Strategi Jitu Pedagang Sayur Keliling Bertahan Hadapi Covid-19
Para pedagang sayur keliling membaca permintaan pasar di tengah pandemi Covid-19. Mereka jernih melihat kebutuhan prioritas para pelanggan yang kini mengurangi pengeluaran.
Oleh
FAJAR RAMADHAN / INSAN ALFAJRI
·5 menit baca
Baru pukul 10.00, Selasa (16/6/2020), dagangan Slamet (44) hampir tandas. Bawang merah, cabai rawit, kentang, tahu, serta tempe sudah habis. Membaca kebutuhan pasar menjadi keahlian Slamet setelah ditempa pengalaman selama belasan tahun menjadi tukang sayur.
Pengalaman panjang ini pula yang membuatnya bisa mempertahankan omzet tetap pada rentang Rp 1 juta-Rp 2 juta per hari. Padahal, seperti dialami banyak pedagang lain, omzet kerap anjlok saat pandemi Covid-19 ini lantaran banyak orang mengerem pengeluaran.
Salah satu strategi Slamet adalah memilih berbelanja di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Padahal, ia ajek mangkal di Pasar Karya Baru, Jalan Kemandoran I, Grogol Utara, Jakarta Selatan. Baginya, jarak sekitar 15 kilometer ini tidak masalah karena ia bisa mendapat margin hingga 50 persen dari setiap komoditas.
Untuk mempertahankan omzet, Slamet juga fokus menjual komoditas pokok, seperti cabai dan sayur-mayur. Dia berpendapat, warga akan berhemat di masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sehingga komoditas lain akan dikurangi.
”Sederhananya begini. Jika yang kamu punya hanya Rp 10.000, pasti beli yang pokok-pokok, seperti cabai dan sayur. Makanya, saat pembatasan kemarin itu, saya tidak jual buah dulu. Fokus saja ke sayur, tempe, tahu, dan cabai,” katanya.
Slamet juga tidak menjual ayam. Menurut dia, ayam termasuk komoditas berisiko. Kalau tidak laku dalam sehari, ayam mesti diberi es. ”Jadi repot, kan. Lagi pula di sini juga ada pedagang ayam. Saling berbagilah,” katanya.
Adapun Pasar Karya Baru hanya beroperasi hingga siang hari. ”Pukul 11.00 biasanya sudah bubar,” kata ayah dua anak ini.
Jika hingga pasar tutup dagangannya masih ada, Slamet berkeliling ke sejumlah gang di Grogol Utara. Ia memanfaatkan jejaring sesama tukang sayur. ”Biasanya saya tanya kepada mereka, di mana saja gang-gang yang ramai pembeli,” kata pedagang sayur turun-temurun generasi keempat ini.
Gerobak Slamet senantiasa kosong ketika selesai jualan. Simbiosis mutualisme dilakukan dengan para pemilik warung apabila masih ada sayur-mayur yang tersisa. Seluruh sayur yang masih tertinggal di gerobaknya akan dilego kepada pemilik warung. ”Harganya lebih murah. Tetapi, itu lebih baik ketimbang dibuang,” katanya.
Slamet juga tidak menjual ayam. Menurut dia, ayam termasuk komoditas berisiko. Kalau tidak laku dalam sehari, ayam mesti diberi es.
Dengan pengalaman malang melintang di jalan-jalan permukiman warga, hampir semua pembeli mengenal Slamet. ”Wah, udah balik saja, nih. Cepat banget pulang kampungnya,” ujar seorang pembeli kepadanya.
Selasa ini, Slamet kembali berjualan setelah seminggu prei. Sebelumnya, ia sempat pulang ke Pekalongan, menengok istri yang sedang hamil.
Terbantu ganjil-genap
Ada juga pedagang sayur keliling yang ketiban rezeki dari aturan ganjil-genap di pasar. Ramli (56), salah satu pedagang sayur keliling di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, misalnya. Menurut dia, ada saja pembeli baru yang mendatanginya hanya untuk sekadar membeli bumbu dapur atau sayuran.
”Tadi, ada ibu-ibu habis dari Pasar Slipi, tetapi bingung karena ada ganjil-genap. Akhirnya pas pulang mampir ke sini,” katanya.
Selama ini, Ramli lebih sering melayani pelanggan di sekitar kompleks Hankam Kemanggisan dan sekitarnya. Dia yang sudah berjualan sayur keliling sejak 1990 hafal betul wajah para pelanggannya.
Ia berkeliling setiap hari. Diawali dengan berbelanja sayuran dan kebutuhan pokok di Pasar Palmerah mulai pukul 04.00, Ramli langsung berkeliling ke kompleks-kompleks hingga pukul 16.00. Jika barang dagangannya habis sebelum waktunya, ia akan disuplai oleh pedagang di pasar.
”Sampai pukul 15.00, kalau bahan sudah habis, ya, saya telepon orang pasar buat anterin. Kalau nggak habis, tinggal dijual ke pedagang warteg,” katanya.
Tadi, ada ibu-ibu habis dari Pasar Slipi, tetapi bingung karena ada ganjil-genap. Akhirnya pas pulang mampir ke sini.
Ia bersyukur, selama pandemi Covid-19 masih bisa berjualan dari rumah ke rumah. Hanya saja, pendapatannya menurun. Pada hari normal, biasanya ia bisa mengantongi penghasilan sekitar Rp 400.000 per hari, kini ia hanya bisa mengumpulkan Rp 200.000-Rp 250.000.
”Alhamdulillah masih bisa membiayai dua anak saya yang kuliah. Satu di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan satu lagi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed),” kata pria yang juga menjadi penjaga rumah purnawirawan TNI tersebut.
Saat PSBB transisi ini, banyak pelanggan yang berani keluar rumah untuk berbelanja. Akan tetapi, hal itu ternyata belum cukup untuk memulihkan pendapatan hariannya. Sebab, sejumlah PAUD dan SD masih diliburkan.
”Nanti kalau ada anak sekolah masuk, baru normal (penjualan saya). Biasanya ibu-ibu pada belanja sambil nganter dan nungguin anaknya sekolah,” katanya.
Sebaliknya, bagi Harun (48), ganjil-genap di pasar yang dikelola PD Pasar Jaya tidak otomatis mengerek jumlah pembeli dagangannya. ”Sebab, tukang sayur, kan, nggak kena kebijakan itu. Mereka, kan, nggak jualan di kios,” ujarnya.
Seperti halnya Ramli, Harun mengaku kondisi belum pulih benar. Di hari normal, Harun bisa mendapat untung bersih Rp 300.000. Kini, dia hanya mendapat Rp 200.000 setelah berjualan dari pagi hingga sore.
Selain itu, Harun juga merasakan pergeseran komoditas yang dibeli warga. ”Warga yang biasa beli ayam sekarang cuma beli sayur. Ada juga yang sekadar mantau harga doang,” ujar pedagang yang biasa berkeliling di sekitar Jalan Sulaiman, Rawa Belong, Jakarta Barat, itu.
Saat ditemui, Harun sedang memotong ayam. Dua ibu berdiri di samping gerobak miliknya, menunggu ayam pesanan mereka.
Seretnya pendapatan juga dirasakan Sukim (35), pedagang sayur keliling di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat. Dulu, ia mampu meraup keuntungan Rp 300.000 per hari, sedangkan saat ini keuntungannya masih berkutat pada angka Rp 200.000 sehari.
”Masih menurun sampai sekarang. Sayuran masih laku, tapi untuk telur, tahu, tempe, atau bumbu dapur masih seret,” katanya.
Kendati pendapatan belum kembali seperti dulu lagi, Sukim dan para pedagang sayur keliling ini tetap setia mendorong gerobak demi mendekatkan diri dengan para pelanggan setia. Yurrr... sayuurrrr....