Mencoba Berbagi Ruang Jalan Ibu Kota Saat PSBB Transisi
Saat PSBB transisi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mendorong warga bersepeda dan berjalan kaki selain naik angkutan umum untuk bermobilitas. Untuk sepeda, jalur yang disiapkan harus aman supaya pesepeda berminat
Kamis (18/06/2020) pukul 10.00, Ayung (40) keluar dari gerbang timur Stasiun Sudirman menuju area pejalan kaki di Terowongan Kendal, Jakarta Pusat. Di sana ia membuka lipatan sepeda lipatnya dan siap melaju menuju tempat pertemuannya dengan klien di Wisma Nusantara di Jalan MH Thamrin.
”Dekat, 800 meter saja saya mengayuh menuju Wisma Nusantara,” kata warga Kota Tangerang yang sehari-hari mengayuh sepeda dari rumah ke stasiun dan menuju tempat-tempat pertemuannya di Kota Jakarta.
Sebagai pekerja lepas, ia memiliki waktu kerja fleksibel sehingga ia bisa menentukan kapan pun mau berjumpa kliennya. Karena jenuh dan tidak mau bermacet ria, ia memilih sepeda sebagai alat transportasi sejak 2016.
Tidak murni bersepeda karena ia masih menggunakan alat angkutan umum lain, seperti kereta komuter dan bus Transjakarta untuk menyambung. Namun, cara itu saja sudah memberinya kegembiraan cara menikmati bekerja secara sehat.
Sepanjang ia sudah bersepeda di jalan-jalan Ibu Kota sejak 2016, ia mengakui senang dengan jalur-jalur sepeda dengan lapisan hijau yang dibuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun lalu. Menurut dia, jalur itu membantu para pekerja yang militan menggunakan sepeda untuk beraktivitas.
Baca juga : Pesepeda Meningkat, Dishub DKI Buat Jalur Sementara di Sudirman-Thamrin
”Namun, jalur sepeda itu sebaiknya dipisahkan dari trotoar dan jalur kendaraan bermotor,” katanya.
Hal senada diungkapkan pesepeda aktif Widhi Nugroho. Widhi yang tinggal di kawasan Senayan setiap hari melaju ke kantornya di daerah Menteng dengan menggunakan sepeda sejak 2006 silam. Saking setianya pada kereta angin itu, ia tahu persis rute yang ”aman” dilewati pesepeda.
”Kalau dari arah Senayan menuju Menteng saya memilih melewati Senayan City, belok Ratu Plaza, lalu menyusuri Sudirman menuju Bundaran HI. Jalannya lebih lebar dan leluasa. Namun, saya kurang sreg saat di Sudirman jalan pesepeda ditaruh di trotoar. Selama ini pejalan kaki sering tidak diberi ruang, ini kenapa jalur sepeda malah diatur ada di trotoar,” tuturnya.
Alhasil, ia memilih bersepeda di jalur jalan. Namun, lagi-lagi ia harus memaksimalkan bahasa tubuhnya supaya keberadaannya disadari dan diketahui pengguna jalan lainnya. Misalnya ia mau berbelok, ia akan menggunakan tangannya untuk memberi tanda kepada pengguna jalan lainnya yang adalah bermotor.
Poetoet Soedarjanto dari Bike to Work (B2W) Indonesia menyebutkan, di situlah letak masalahnya. Masih banyak warga yang sebetulnya mau bersepeda, tetapi enggan bersepeda karena lintasan sepedanya tidak aman. Utamanya karena sebagai sesama pengguna jalan, kedisiplinan sesama pengguna jalan, baik roda dua maupun roda empat, rendah.
Seperti yang disebutkan Ayung, saat ia hendak menemui klien di kawasan SCBD dengan bersepeda, yang membuatnya waswas adalah lintasan Semanggi. Di depan kampus Atma Jaya sudah ada lintasan jalur hijau ke kiri, tetapi jalur langsung berbelok ke kanan ke arah terowongan. ”Jalur yang langsung berbelok itu bahaya. Pengendara sepeda motor atau mobil sering abai, tidak memperhatikan batas kecepatan 40 km per jam di sana,” jelas Ayung.
Berebut ruang jalan, bagi Ayung, juga ia temui di lintasan Kebon Sirih dan Fatmawati. ”Di sana sepeda harus berebut dengan sepeda motor, mobil, dan kendaraan lain,” ujarnya.
Baca juga : Awas, Ada Ancaman Hukuman untuk Pesepeda Bandel
Bagi Ayung dan Widhi, keduanya melihat yang dibutuhkan adalah lintasan sepeda yang aman. Misalnya ada lintasan yang berpotongan dengan jalan bisa direkayasa supaya tetap aman bagi pesepeda.
”Kalau saya melihat, ya, pekerja yang betul-betul mau bersepeda secara militan itu tetap tidak banyak. Kita bisa lihat di hari-hari kerja, yang bersepeda itu satu dua. Kalau akhir pekan, iya. Pesepeda yang ingin bersepeda sekadar berolahraga memang banyak jumlahnya,” kata Widhi.
Bagi Jakarta yang saat ini tengah menghadapi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi saat pandemi Covid-19, lanjut Poetoet, sebenarnya ini momen yang tepat untuk berbenah. Apalagi saat pengumuman penerapan PSBB transisi, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah mengimbau warga Jakarta bersepeda dan berjalan kaki sebagai cara alternatif bermobilitas selain menggunakan angkutan umum.
Sepeda disarankan karena merupakan alat transportasi individu yang berjarak dengan pengguna lain sehingga bisa meminimalkan persebaran virus korona. Namun, pesepeda, baik yang memang mau bekerja maupun sekadar berolahraga, lanjut Poetoet, tetap membutuhkan lintasan yang aman dan memperhatikan keselamatan.
Sepeda disarankan karena merupakan alat transportasi individu yang berjarak dengan pengguna lain sehingga bisa meminimalkan persebaran virus korona.
Upaya yang dikerjakan bersama-sama Dinas Perhubungan Jakarta dan kepolisian beserta Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) dan Forum Diskusi Transportasi Jakarta dengan menambah jalur sepeda. Bukan dengan membangun jalur sepeda berkarpet hijau seperti jalur 63 km yang sudah ada. Namun, dengan membuat pop up bike lane.
Pop up bike lane adalah mengurangi badan jalan hingga dua meter dan membatasinya dengan tali dan kerucut jingga. Jalur bertali sepanjang lebih kurang 14 km (kanan dan kiri) di ruas Sudirman-Thamrin itulah yang dipersiapkan bagi pesepeda.
Sementara pihak MRT Jakarta, seperti yang dijelaskan William P Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta, karena jalur MRT terletak di jalur sepeda yang tengah dikembangkan pemprov, manajemen menyiapkan MRT untuk ramah sepeda. Yang menggunakan sepeda lipat, setelah sepeda dilipat, bisa dibawa masuk ke kereta. Yang sepedanya berdimensi besar bisa diparkir dengan aman di tempat parkir sepeda di luar stasiun.
Baca juga : Setelah Empat Stasiun, Ditargetkan Penataan Lima Kawasan Terpadu di DKI
Bersama ITDP, MRT tengah menyiapkan program sepeda berbagi untuk mendorong mobilitas warga dengan berjalan kaki atau bersepeda kemudian naik bus dan kereta.
Poetoet melanjutkan, dengan fasilitas yang disiapkan, mau dibilang cukup, ya, cukup. ”Namun yang terpenting selain menyiapkan fasilitas adalah bagaimana kami bisa sama-sama mengedukasi para pengguna jalan untuk sama-sama mau berbagi,” kata Poetoet.
Hal itu karena sebagai pesepeda aktif, selain pengendara roda dua ataupun roda empat yang sering tidak memberi ruang bagi pesepeda, para pesepeda sendiri juga sering tidak menggunakan jalur yang disiapkan.
”Ini kami harus sama -sama saling mengedukasi supaya berdisiplin,” ucap Poetoet.
Hal lain yang juga harus terus dikampanyekan, lanjut Poetoet, saat pemerintah memang mendorong warga untuk bersepeda sebaiknya pengelola gedung perkantoran juga diberi pemahaman tentang perlunya menyiapkan fasilitas parkir bagi sepeda. Sering kali pengelola gedung masih menganaktirikan sepeda.
Sarman Simanjorang selaku Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta menjelaskan, memang dari awal gedung perkantoran di DKI Jakarta dengan segala keterbatasan lahan memang tidak didesain menyediakan tempat parkir sepeda. Jadi, jika ada permintaan mendadak dari pemda dalam kondisi seperti ini memang menyulitkan bagi pengelola mal dan perkantoran.
Namun, karena kapasitas parkir tidak penuh akibat kebijakan yang boleh masuk kerja di perkantoran saat PSBB transisi ini hanya 50 persen, setidaknya lahan itu bisa di pakai untuk sepeda.
”Ke depan, ketika pemprov memberikan izin pembangunan mal, hotel, atau perkantoran/apartemen, kewajiban menyediakan lahan parkir sepeda menjadi suatu keharusan seperti yang kita lihat di negara-negara tetangga kita,” katanya.
Widhi ataupun Ayung meyakini, kampanye tentang penyediaan fasilitas sepeda di gedung perkantoran bisa dilakukan bersama-sama dengan edukasi tentang berbagi ruang itu.
”Menurut saya, kalau dibuatkan pop up bike lane, tetapi yang bersepeda masih satu dua, saat sekarang ini, ya, yang akan masuk di sana roda dua lagi. Jadi, memang sama sama memberi pemahaman dan menghargai pengguna jalan itu penting,” kata Widhi.