Banyak muncul kekecewaan warga karena melihat tetangga mendapat bansos yang berbeda atau lebih sering frekuensinya. Transparansi data ini harus dilakukan secara daring di situs pemerintah pusat dan daerah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pencegahan Korupsi meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperjelas kriteria penerimaan bantuan sosial, terutama untuk masyarakat yang masuk kategori rentan miskin. Hal ini agar mencegah masyarakat mendaftarkan diri sebagai calon penerima bantuan, tetapi kemudian ditolak karena dianggap tidak sesuai kriteria, sementara kriteria itu sendiri spesifikasinya belum transparan.
Demikian diutarakan Juru Bicara Bidang Pencegahan KK Ipi Maryati Kuding seusai bertemu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beserta jajarannya di Jakarta, Kamis (9/7/2020). Ipi mendampingi dua komisioner KPK, yaitu Alexander Marwata dan Nurul Ghufron. Pertemuan itu membahas mengenai penyaluran dan kemajuan bantuan sosial (bansos) selama masa pandemi Covid-19 dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
KPK meminta Pemprov DKI Jakarta memadankan data penerima bansos dengan nomor induk kependudukan sehingga koordinasi dengan pemerintah pusat, seperti Kementerian Sosial, bisa rapi dan penyaluran bantuan tepat sasaran. Kerja sama dengan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga diminta diperkuat.
Ipi mengungkapkan, terdapat 31 laporan kepada KPK dari lima kotamadya dan satu kabupaten di DKI Jakarta. Mayoritas mengeluhkan bahwa warga yang telah mendaftarkan diri atau keluarga sebagai penerima bansos, tetapi ditolak oleh pemerintah pusat dan daerah tanpa ada keterangan.
”Kami mengamati kriteria penerima bansos untuk masyarakat rentan miskin masih sangat umum sehingga banyak orang mengira dirinya layak mendapat bantuan. Semestinya diberikan kriteria terperinci agar masyarakat benar-benar bisa menilai jika status ekonominya memang masuk kategori calon penerima bansos,” ujarnya.
Kategori ekonomi rentan adalah masyarakat yang tidak masuk dalam kuintil miskin, tetapi rawan jatuh miskin apabila terjadi sesuatu, seperti pemecatan dari pekerjaan, jatuh sakit, atau kecelakaan. Pandemi Covid-19 yang menekan perputaran roda perekonomian mengakibatkan perusahaan memutus hubungan kerja atau masyarakat tidak bisa berwiraswasta karena adanya PSBB sehingga pendapatan rumah tangga berkurang drastis.
Menurut Ipi, kategori ini pendefinisiannya harus jelas. Berbeda dengan kategori masyarakat miskin yang bisa dibuktikan dari keikutsertaan dalam Program Keluarga Harapan, Kartu Jakarta Pintar, Bantuan Pangan Non Tunai, ataupun skema lainnya dari pemerintah yang telah berjalan sejak sebelum ada pandemi Covid-19.
Transparan
Selain spesifikasi kriteria, faktor penting lainnya adalah keterbukaan data kepada masyarakat. Ipi menjelaskan, di lapangan banyak terjadi kasus ketidakpercayaan warga kepada pengurus pemerintahan terkecil, seperti lurah, rukun warga, dan rukun tertangga. Hal ini bisa dihindari dengan memasang daftar nama penerima bansos, jenis bansos yang diterima, lama penerimaan, dan jadwal penurunan bansos.
Warga ternyata banyak yang tidak tahu bahwa bansos itu terdiri dari berbagai skema, berbeda isi paketnya, dan sumber seperti dari Pemprov DKI Jakarta atau dari pemerintah pusat, metode pemberian seperti langsung dibagikan ke rumah atau melalui transfer bank, serta jadwal pembagian misalnya ada yang sekali sebulan dan ada yang dua kali sebulan.
”Makanya banyak muncul kekecewaan warga karena melihat tetangga mendapat bansos yang berbeda atau lebih sering frekuensinya. Transparansi data ini harus dilakukan secara daring di situs pemerintah dan secara manual, seperti memasang poster di kantor kelurahan,” ujar Ipi.
Makanya banyak muncul kekecewaan warga karena melihat tetangga mendapat bansos yang berbeda atau lebih sering frekuensinya. Transparansi data ini harus dilakukan secara daring di situs pemerintah dan secara manual, seperti memasang poster di kantor kelurahan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan bahwa pemberian bansos telah dilakukan dalam empat tahap dan kini memasuki tahap kelima. Total ada 1,1 juta keluarga yang menerima bantuan. Pada tahap pertama, data penerima diperoleh dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial, Kartu Jakarta Pintar Plus, dan masukan data dari masyarakat melalui kelurahan.
Terdapat pula masukan data dari komunitas pengemudi ojek daring; pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah; serta seniman yang mengalami kesulitan mencari nafkah. Pada tahap kedua hingga kelima dilakukan pemutakhiran data secara bergulir berdasarkan verifikasi masukan dari lapangan.
”Syarat dari penerima bansos ialah memiliki bukti berupa NIK atau Kartu Keluarga sebagai warga Jakarta atau berdomisili di Jakarta dan terdampak secara ekonomi karena pandemi, misalnya dipecat, dirumahkan tanpa upah penuh, atau pendapatannya berkurang drastis. Data itu diverifikasi oleh RW dan petugas dinas sosial secara reguler,” tuturnya.
Ia mengatakan, tim teknis di Pemprov DKI Jakarta terus berkomunikasi dengan KPK terkait saran dan kritik. Pembahasannya akan dilakukan lebih lanjut pada level teknis.
Koalisi Pemantau Bansos DKI Jakarta melakukan survei terhadap 3.598 keluarga miskin. Terungkap bahwa 73 persen di antaranya belum terdaftar dalam Program Keluarga Harapan ataupun skema bantuan lainnya. Standar garis kemiskinan di Jakarta adalah pengeluaran Rp 663.355 setiap bulan per anggota keluarga. Koalisi mencatat, sebelum pandemi Covid-19, ada 2.310 keluarga sangat miskin. Setelah ada pandemi bertambah menjadi 3.194 keluarga.
”Padahal, mereka tercatat memiliki kartu tanda penduduk ataupun kartu keluarga Jakarta,” kata Dika Moehammad, Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia, salah satu organisasi anggota koalisi itu (Kompas, 27 Juni 2020).