Survei: 73 Persen Responden Sangat Miskin, tetapi Belum Terdaftar PKH
Kementerian Sosial dan Pemerintah Provinsi DKI diminta membuka ruang kolaborasi dengan masyarakat sipil untuk perbaikan pendataan warga miskin. Bantuan sosial penting bagi mereka agar bisa bertahan dari dampak pandemi.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah pusat punya program pemberian bantuan sosial bersyarat kepada masyarakat miskin melalui Kementerian Sosial bernama Program Keluarga Harapan atau PKH. Namun, sebuah survei terhadap 3.598 keluarga menunjukkan 73 persen responden tergolong sangat miskin, tetapi sayangnya belum terdaftar menerima PKH, sedangkan kehidupan sosial ekonomi mereka sangat terpukul akibat pandemi Covid-19.
Survei diadakan Koalisi Pemantau Bansos Jakarta yang terdiri dari Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), International Budget Partnership (IBP), Perkumpulan Inisiatif, dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra).
”Kami berkesimpulan sebagian besar keluarga miskin yang menjadi sasaran survei kami tidak memiliki ketahanan ekonomi dan sosial yang cukup dalam menghadapi pandemi Covid-19,” ucap Sekretaris Jenderal SPRI Dika Moehammad dalam webinar ”Ribuan Keluarga Miskin Terdampak Covid-19 Tidak Menerima PKH”, Jumat (26/6/2020).
Paparan survei itu ditanggapi Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria; anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih; Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Aksesibilitas Sosial Sonny W Manalu; Tenaga Ahli Madya Deputi 2 Kantor Staf Presiden, Yenny Sucipto; dan anggota DPRD DKI Jakarta dari PDI Perjuangan, Dwi Rio Sambodo.
Dika mengatakan, sebagian besar responden survei merupakan warga miskin dampingan SPRI dan yang berkartu tanda penduduk DKI mencakup 80 persen. Pendataan partisipatif berjalan pada 14 April-13 Mei 2020 dengan wawancara daring. ”Kami menyiapkan 145 tim auditor di 36 kelurahan,” ujarnya.
Sebagian besar responden survei merupakan warga miskin dampingan SPRI dan yang berkartu tanda penduduk DKI mencakup 80 persen.
Berdasarkan kriteria penerima manfaat PKH yang ditetapkan pemerintah serta kriteria kemiskinan, koalisi mendapati 73 persen dari responden atau 2.892 keluarga layak mendapat PKH, tetapi saat ini belum menerimanya. Jika mengacu kriteria program perlindungan sosial DKI, sebanyak 87 persen atau 3.459 keluarga layak menerima program perlindungan sosial lokal.
Dika menambahkan, menggunakan standar garis kemiskinan (GK) Jakarta sebesar Rp 663.355 per jiwa per bulan, koalisi juga mendapati jumlah keluarga sangat miskin (pendapatan kurang dari 0,8 GK atau kurang dari Rp 530.649 per jiwa per bulan) bertambah akibat adanya Covid-19. Sebelum pandemi, ada 2.310 keluarga masuk kategori tersebut. Dengan adanya pandemi, kini 3.194 keluarga tergolong sangat miskin atau bertambah 38,26 persen dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Itu akibat ada pergeseran dari kategori-kategori lain. Sebanyak 202 keluarga kategori miskin, 340 keluarga hampir miskin, 307 keluarga rentan miskin, dan 138 keluarga tidak miskin bergeser ke kategori keluarga sangat miskin.
Sebanyak 2.382 keluarga atau 60 persen responden survei kehilangan pekerjaan saat pandemi dan 92 persen responden menyatakan tidak memiliki aset yang bisa dimanfaatkan untuk menyambung hidup ketika keadaan menjadi sangat parah.
Dika secara khusus mengusulkan agar 2.892 keluarga yang layak mendapat PKH, tetapi belum menerima, bisa dimasukkan oleh Kementerian Sosial. Secara umum, salah satu rekomendasi koalisi adalah meminta Kementerian Sosial dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka ruang kolaborasi dengan masyarakat sipil untuk perbaikan pendataan warga miskin.
Menurut Ariza, sapaan Wakil Gubernur Ahmad Riza, pendataan dan pemutakhiran data merupakan salah satu kelemahan bangsa Indonesia. Ia mencontohkan, data perberasan bisa berbeda antara satu instansi dan instansi lain, di antaranya Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Bulog.
”Jadi, pada momentum ini, mari kita sama-sama memperbaiki data. Dinsos (Dinas Sosial DKI) sudah kami minta untuk terus-menerus memperbaiki pendataan yang pada akhirnya pembagian sembako (bahan pokok) akan semakin baik,” kata Ariza.
Terkait bansos Covid-19 berupa bahan pokok di DKI, distribusi tahap ketiga periode 3-14 Juni menargetkan 2,5 juta keluarga menjadi penerima, baik ber-KTP DKI maupun non-KTP DKI. Penerima terdiri dari 1,3 juta keluarga yang dibantu Kementerian Sosial dan 1,2 juta keluarga dibantu DKI. Paket bantuan berupa 25 kilogram beras.
Dalam paparannya, Ariza menyampaikan data penerima bansos bersifat dinamis dan terus bergerak. Pada tahap awal, data memang bersifat top down dengan hanya mengacu data yang sudah ada dalam sistem. Itu lantaran bantuan mesti cepat disalurkan saat pembatasan sosial berskala besar diberlakukan.
Setelah distribusi bansos tahap pertama, data dievaluasi dan dimutakhirkan dengan skema bottom up dengan memasukkan usulan dari berbagai pihak. Ada penerima yang dikeluarkan dari daftar, antara lain karena warga tersebut sudah pindah, meninggal, atau tidak layak menerima. Lalu, ada tambahan warga yang menjadi penerima berdasarkan usulan pengurus RW, camat, serta kalangan terdampak, seperti komunitas ojek daring dan warga perantau yang tidak mudik.
Untuk perbaikan data warga penerima bansos, Yenny merekomendasikan penguatan integrasi antara satu sumber data dan yang lain. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang menjadi acuan Kementerian Sosial perlu dipadukan dengan, antara lain, Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, Sistem Informasi Desa, Sistem Administrasi dan Informasi Kampung, data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, data BPJS Ketenagakerjaan, hingga nomor pokok wajib pajak.