Geliat kota Jakarta juga memanggil para pekerja informal kembali mengadu nasib. Tak terkecuali starling, pedagang kopi keliling.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
Pedagang kopi mulai berkeliling. Mereka yang diberi sebutan ”Starling” ini ikut mengais rezeki seiring pelonggaran aktivitas ekonomi di Jakarta. Pembeli yang belum sebanyak hari biasa pun menumbuhkan asa para pengadu nasib di Ibu Kota ini.
Senin (15/6/2020) pukul 08.30 sampai 09.000, sudah lima orang memesan kopi Yadi (32), pedagang kopi di sekitar Patung Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat. Pria asal Madura ini baru tiga hari berjualan. ”(Jumlah) pelanggan masih belum normal. Tapi lumayanlah sudah bisa jualan setelah dua bulan nganggur di kampung,” ujarnya.
Pada hari normal, Yadi bisa mengantongi Rp 150.000 per hari. Selama tiga hari terakhir, omzetnya tak sampai Rp 100.000 per hari. Akan tetapi, pendapatan yang disaringnya dari berjualan kopi itu dinilai lebih baik ketimbang menganggur.
Kamis (11/6/2020) lalu, Yadi kembali dari Madura setelah lebih kurang dua bulan menganggur di kampung halaman. Selama menganggur, dia membantu orangtua menggarap ladang jagung.
Untuk kembali ke Jakarta pada masa PSBB transisi ini pun tidak mudah. Yadi harus merogoh kocek Rp 750.000. Dia membayar tiga kali lipat dari ongkos normal karena menggunakan jasa travel liar. ”Kalau enggak begitu, susah masuk ke Jakarta,” katanya.
Di Stasiun Sudirman, Jakarta, Subandi (28) melayani tentara penjaga stasiun yang memesan kopi dari balik pagar. Sudah dua hari ia berjualan di tempat ini.
Sebelumnya, ayah tiga anak ini pulang kampung ke Bogor, Jawa Barat. Dia tidak berani tinggal di rumah mertuanya di Matraman, Jakarta Timur, selama menganggur. ”Malulah, masa cuma numpang makan. Lama-lama bisa
diomelin mertua. Mending garap sawah dulu di kampung,” katanya.
Seperti pengalaman Yadi, Subandi pun merasakan berkurangnya jumlah pembeli. Dia biasanya bisa mengumpulkan Rp 300.000 dari pagi hingga pukul 15.00. Kini, ia berdagang hingga Maghrib dan hanya mengumpulkan Rp 100.000.
Sementara itu, hidup tak pernah berhenti menyerap rupiah. Anaknya yang paling besar tamat SD tahun ini. Dia berharap anaknya bisa masuk SMP negeri agar hemat biaya. ”Kalau sampai masuk sekolah swasta, aduh!” katanya.
Di Jalan Palmerah Timur, tepatnya di depan Gedung Manggala Wanabakti, Yunita (54) berjualan kopi sambil menidurkan anaknya di tikar yang digelar di atas trotoar. Pedagang starling asal Solo, Jawa Tengah, ini baru menggelar lapak setelah Lebaran.
Selama Ramadhan, ia beralih profesi menjadi pengemis. Bermodal gerobak dan membawa anak bungsungnya yang berusia tiga tahun, ia menunggu filantrop di sepanjang Jalan Pejompongan, Jakarta Pusat. ”Anak saya sampai item tuh kulitnya, ha-ha-ha,” katanya.
Subandi pun merasakan berkurangnya jumlah pembeli. Dia biasanya bisa mengumpulkan Rp 300.000 dari pagi hingga pukul 15.00. Kini, ia berdagang hingga Maghrib dan hanya mengumpulkan Rp 100.000. Sementara itu, hidup tak pernah berhenti menyerap rupiah. Anaknya yang paling besar tamat SD tahun ini. Dia berharap anaknya bisa masuk SMP negeri agar hemat biaya.
Menjadi pengemis—ia menyebutnya ngegembel—justru lebih baik ketimbang berjualan starling saat Ramadhan. Mobilitas warga yang masih dibatasi waktu itu membuatnya hanya bisa mengumpulkan Rp 40.000 per hari. Dikurangi modal, ia hanya mendapatkan sebungkus nasi.
”Mending ngegembel. Kalau sore dapat sembako, takjil. Kalau lagi beruntung, ada yang ngasih duit,” katanya.
Kini, Yunita kembali beraksi. Dia dan suaminya yang juga pedagang kopi keliling kembali menyisir jalanan Ibu Kota. Targetnya sederhana: membayar tunggakan sewa kontrakan Rp 400.000 yang sudah 2 bulan ini belum lunas.