Protokol kesehatan hampir mustahil dilakukan secara ketat oleh semua warga. Di sejumlah pasar tradisional tempat orang ramai berkumpul, protokol kesehatan tak diterapkan secara ketat. Warga mengaku tak terbiasa.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Suasana di sejumlah pasar tradisional Jakarta dengan jelas menggambarkan betapa protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19 tak mudah dipatuhi pedagang dan pengunjung. Jika suasana sekitar sepi, orang tidak sungkan bernapas tanpa masker wajah. Jika tidak terpantau petugas keamanan, orang juga tidak akan ragu berinteraksi dalam jarak dekat hingga berkerumun.
Masyarakat yang tidak taat protokol pencegahan Covid-19 beberapa kali ditemui di lapangan. Misalnya, saat ratusan orang berkerumun pada penutupan restoran McDonald’s di Sarinah, Jakarta Pusat. Ada pula saat ketika sejumlah travel gelap menyusup untuk mengantar penumpang ke kampung halaman saat pandemi.
Di sisi lain, ada pula masyarakat yang berupaya mengikuti protokol kesehatan walau terasa merepotkan. Protokol yang dimaksud, antara lain, mengenakan masker, mencuci tangan dengan sabun atau cairan disinfektan, menjaga jarak, dan rutin mengecek suhu tubuh.
Pedagang Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Yar (61), adalah salah satu orang yang ”kewalahan” dengan protokol tersebut. Selama enam dekade, ia sangat jarang mengenakan masker. Kini, mendadak ia harus bermasker agar tidak terinfeksi virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) penyebab Covid-19.
”Pakai masker itu rasanya seperti hampir mati berdiri. Pengap sekali. Perut saya seperti masuk ke dalam karena sulit mengambil napas,” kata Yar di Jakarta, Senin (15/6/2020).
Pakai masker itu rasanya seperti hampir mati berdiri. Pengap sekali. Perut saya seperti masuk ke dalam karena sulit mengambil napas
Selama berdagang, ia berapa kali menurunkan masker hingga sebatas hidung. Kadang juga dia melepas masker bermotif bunganya saat berbicara. Masker itu tidak bisa ia kenakan selama lebih dari satu jam.
Dia mengaku tahu potensi penularan Covid-19 bisa dicegah dengan masker. Namun, dia tidak bisa menuruti anjuran bermasker terus-menerus. Untuk menghindari potensi tertular, ia menjaga jarak dengan pedagang dan pembeli ketika membuka masker.
”Saya sebenarnya takut tertular (virus) korona. Tetapi mau bagaimana lagi? Saya tidak kuat pakai masker berjam-jam,” kata Yar.
Menurut penelitian yang dipimpin ilmuwan McCaster University di Kanada, Derek Chu, peluang tertular Covid-19 jika memakai masker wajah hanya 3 persen. Peluang tertular jika tidak mengenakan masker ialah 17 persen.
Studi metaanalisis ini dilakukan terhadap 44 riset dan melibatkan 25.000 orang di 16 negara. Hasil studi telah dipublikasi di jurnal kesehatan The Lancet pada 1 Juni 2020 (Kompas, 10/6/2020).
Membiasakan diri
Juru masak di Jakarta, Firdaus (31), masih membiasakan diri dengan kebiasaan baru selama pandemi. Ia yang tidak biasa bermasker dalam waktu panjang kini wajib bermasker selama warungnya buka dari pukul 09.00-17.00.
Mengenakan masker merupakan tantangan baginya. Sebab, pekerjaannya dekat dengan api kompor. Suhu panas membuatnya gampang gerah. Tak jarang maskernya basah terkena uap panas dari wajan dan keringatnya sendiri.
Hal itu membuatnya pengap dan sulit bernapas. Beberapa kali ia terpaksa menurunkan masker hingga sebatas hidung. Menggunakan pelindung wajah (face shield) pun dinilai sama susahnya.
”Uap panas langsung kena muka saat pakai face shield. Malah itu lebih panas rasanya daripada pakai masker. Jadi, saya jarang pakai face shield saat masak,” kata Firdaus.
Saeful (25), anggota staf toko di Jakarta, mengaku masih belum sepenuhnya terbiasa mengenakan masker. Ia diwajibkan mengenakan masker selama bekerja melayani pembeli. Karena tidak terbiasa, beberapa kali ia menurunkan masker saat pembeli tidak mendatangi tokonya.
Mengenakan masker merupakan tantangan baginya. Sebab, pekerjaannya dekat dengan api kompor. Suhu panas membuatnya gampang gerah. Tak jarang maskernya basah terkena uap panas dari wajan dan keringatnya sendiri.
Ujang (25), anggota staf toko lainnya, juga memaksa diri agar terbiasa dengan protokol kesehatan yang berlaku. Walau sulit dilakukan dengan benar-benar tertib, ia berusaha agar terus mengenakan masker di wajah.
”Jadinya membiasakan diri, deh. Ini, kan, sama dengan menjaga keselamatan diri dan orang lain,” kata Ujang.
Ahli epidemiologi dan informatika penyakit menular dari Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Dewi Nur Aisyah, meminta agar masyarakat meningkatkan lagi penerapan protokol kesehatan.
”Misalnya, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun, dan meningkatkan imunitas dengan menjaga gizi seimbang, tidur cukup, serta berolahraga teratur,” ujarnya.