Kami Sembunyi Dulu, Virus Korona Ada di Depan Rumah
Mari, patuhi protokol kesehatan. Jangan menunggu Covid-19 muncul depan rumah dan memaksa kita untuk sembunyi, terkucil di tempat sendiri.
Setiap orang punya pengalaman sendiri menanggapi pandemi Covid-19 yang kini mengglobal. Mereka yang percaya dan sadar betul dengan ancaman wabah ini lebih mawas diri dan waspada. Bagi yang tak percaya, virus ini bisa jadi hanya dianggap sebagai konspirasi atau propaganda kelompok tertentu.
Menyadarkan orang untuk memahami dan mewaspadai pandemi Covid-19 memang tak mudah. Apalagi virus ini seperti makhluk dunia lain—kuntilanak atau hantu—yang kisahnya mendunia, tetapi tak semua orang punya keistimewaan untuk bertemu atau melihatnya secara langsung. Haruskah virus ini menampakkan diri dengan muncul di depan rumah untuk kita percaya dan waspada?
Jika didasarkan pada data, ancaman pandemi Covid-19 sungguh nyata. Secara global, dari data Covid19.go.id, hingga Rabu (8/7/2020) sore, kasus Covid-19 telah terindentifikasi di 216 negara. Kasus positif Covid-19 yang terkonfirmasi 11.591.595 kasus dengan angka kematian akibat pandemi ini 537.859 kasus. Di Indonesia, jumlah kasus positif Covid-19 yang terkonfirmasi 68.079 kasus dengan angka kematian 3.359 orang.
Jutaan kasus yang terkonfirmasi dengan korban jiwa mencapai ratusan ribu orang belum membuka mata seluruh masyarakat menyadari ancaman pandemi ini. Di Jakarta saja, hasil Survei Persepsi Risiko Covid-19 DKI Jakarta dari Social Resilience Lab Nanyang Technological University bersama Laporcovid-19, menunjukkan, 77 persen masyarakat meyakini bahwa kemungkinan mereka tertular Covid-19 sangat kecil. Sebesar 76 persen warga juga meyakini risiko yang sama bagi orang terdekat. Selain itu, 70 persen warga meyakini risiko orang tertular di tempat tinggalnya juga kecil (Kompas, 5/7/2020).
Baca juga : Usia Produktif Disebut Paling Rentan Tertular Covid-19
Di setiap kesempatan, terutama obrolan di warung-warung kopi atau tongkrongan, ketidakpercayaan sebagian warga terhadap pandemi ini lumrah terjadi. Ada ragam pertanyaan, ejekan, hingga sindiran yang muncul di antara sesama rekan atau teman obrolan saat berdiskusi tentang Covid-19.
”Ke sini, duduk ngopi. Enggak usah sok patuh pakai jaga jarak segala. Maskernya dilepas biar enak ngobrol-nya,” kata seorang pria berusia sekitar 45 tahun kepada kerabatnya di sebuah warung kopi, di Pluit, Jakarta Utara, akhir Juni 2020.
Kerabatnya pun manut dan mengikuti permintaan lelaki berusia 45 tahun tersebut. Lelaki itu kemudian melanjutkan, kalau virus korona tipe baru tak mungkin menulari orang dengan kondisi kesehatan yang prima. Baginya, virus korona tipe baru hanya propaganda yang kini jadi bisnis baru kelompok tertentu untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari bidang kesehatan.
”Kalau penyakit ini berbahaya, kita harusnya punya kesempatan yang sama dites, tidak pakai bayar. Saya kemarin dari kampung ke sini (Jakarta), harus tes cepat dulu, harganya Rp 250.000. Kalau bawa keluarga dua tiga orang, lebih mahal dari harga tiket pesawat. Ini seperti bisnis baru,” ujar lelaki asal Nusa Tenggara Timur itu.
Kalau penyakit ini berbahaya, kita harusnya punya kesempatan yang sama dites, tidak pakai bayar.
Baca juga : Catat Tanggalnya, Bioskop Mulai Buka 29 Juli
Keluhan lelaki itu beralasan dan kini jadi perhatian Ombudsman Republik Indonesia. Banyak warga yang mengadukan mahalnya tarif tes cepat sebagai salah satu syarat bepergian dengan pesawat atau kereta api. Biayanya beragam, mulai dari Rp 95.000 hingga Rp 1 juta. Padahal, harga alat tes cepat berkisar Rp 60.000 hingga Rp 400.000.
”Tarif tesnya tidak masuk akal. Apalagi, sekarang banyak tawaran uji tes cepat yang berpotensi bisnis,” ujar anggota Ombudsman RI, Alvin Lie, (Kompas, 7/7/2020).
Potensi bisnis itu berkaca dari tempat-tempat uji tes cepat yang tidak sesuai standar dalam memberikan pelayanan. Misalnya, petugas pengambil sampel hanya mengenakan masker dan sarung tangan tanpa alat pelindung diri standar.
Warga kompleks positif
Ejekan, sindiran, dan ketidakpercayaan sebagian warga mungkin akan berubah ketika penularan virus ini kian dekat. Salah satu contohnya, terjadi pada warga permukiman padat penduduk RW 006 dan RW 014 Gorogol Utara, Jakarta Selatan.
Baca juga : Kedisiplinan Fluktuatif Ancam Pengendalian Covid-19
Jauh sebelum masa adaptasi normal baru, saat DKI Jakarta menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kompleks permukiman padat itu tetap ramai. Gang-gang sempit itu dipadati warga dengan beragam aktivitas diselingi canda dan tawa. Tak ada masker, tak ada jarak. Pandemi Covid-19 yang terus memakan korban jiwa dan pemberitaannya mendominasi layar kaca seluruh televisi di Indonesia tak menghentikan mereka berkumpul dan bercanda hinga larut malam.
Aktivitas warga yang selalu ramai itu sejenak berubah. Pada Sabtu (4/7/2020), setelah ada kabar belasan warga di kompleks itu terkonfirmasi positif Covid-19, setiap warga memilih menghabiskan waktu di dalam rumah masing-masing. Sejumlah tempat tongkrongan pemuda setempat sepi.
Aktivitas di gang-gang itu di hari berikutnya saat sore hari lebih banyak didominasi anak-anak kecil yang bersepeda atau bermain bola. Anak-anak itu juga selalu diwanti-wanti orangtuanya untuk selalu mengenakan masker saat bermain. Warga yang sekadar duduk di beranda rumah untuk menikmati suasana sore hari juga selalu mengenakan masker.
Kompleks itu pun untuk sementara waktu ditutup selama 14 hari. Warga dilarang keluar masuk kompleks kecuali penghuni. Kesadaran untuk mematuhi protokol kesehatan pun kian tumbuh.
Baca juga : Kampung Jawara, Pencegahan Covid-19 yang Dimulai di Tingkat Perkampungan
Di setiap pintu masuk gang, pemuda-pemuda setempat yang selama ini sering kali menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bercanda hingga larut malam bersiaga. Setiap kendaraan warga setempat yang akan masuk ke kompleks terlebih dahulu disemprot dengan disinfektan.
Di saat kewapadaan muncul, kasus penularan virus korona penyebab Covid-19 juga terus menanjak. Hingga Rabu (8/7/2020), warga yang terkonfirmasi positif di kompleks itu mencapai 36 kasus.
Warga setempat pun kian khawatir. Masing-masing berupaya menjaga keluarga, membatasi interaksi dengan tetangga, dan sebisa mungkin tak keluar rumah jika tak ada kebutuhan mendesak.
”Makin serem, kita sembunyi dulu. Ada lagi yang positif di depan itu, jaraknya dekat lagi,” kata Empung (48), salah satu warga sekitar dari beranda rumahnya, Selasa sore.
Makin serem, kita sembunyi dulu. Ada lagi yang positif di depan itu, jaraknya dekat lagi. (Empung)
Lurah Grogol Utara Sariman mengatakan, wilayah RW 006 dan RW 014 selama masa PSBB hingga akhir Juni 2020 termasuk kawasan zona hijau. Kasus positif Covid-19 baru teridentifikasi di tempat itu pada 3 Juli 2020. Awal penularan berasal dari kluster Pasar Palmerah.
Pasar Palmerah sempat ditutup tiga hari dari 25 Juni-27 Juni 2020 setelah sembilan pedagang ditemukan positif Covid-19. Penutupan pasar itu kemudian mengubah kluster penularan dari pasar ke permukiman padat penduduk, terutama di wilayah Grogol Utara.
”Sampai hari ini, total kasus positif di dua RW itu mencapai 36 kasus. Rinciannya, 24 kasus masih dirawat di Wisma Atlet dan 12 kasus lainnya sembuh,” ucap Sariman.
Warga diminta untuk tak panik dengan tetap mematuhi protokol kesehatan, rajin cuci tangan, memakai masker, dan sebisa mungkin menjaga jarak fisik. Sebab, penularan yang cukup tinggi di wilayah itu tidak terlepas dari kelengahan warga yang perlahan abai saat PSBB Jakarta dilonggarkan.
”Kami minta dukungan masyarakat, jangan khawatir, mari kita patuhi protokol kesehatan, kampung kita akan segera kembali hijau. Untuk warga saya di dua RW itu jangan panik, selesai Covid-19, kita piknik,” tuturnya.
Kami minta dukungan masyarakat, jangan khawatir, mari kita patuhi protokol kesehatan, kampung kita akan segera kembali hijau. Untuk warga saya di dua RW itu jangan panik selesai Covid-19, kita piknik.
Penularan dalam waktu singkat dan mencapai puluhan kasus dalam waktu tak sampai seminggu di Grogol Utara menyiratkan pesan penting di balik ancaman wabah ini. Covid-19 bisa saja akan terus mengintai di depan rumah jika kita masih lengah.