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, M Reza Cordova.
Reza menambahkan, Pemprov DKI juga perlu memastikan adanya tambahan bentang daratan tidak mengganggu arus laut di Teluk Jakarta, yang selama ini membantu proses pembersihan (flushing) alami di sana. Pembersihan tersebut memang tidak menghilangkan sama sekali polutan, tetapi menurunkan kadar toksisitas dari polutan yang ada.
Jika sirkulasi arus laut berkurang akibat adanya daratan baru, menurun pula oksigen yang dibutuhkan untuk degradasi bahan polutan agar toksisitasnya lebih rendah. Reza mencontohkan, oksigen diperlukan untuk memecah amonia menjadi nitrit dan nitrat.
Terkait itu, Corporate Secretary PT Pembangunan Jaya Ancol, Agung Praptono, memastikan Jaya Ancol sebagai badan usaha milik DKI akan selalu mematuhi syarat di Kepgub DKI No 237/2020. ”Termasuk untuk program JEDI, tentu saja tetap melalui aturan-aturan yang berlaku termasuk amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang dipersyaratkan,” katanya.
Termasuk untuk program JEDI, tentu saja tetap melalui aturan-aturan yang berlaku termasuk amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang dipersyaratkan.
JEDI atau Jakarta Emergency Dredging Initiative merujuk pada program pengerukan lumpur sungai dan waduk untuk pengendalian banjir.
Iwan dan nelayan pesisir Ibu Kota lainnya melabuhkan harapan, perlindungan terhadap banjir di daratan tidak lantas mengorbankan laut yang jadi sumber kehidupan mereka.