Perluasan Kawasan Ancol Timur 120 Hektar Melanggar Perda RDTR
Perluasan kawasan Ancol adalah untuk kepentingan rekreasi. Namun, pengamat tata kota menilai perluasan menyalahi perda RDTR sehingga seharusnya perluasan itu batal.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Melalui Keputusan Gubernur Nomor 237 Tahun 2020, Gubernur DKI Jakarta memberikan izin perluasan kawasan rekreasi Dunia Fantasi di kompleks Ancol seluas 35 hektar dan kawasan rekreasi Taman Impian Ancol Timur seluas 120 hektar. Namun, berdasarkan Perda No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi, perluasan 120 hektar di Ancol Timur itu tidak ada di peta sehingga dipastikan melanggar perda dan harus dibatalkan.
Nirwono Joga, pengamat tata kota yang juga peneliti pada Pusat Studi Perkotaan Universitas Trisakti, Kamis (9/7/2020), menjelaskan, berbicara perluasan kawasan daratan atau upaya penambahan daratan di Ancol sudah dilakukan sejak 1960-an. Saat itu, ada upaya mengubah kawasan rawa-rawa menjadi kawasan rekreasi.
Apabila dicek kembali dalam peta RDTR DKI Jakarta, penambahan luas kawasan pantai berupa daratan, untuk Ancol yang terpetakan adalah yang area untuk Dunia Fantasi (Dufan) seluas 35 hektar.
”Untuk kawasan Ancol itu, memang yang sudah diakomodasi adalah yang Dufan sehingga 35 hektar itu sudah diakomodasi secara teknis. Okelah kalau sudah diakomodasi berarti tidak ada masalah,” jelas Nirwono Joga.
Yang menjadi masalah, lanjut Nirwono, adalah untuk perluasan kawasan seluas 120 hektar di Ancol Timur. Di dalam peta RDTR tersebut, rencana perluasan kawasan seluas 120 hektar itu tidak muncul.
Apabila rencana perluasan kawasan 120 hektar itu memang menjadi rencana Pemprov DKI Jakarta, seharusnya ada di peta RDTR. Apalagi, Perda tentang RDTR dan Peraturan Zonasi itu diterbitkan pada 2014 dan akan berlaku sampai dengan 2030.
Selain itu, lanjutnya, juga belum ada penerbitan rencana induk atas rencana pembangunan di kawasan perluasan itu. Sementara, dalam butir sembilan Kepgub No 237/2020, yang ditandatangani Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta pada 24 Februari 2020, disebutkan, pembangunan di atas lahan perluasan kawasan harus mengacu pada RDTR, Masterplan, dan Panduan Rancang Kota, serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
”Karena dalam RDTR saja tidak muncul, lalu juga belum ada masterplan (rencana induk), secara teknis tambahan perluasan kawasan 100 hektar harus dibatalkan Pemprov DKI Jakarta,” jelas Nirwono.
Karena dalam RDTR saja tidak muncul, lalu juga belum ada masterplan, secara teknis tambahan perluasan kawasan 100 hektar harus dibatalkan Pemprov DKI Jakarta.
Penambahan 100 hektar disebutkan, bukan 120 hektar, karena setelah dilihat dengan peta satelit, saat ini di kawasan Ancol Timur sudah terbentuk daratan baru seluas 20 hektar.
Dalam keterangan kepada media, Jumat (3/7/2020), Sekdaprov DKI Jakarta Saefullah menerangkan, lahan seluas 20 hektar di Ancol Timur itu terbentuk setelah adanya proyek Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI), sebuah proyek penanggulangan banjir Jakarta, kerja sama antara Bank Dunia dan Pemprov DKI Jakarta.
Melalui proyek penanggulangan banjir Jakarta yang dimulai 2009 itu, dilakukanlah pengerukan waduk dan 13 sungai di Jakarta. Lumpur hasil kerukan itu diletakkan di kawasan Ancol Timur yang akhirnya dalam 11 tahun menambah luas kawasan daratan seluas 20 hektar.
”Kawasan seluas 20 hektar itu bagian dari daratan Ancol Timur yang berupa muara sungai. Jadi, kawasan 20 hektar ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan pulau reklamasi yang dibatalkan,” jelas Nirwono.
Kawasan seluas 20 hektar itu bagian dari daratan Ancol Timur yang berupa muara sungai. Jadi, kawasan 20 hektar ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan pulau reklamasi yang dibatalkan.
Karena tidak ada dalam peta RDTR, juga rencana induk belum ada, menurut Nirwono, Kepgub No 237/2020 yang memberi izin perluasan 120 hektar itu melanggar perda.
Di sini, lanjut Nirwono, ini menjadi pekerjaan rumah anggota DPRD DKI Jakarta untuk mengawal dengan ketat. Khususnya daratan 20 hektar yang sudah terbentuk dan membatalkan perluasan 100 hektar.
Ia juga menambahkan, kalau mau dilanjutkan, harusnya ada evaluasi dari dampak lingkungan yang timbul setelah adanya lahan 20 hektar itu. Ia menyebutkan, misalnya, apakah berpengaruh pada aliran air hingga terjadi rob, berpengaruhkah pada aktivitas nelayan, hingga bagaimana dengan pencemaran di muara sungai.
”Nah, kondisinya sekarang kalau kita disuruh memilih, yang lebih difokuskan adalah bagaimana yang 20 hektar itu distop. Karena telanjur dibangun, kita juga realistis tidak mungkin dibongkar. Maka tugas dari Kementerian ATR BPN terutama, memastikan, yang 20 hektar ini berhenti kemudian statusnya mau jadi apa. Karena harus disertifikatkan itu. Juga harus dipastikan penggunaannya untuk apa,” papar Nirwono.
Untuk yang rencana 100 hektar, lanjut Nirwono, harus dibatalkan. Karena selain tidak ada dalam peta RDTR, juga ditengarai yang 100 ha ini nanti akan diupayakan melalui kajian macam-macam, untuk membenarkan atau mendukung yang legalitas rencana 100 hektar tersebut.
”Bahayanya dengan adanya kajian tadi, ini menjadi dukungan kuat untuk memasukkan rencana itu ke dalam revisi RDTR. Itu yang salah kaprah, pola pikir terbalik,” kata Nirwono.
Apabila itu didukung, lanjut Nirwono, apa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dan PT Taman Impian Jaya Ancol akan dicontoh banyak pengembang lain. Pengembang yang memiliki lahan pantai akan mengusulkan pengurugan pantai (bukan reklamasi) supaya daratan pantai bertambah. Setelah itu, akan membuatkan kajian dan memenuhi syarat-syarat kewajiban supaya bisa diakomodasi dalam revisi RDTR.
”Rencana perluasan 120 hektar ini yang harus dicegah. Pemprov DKI harus memberi contoh supaya membangun itu mematuhi aturan, DPRD harusnya mengawal,” kata Nirwono.
Sementara, dalam rapat Komisi B bidang Perekonomian DPRD DKI Jakarta, Kamis (8/7/2020), dengan PT Pembangunan Jaya Ancol dan Pemprov DKI Jakarta terungkap, Komisi B mempertanyakan upaya reklamasi (perluasan kawasan pantai) Ancol Timur yang tidak pernah disampaikan kepada DPRD DKI Jakarta. Juga dengan adanya kepgub tentang izin perluasan kawasan itu.
”Kami mengetahui itu semua dari televisi. Lalu kami juga mempertanyakan kepgub tentang perluasan kawasan, rencana perluasan kawasan tersebut, dan sejauh mana kemampuan Pembangunan Jaya Ancol melakukan pengembangan sesuai izin itu. Dari manakah sumber dan yang akan dipakai?” papar Sekretaris Komisi B DPRD DKI Jakarta Pandapotan Sinaga.
Wahyu Dewanto, anggota Komisi B, juga mempertanyakan peruntukan dari kawasan itu. Ia meminta pihak Ancol untuk bisa menjelaskan zonasinya.
Dalam rapat kerja tersebut, Direktur Utama PT Taman Impian Jaya Ancol Tbk Teuku Sahir Syahali menerangkan, sebagai BUMD, Taman Impian Jaya Ancol mendapat arahan untuk membuat konsep, pengembangan Ancol ke depan. Di antaranya memuat Ocean Fantasy, kedua adalah konsep rekreasi theme park. Itu semua akan dikerjakan sendiri, tidak dikerjasamakan dengan pihak lain.
Rika Lestari, Department Head Corporate Communication PT Impian Jaya Ancol Tbk, seusai rapat kerja menambahkan, untuk saat ini manajemen akan membesarkan yang sudah ada. Seperti akan ada Symphony of the Sea dan sejumlah wahana rekreasi.
Adapun untuk perluasan kawasan adalah sesuai dengan Kepgub No 237/2020. Perencanaan-perencanaan perluasan sudah ada dan sedang direncanakan. Namun karena ada pandemi Covid-19, untuk perluasan tahun ini ditunda.