Mempersoalkan Mutu dan Beban Psikologis Belajar di Rumah
Berbagai masalah dan kekhawatiran yang muncul dari sistem pembelajaran jarak jauh memicu usulan untuk sistem ke depan, mulai dari tatap muka dengan sistem bergantian, campuran di rumah dan tatap muka, juga homeschooling.
Oleh
MB. Dewi Pancawati (Litbang Kompas)
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 menyebabkan sebagian besar daerah masih harus melanjutkan sistem pembelajaran jarak jauh pada tahun ajaran baru. Pelaksanaan selama empat bulan terakhir yang dinilai belum baik menimbulkan kekhawatiran pada menurunnya kualitas pendidikan dan masalah psikologis anak.
Kemendikbud mengeluarkan kebijakan pada tahun ajaran baru 2020/2021, yakni hanya sekolah di daerah zona hijau saja yang boleh menyelenggarakan pembelajaran tatap muka. Jumlahnya ada 6 persen siswa. Sementara 94 persen siswa yang berada di zona kuning, oranye, dan merah masih harus melanjutkan sistem pembelajaran jarak jauh, baik secara daring maupun dengan metode lainnya.
Pembelajaran tatap muka di zona hijau tersebut diberlakukan secara bertahap, dimulai dari tingkat SMP dan SMA, disusul SD kemudian PAUD dengan jarak dua bulan. Protokol kesehatan ketat dan pola tatanan kenormalan baru di dunia pendidikan harus tetap diterapkan.
Tidak efektif
Mayoritas publik (67 persen) menyebutkan, pelaksanaan pembelajaran daring selama pandemi belum berjalan dengan baik dan efektif. Namun, sistem ini dipandang sebagai pilihan terbaik untuk kondisi saat ini.
Kondisi saat ini membuat dilema bagi orangtua. Orangtua khawatir jika anak mulai masuk sekolah akan berisiko terpapar virus. Namun, di sisi lain pembelajaran jarak jauh dinilai masih banyak kekurangan, apalagi jika akan berlangsung lama.
Gambaran masih adanya kekurangan sistem pembelajaran daring terlihat dari hasil survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada medio April lalu. Mayoritas siswa (76,7 persen dari 1700-an responden) mengaku tidak suka dan tidak nyaman dengan sistem pembelajaran daring.
Siswa mengeluhkan beratnya tugas yang diberikan guru dalam waktu yang singkat. Kendala lainnya adalah tidak mempunyai peralatan untuk belajar daring yang memadai hingga keterbatasan kuota internet.
Belum lagi kesulitan-kesulitan pembelajaran jarak jauh yang dialami daerah-daerah yang tidak memiliki akses internet. Berdasarkan data Potensi Desa (BPS, 2018), masih ada 13.680 desa yang belum terjangkau internet.
Bisa dimaklumi proses pembelajaran jarak jauh banyak kekurangan ketika mendadak diberlakukan sejak virus korona semakin meluas di Tanah Air. Memindahkan proses belajar di dunia nyata dengan tatap muka ke dunia maya tentu tidaklah mudah. Semua pihak menjadi gagap karena tanpa persiapan sama sekali.
Banyaknya problem dalam pembelajaran jarak jauh ini menimbulkan kekhawatiran publik. Sepertiga publik jajak pendapat mengkhawatirkan kualitas pendidikan akan menurun jika pembelajaran jarak jauh berlangsung lebih lama.
Tak dapat dimungkiri, selama pembelajaran jarak jauh banyak materi pembelajaran yang tak tersampaikan dengan baik. Pemahaman pun lebih sulit karena peserta didik tidak berinteraksi langsung dengan guru.
Sebagai gambaran di daerah terpencil yang tidak ada sinyal dan guru terkendala untuk mendatangi siswa. Pembelajaran jarak jauh di sana sama artinya dengan ’libur’. Pendidikan di daerah yang tidak punya akses teknologi akan semakin tertinggal. Hal ini dikhawatirkan 13,4 persen publik.
Masalah psikososial anak, dampak belajar dari rumah juga menjadi hal yang paling dikhawatirkan 28,3 persen publik. Anak menjadi jenuh, malas, bahkan stres. Motivasinya menurun karena tidak ada teman belajar. Ujungnya, pembelajaran jarak jauh bisa memengaruhi mental dan emosional anak.
Selain anak, orangtua juga ikut gelisah. Sebanyak 15,5 persen publik mengkhawatirkan tingkat stres orangtua yang meningkat saat terlibat dalam pembelajaran daring ini.
Peran menjadi guru di rumah tidak mudah. Apalagi bagi orangtua yang bekerja harus bisa membagi waktu antara urusan anak dengan pekerjaan. Orangtua pun terbebani dengan biaya kuota internet yang semakin membengkak.
Strategi
Strategi dibutuhkan agar proses pembelajaran virtual bisa berjalan efektif dan menyenangkan bagi siswa. Seperempat responden berharap pemerintah lebih memberikan perhatian pada daerah-daerah yang kesulitan melakukan pembelajaran daring dengan memberikan bantuan, baik finansial maupun sarana prasarana. Selain itu, 23,9 persen responden juga mengharapkan adanya subsidi untuk pembelian kuota internet.
Bagi guru yang tidak menguasai teknologi, pembelajaran daring ini menjadi beban tersendiri. Sebanyak 12 persen responden mengharapkan ada upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kemampuan guru mengakses teknologi sehingga bisa memberikan materi yang lebih menarik dan interaktif dengan siswa.
Strategi lain yang menjadi perhatian publik adalah masalah kurikulum. Sebanyak 13 persen menginginkan adanya kurikulum darurat pandemi agar siswa tidak terbebani untuk menyelesaikan materi kurikulum selama ini.
Berbagai masalah dan kekhawatiran yang muncul dari sistem pembelajaran jarak jauh melahirkan berbagai usulan untuk sistem pembelajaran ke depan. Seperempat lebih berharap adanya pembelajaran tatap muka dengan sistem bergantian. Ada pula yang ingin supaya ada sistem campuran antara tatap muka dan daring (18 persen). Bahkan, 18 persen responden berharap pembelajaran jarak jauh diperpanjang dan 13 persen dengan menerapkan homeschooling.
Bermacam usulan sistem pendidikan di masa adaptasi kebiasaan baru layak menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan sistem pendidikan ke depan. Sebelum memutuskan, harus dipertimbangkan dengan baik untung ruginya. Terpenting, siswa pendidikan dasar dan menengah ini bisa tetap mendapatkan pengalaman belajar sesuai kemampuan dan kebutuhannya di masa pandemi ini.