Pekerja sektor informal paling terdampak pandemi Covid-19. Hidup mereka justru semakin susah dan pas-pasan.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pekerja sektor informal pusing tujuh keliling selama pagebluk. Pemasukannya kian seret berbanding terbalik dengan pengeluaran yang tetap lancar. Berbagai cara mereka lakukan untuk memanfaatkan kesempatan di tengah pandemi.
Pagebluk dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat Ayu Puspita Sari (28) berhenti kerja dari pabrik rumahan pengolah makanan. Sebagai gantinya, warga Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat, itu bekerja serabutan siang dan malam. Upahnya sekitar Rp 45.000 untuk sekali mencuci dan setrika baju atau membersihkan rumah.
Ibu satu anak itu tidak bisa berpangku tangan sebab belum ada bantuan sosial yang diterimanya sejak awal pagebluk. Padahal, kartu tanda penduduk (KTP) elektronik miliknya berstatus warga DKI Jakarta. ”Saya serabutan, kan, belum dapat bantuan sosial. Mana anak minta jajan, pusing jadinya,” kata Ayu, Jumat (17/6/2020).
Ia harus mengencangkan pinggang karena masih menumpang bersama orangtua di kontrakan dan ada pengeluaran tambahan untuk pembelajaran jarak jauh. Anaknya yang duduk di bangku sekolah dasar memerlukan paket internet untuk kelas daring.
Para pengamen di Kampung Duri dan Kali Anyar, Jakarta Barat, juga kelimpungan selama pagebluk. Tidak ada bantuan sosial dari pemerintah karena tidak punya KTP elektronik dan kartu keluarga. Padahal, ada kebutuhan sehari-hari, biaya sewa indekos, dan melunasi utang.
Mau tidak mau, mereka harus mengamen di tengah PSBB dengan pemasukan seadanya. Saban hari rata-rata hasil mengamen di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi berkisar Rp 80.000. Uang ini dibagi lagi untuk biaya sewa kotak musik Rp 15.000 per hari, makan dan minum, serta transportasi naik kereta rel listrik.
Mak Lina (60), salah satu pengamen, menuturkan bahwa pemasukan semakin berkurang karena bertambahnya jumlah pengamen, termasuk manusia silver, badut-badutan, dan ondel-ondel, di jalanan.
Persoalan lain, para pengamen itu tinggal di petak-petak indekos. Satu petak berukuran 3 meter x 3 meter bisa dihuni 5-7 orang sehingga sulit menjaga jarak. Ketua Sanggar Seroja Rikky Muchammad Fajar (34) menggalang donasi dari jejaring dan warga untuk membantu pengamen dan warga sekitar. Setiap minggu setidaknya berlangsung pembagian bahan pokok.
Mereka juga membeli bantuan sosial dari warga karena sebagian besar petak tidak dilengkapi dapur. Warga menjual bantuan sosial untuk membeli makanan jadi di warung. ”Ada juga kerja sama dengan pemilik rumah yang punya dapur supaya bisa masak terus dibagi-bagikan dalam bentuk nasi bungkus,” ujar Rikky.
Delima (37) juga cukup kewalahan selama pagebluk. Usaha permak pakaiannya harus tutup untuk sementara. Alhasil, ia harus memutar otak untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ibu rumah tangga di Plumpang, Koja, Jakarta Utara, itu beralih membuat masker kain sekaligus memasarkannya melalui media sosial. Upaya itu tidak sia-sia karena membantu dapur tetap mengepul.
Kini mereka masih menerima pesanan masker dalam jumlah terbatas. Bahkan, seiring pelonggaran aktivitas, usaha permak pakaiannya kembali dibuka. Bersama sang adik, mereka juga menjual pop ice untuk menambah pemasukan. ”Ada pemasukan lain, lumayan,” ujar Delima.
Pagebluk membuat jurang ketimpangan semakin dalam. Imbasnya, warga miskin semakin miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dari September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan naik 1,28 juta orang dari Maret 2019 yang 25,14 juta orang.
Angka kemiskinan per Maret 2020 sebesar 9,78 persen. Setelah bertahun-tahun, setidaknya sejak 2006, baru pada dua tahun lalu, yaitu Maret 2018, angka kemiskinan Indonesia di bawah 10 persen.
Menurut BPS, penduduk miskin adalah mereka yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Pada Maret 2020, garis kemiskinan Rp 454.652 per kapita per bulan. Sementara itu, ketimpangan ditunjukkan melalui rasio gini yang berkisar 0-1. Rasio gini mendekati 1 menunjukkan ketimpangan yang semakin lebar.
Padahal, per 1 Juli 2020, Bank Dunia mengelompokkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income), ”naik kelas” dari negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income). Klasifikasi ini berdasarkan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita tahun 2019 yang 4.050 dollar AS.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memproyeksikan, tingkat kemiskinan di Indonesia pada akhir 2020 berkisar 9,7-10,2 persen dari jumlah penduduk di Indonesia. Pada akhir 2020 diperkirakan ada 26,2 juta-27,5 juta orang miskin atau ada tambahan 3,9 juta penduduk miskin pada tahun ini. Peningkatan kemiskinan dihitung berdasarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi 1 persen sampai dengan minus 0,4 persen.
Pandemi Covid-19 dan PSBB membuat masyarakat rentan jatuh miskin. Penduduk pada kelompok rentan miskin memiliki peluang 55 persen menjadi kelompok miskin. Sementara rata-rata peluang penduduk miskin menjadi miskin kronis 55 persen. Pagebluk membuat posisi pekerja informal serba sulit. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga.