Sedikitnya 20 Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual, Pengelola Rumah Ibadah Berkomitmen Ungkap Tuntas
SM (45) memanfaatkan posisinya sebagai pembimbing anak-anak di salah satu rumah ibadah di Depok untuk berbuat asusila. Pihak rumah ibadah tak tinggal diam melihat perbuatan SM dan melaporkannya ke polisi.
Korban kekerasan seksual oleh SM (45) di sebuah rumah ibadah bertambah menjadi 20 orang. Pihak rumah ibadah berkomitmen mengungkap kasus tersebut dengan tetap menjaga psikologis anak yang menjadi korban.
Dua hari setelah SM ditangkap Kepolisian Resor Metro Depok, jumlah korban terus bertambah menjadi 20 anak. Sebelumnya dilaporkan baru 11 anak yang terungkap menjadi korban kekerasan seksual.
Pastor Paroki Santo Herkulanus Yosep Sirilus Natet mengatakan, pihaknya berkomitmen mengawal kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di lingkungan gereja. Tak hanya itu, dari keuskupan juga secara khusus meminta menjaga kondisi psikologi serta sosial korban dan keluarga dengan melakukan upaya rehabilitasi.
”Ini menjadi bentuk pertanggungjawaban secara gereja dan sosial, begitu pula pertanggungjawaban secara hukum. Oleh karena itu, kami bawa kasus ini dan melaporkan ke polisi setelah kami mendapat cukup informasi dan bukti. Dari arahan keuskupan, melalui apa yang kami lakukan saat ini, gereja punya kemauan untuk membongkar kasus ini,” kata Romo Natet saat ditemui pada Selasa (16/6/2020) malam.
Ini menjadi bentuk pertanggungjawaban secara gereja dan sosial, begitu pula pertanggungjawaban secara hukum. Oleh karena itu, kami bawa kasus ini dan melaporkan ke polisi setelah kami mendapat cukup informasi dan bukti.
Dengan peristiwa kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di rumah ibadah, kata Romo Natet, menuntut gereja untuk konsisten mengungkap kebenaran seperti ajaran Yesus meski ini mungkin menyakitkan dan menimbulkan rasa malu yang membekas. Namun, di satu sisi gereja tetap perlu menjaga serta melindungi korban dan keluarga dari pandangan negatif dunia luar. Oleh karena itu, pihak gereja tidak akan membuka identitas korban dan keluarga.
Baca juga: Polisi Siapkan Otopsi Jenazah OR, Remaja Perempuan Korban Kekerasan Seksual
”Bahwa mereka adalah masa depan kita. Masa depan mereka harus dipulihkan, jangan sampai mereka jadi korban selanjutnya atau jadi pelaku ke depannya. Laporan kasus ini juga menjadi langkah preventif untuk menjaga anak-anak agar tidak ada kasus serupa yang terulang,” kata Romo Nantet.
Terkait jumlah korban, Romo Nantet belum bisa memastikan jumlahnya. Namun, sepanjang investigasi internal sejak Maret 2020, ada 20 anak yang menjadi korban. Dua keluarga korban sudah melaporkan kepada Polres Metro Depok.
”Sejak terungkapnya kasus kekerasan seksual dan saya dampingi saksi ke polisi, orangtua mulai bertanya apakah anak mereka juga menjadi korban. Ada dugaan pula SM sudah melakukan hal ini sejak tahun 2002. Ini yang perlu diinvestigasi. Kami menduga sebelum kasus ini terungkap ada korban lainnya yang saat ini sudah remaja dan dewasa,” kata Romo Nantet.
Ada dugaan pula SM sudah melakukan hal ini sejak tahun 2002. Ini yang perlu diinvestigasi. Kami menduga sebelum kasus ini terungkap ada korban lainnya yang saat ini sudah remaja dan dewasa.
Menurut Romo Nantet, kasus kekerasan seksual kembali membuka pentingnya pendidik seksual, terutama pemahaman relasi antarmanusia.
”Gereja menjadi kontrol pula untuk menjaga pribadi-pribadi anak. Gereja ramah anak. Tidak hanya sebagai ungkapan semata, tetapi kejadian ini juga tidak boleh terjadi lagi di mana pun itu,” kata Nantet.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Trafficking dan Eksploitasi Anak, Ai Maryati Solihah, mengatakan, selalu saja ada banyak tantangan, terutama dalam hal sosial, dalam menghadapi kekerasan seksual. Tak mudah bagi orangtua korban untuk terbuka terhadap kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya. Aib, stigmatisasi, dan diskriminasi menjadi penghadang besar bagi orangtua untuk melapor ke polisi.
Baca juga: Dobrak Kebisuan Kekerasan Seksual
Menurut Maryati, permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual harus melibatkan dukungan dan kesadaran semua lapis masyarakat agar stigmatisasi tidak terjadi.
”Anak mempunyai hak untuk tidak terdiskriminasi dan terstigmatisasi. Hal Itu dijamin oleh Undang-Undang 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Ini yang harus kita lawan dan kesadaran bersama untuk menjaga anak-anak kita, terutama bagi korban,” kata Maryati.
Meski begitu, dalam kasus kekerasan seksual di Depok, ada nilai yang bisa dijadikan pelajaran. Dari beberapa kasus yang KPAI dan Polres Depok tangani saat ini, sudah banyak rumah ibadah yang gencar dan kooperatif untuk melaporkan kejadian pelecehan seksual.
”Jadi, apa yang dilakukan rumah ibadah sudah tepat dan sangat perlu diapresiasi untuk membuka kasus dan mau melakukan investigasi hingga melaporkan ke polisi. Apa yang dilakukan bukan untuk menjelekkan institusi agama. Justru anak-anak masa depan bangsa yang terpikirkan. Ini langkah positif dan progresif dari lembaga agama untuk melindungi anak-anak. Mereka memastikan anak-anak terbebas dari hal buruk,” kata Maryati.
Jadi, apa yang dilakukan rumah ibadah sudah tepat dan sangat perlu diapresiasi untuk membuka kasus dan mau melakukan investigasi hingga melaporkan ke polisi. Apa yang dilakukan bukan untuk menjelekkan institusi agama. Justru anak-anak masa depan bangsa yang terpikirkan.
Kepala Kepolisian Resor Metro Depok Komisaris Besar Aziz Andriansyah mengatakan, saat ini pihanya masih mendalami keterangan SM untuk mengungkap kasus kekerasaan seksual terhadap anak di bawah umur.
Baca juga: Perundungan dan Pelecehan Seksual adalah Kekerasan, Sama Sekali Tak Layak Diviralkan
Kuasa hukum keluarga korban, Azaz Tigor Naingolan, mengatakan, pelaku SM adalah pembimbing anak-anak di rumah ibadah tersebut. SM sudah bekerja di sana sekitar 20 tahun lebih.
”Saya dan pihak rumah ibadah menduga ia sudah melakukan hal tak terpuji sudah lama dan bisa jadi sejak 20 tahun bekerja di situ. Kami menginvestigasi ada sekitar 20 korban termasuk dua yang sudah melapor ke polisi. Kita serahkan proses hukum ke polisi untuk penyelidikan,” kata Tigor.
Tigor mengatakan, tak sepantasnya seorang pembimbing melakukan hal tak terpuji. Oleh karena itu, SM pantas dijatuhi hukuman sesuai aturan berlaku, yaitu hukum pidana dan terkait perlindungan anak, disertai pemberatan dan disterilkan atau dikebiri.
Baca juga: Orangtua Korban Pencabulan Anak Laporkan Jaksa, Hakim, dan Terdakwa
Tigor mengatakan, pihak rumah ibadah tak mau terburu-buru untuk melaporkan kecurigaan atas SM yang bertindak asusila sampai ada informasi dan bukti yang cukup.
”Ketika mendapat informasi dari sejumlah orangtua, asesmen psikolog, dan korban, saya pelajari dan yang dilakukan SM adalah sebuah kejahatan pidana. Sampai kemudian kami menemukan bukti berupa dua baju di perpustakaan. Baju itu ada bercak putih kering (kemungkinan sperma). Dari informasi korban, baju tersebut digunakan pelaku,” jelas Tigor.
Sampai kemudian kami menemukan bukti berupa dua baju di perpustakaan. Baju itu ada bercak putih kering. Dari informasi korban baju tersebut digunakan pelaku.
Saat ini, kata Tigor, tim psikolog dan pihak rumah ibadah masih mendampingi korban untuk rehabilitasi. Korban dalam kondisi trauma dan ketakutan.
Tigor menilai, masih ada orangtua korban yang tidak mengerti perbuatan pelaku adalah tindakan kejahatan dan asusila sehingga masih perlu pendampingan agar mau melapor kepada polisi.