Perbedaan Joko Tjandra dan Warga Biasa dalam Mengurus KTP-el
Publik bisa memaklumi jika layanan KTP-el dalam hitungan jam berlaku untuk semua orang. Akan tetapi, kenyataan berkata lain. Kecepatan layanan itu hanya keistimewaan bagi segelintir orang.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga harus menunggu beberapa hari untuk mengurus kartu tanda penduduk elektronik. Ini berbeda dengan Joko S Tjandra, buronan perkara hak tagih utang atau cessie Bank Bali, yang hanya butuh 30 menit untuk perekaman data hingga mendapatkan KTP-el.
Kepala Satuan Pelayanan Kependudukan Kelurahan Sukabumi Utara, Jakarta Barat, Suprihatin menjelaskan, perlu dua hari sejak perekaman data hingga warga bisa mendapatkan KTP elektronik (KTP-el). Sebelum merekam data, warga harus mengunggah berkas kartu keluarga dan akta kelahiran melalui situs https://alpukat-dukcapil.jakarta.go.id.
Petugas kemudian memeriksa kelengkapan dokumen. ”Jika berkasnya lengkap, esok harinya kami jadwalkan perekaman data. Dua hari setelah perekaman data, KTP-el sudah bisa diambil,” kata Suprihatin ketika ditemui Rabu (8/7/2020).
Di Kelurahan Sukabumi Utara, Alam (18) sedang mengambil KTP-el baru. Dia melakukan perekaman data sejak September 2019. Sebulan setelah perekaman, ia kembali ke kelurahan, tetapi KTP-el miliknya belum siap karena keterbatasan blangko KTP-el dari pemerintah pusat. ”Setelah itu, aku pulang kampung. Dan, baru sekarang sempat mengambil KTP-el,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, Nanik Dwiastuti (39), karyawan swasta, ingin memperbarui data KTP-el karena dia pindah domisili dari Gunung Kidul, DI Yogyakarta, ke Tangerang Selatan, Banten.
Untuk memperbarui data KTP-el, dia harus mengurus kartu keluarga (KK) baru. Dia sudah mengurus ini sejak Senin (6/7/2020). Dinas kependudukan dan catatan sipil setempat menjanjikan KTP-el miliknya siap pada Jumat.
Sebelumnya, Nanik sempat dua kali mendatangi Kantor Kelurahan Pondok Benda, Tangerang Selatan, untuk mengurus kartu keluarga (KK). Akan tetapi, dia tidak kebagian kuota. ”Di kelurahan, karena lagi pandemi Covid-19, pengurusan KK dibatasi lima orang per hari,” katanya.
Di Kelurahan Grogol Utara, Jakarta Selatan, Raihan (18) sudah melakukan perekaman data sejak Juni 2019. Empat bulan setelah perekaman data, dia kembali ke kelurahan. Ternyata KTP-el miliknya masih belum siap karena blangko terbatas. Raihan kemudian datang kembali ke kelurahan pada Rabu ini. ”Sekarang sudah siap, kok. Ini lagi diambilkan sama petugas,” katanya.
Tahun lalu, hampir semua warga Indonesia yang hendak mengurus KTP-el kesulitan karena blangko tidak cukup. Ini pun terekam dalam surat pembaca
Kompas. Aristanto, warga Bekasi, Jawa Barat, 12 November 2019, menulis, terjadi kelangkaan blangko KTP-el yang sudah berlangsung lama, khususnya di Kantor Pemerintah Kota Bekasi.
Bahkan, warga Surabaya, Deny Martinus, harus menunggu hingga dua tahun untuk penerbitan KTP-el miliknya, 3 Januari 2019.
Pemerintah menerbitkan surat keterangan bagi mereka yang belum mendapatkan KTP-el saat itu. Baru sejak Maret 2020, pemerintah tidak lagi menerbitkan surat keterangan karena blangko KTP-el sudah tersedia.
Diskriminasi pelayanan
Pengalaman warga yang harus menunggu beberapa hari untuk penerbitan KTP-el berbanding terbalik dengan Joko S Tjandra. Buronan kasus korupsi yang sudah kabur selama 11 tahun ini terpantau mengurus KTP-el di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta Selatan, 8 Juni 2020.
Setelah melakukan perekaman data, KTP-el milik Joko selesai berselang 30 menit. Proses pengurusan KTP-el Joko yang singkat, menurut Lurah Grogol Selatan Asep Subahan, bukan berarti ada perlakuan istimewa untuknya. Sebab, hal serupa juga diterapkan kepada masyarakat lain (Kompas, 6/7/2020).
Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh menjelaskan, sistem perekaman data sudah diperbaiki. Menurut dia, 94,3 persen pencetakan KTP-el bisa selesai dalam waktu kurang dari 24 jam (Kompas.com, 7/7/2020).
Menurut Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center Bawono Kumoro, publik bisa memaklumi jika layanan KTP-el dalam hitungan jam itu berlaku untuk semua orang. Namun, akan beda ceritanya jika hal itu hanya keistimewaan bagi segelintir orang.
Masyarakat, ujarnya, bisa menyimpulkan pengistimewaan itu sebagai diskriminasi dalam pelayanan publik. Menurut dia, ini terjadi lantaran reformasi birokrasi belum berjalan maksimal.