Peraturan Daerah Lebih Kuat untuk Menuju Normal Baru DKI Jakarta
Peraturan daerah tidak dibatasi pada periode tertentu, berbeda dari pergub yang selalu harus dibuat baru ketika PSBB diperpanjang atau dihentikan,
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Gubernur DKI Jakarta untuk mengatur tata tertib hingga sanksi pelanggaran kedisiplinan pada masa pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi ataupun ketika nanti normal baru dinilai tidak kuat. Legislatif perlu menggodok peraturan daerah atau perda yang komprehensif agar aturan tata kehidupan masa transisi dan normal baru memiliki otoritas kuat.
Hal ini dikemukakan Kepala Ombudsman Indonesia Perwakilan DKI Jakarta Teguh Nugroho dalam diskusi media bertajuk ”Optimalisasi Layanan Publik Saat Transisi”, di Jakarta, Rabu (10/6/2020). Ia melihat pemerintah masih sangat bergantung kepada lembaga eksekutif, seperti Pemprov DKI Jakarta ataupun pemerintah pusat, melalui berbagai kementerian untuk membuat peraturan.
”Segala bentuk regulasi yang dikeluarkan oleh eksekutif sifatnya hanya mengatur tata tertib. Peraturan menteri, misalnya, jatuhnya hanya berupa imbauan,” ujarnya.
Akibatnya, penerapan di lapangan beragam karena disesuaikan dengan pemahaman ataupun kesadaran aparatur pemerintahan daerah masing-masing. Selain itu, kekuatan hukumnya juga lemah.
Daripada menyerahkan pembagian jadwal kerja kepada setiap perusahaan, lebih baik ada hukum yang mengatur.
Teguh mencontohkan, Pergub DKI Jakarta Nomor 41 Tahun 2020 yang berisi jenis-jenis sanksi kepada para pelanggar tata tertib PSBB. Sejatinya dari perspektif hukum produk lembaga pemerintahan eksekutif provinsi tidak bisa mengatur soal denda ataupun pidana.
”Ini saatnya DPRD Jakarta membuat perda yang sifatnya mengikat. Perda juga tidak dibatasi pada periode tertentu, berbeda dari pergub yang selalu harus dibuat baru ketika PSBB diperpanjang atau dihentikan,” ucap Teguh.
Perda, lanjutnya, adalah kesepakatan antara pemerintah dan masyarakat mengenai tata laksana kehidupan. Sanksi yang ada di dalamnya juga jelas sebagai acuan aparat penegak hukum di lapangan.
Pada kesempatan berbeda, profesor riset sosiologi perkotaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Henny Warsilah, turut menyoroti kesimpangsiuran aturan pusat dan daerah. Bahkan, ada yang berbenturan, seperti boleh-tidaknya masyarakat mudik menjelang Idul Fitri.
Menurut dia, setiap daerah semestinya memiliki aturan komprehensif dan mengikat warga. Aturan ini dibuat dengan bahasa yang tidak bersayap agar penerapannya tidak rancu dan bervariasi di lapangan.
Kondisi pandemi Covid-19 memiliki perspektif perlindungan keselamatan manusia di atas kepentingan ekonomi, politik, dan ritual. Produk hukum yang dibuat pun semestinya memiliki kekuatan untuk dipatuhi.
”Produk hukum harus berbasis data. Contohnya, pelaksanaan masuk kantor ini sudah tiga hari masih mengakibatkan penumpukan orang di berbagai titik. Daripada menyerahkan pembagian jadwal kerja kepada setiap perusahaan, lebih baik ada hukum yang mengatur,” ucap Henny.
Ia menjelaskan, pemerintah semestinya memiliki data jumlah, jenis, dan kapasitas semua perusahaan ataupun lembaga di Jakarta. Dari sana bisa dikelompokkan tipe perusahaan yang wajib membagi jam kerja menjadi dua sif, tiga sif, dan seterusnya.
Demikian pula dengan izin ojek daring mengangkut penumpang. Datangnya para pengojek dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi ke Jakarta untuk menambah nafkah berisiko meningkatkan penularan virus korona baru. Hanya aturan pemerintah yang bisa mewajibkan perusahaan pengelola ojek daring mencatat setiap pengojek yang keluar dan masuk Ibu Kota.
Antrean padat
Masalah penumpukan orang diakui Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria. Ia menghargai berbagai fasilitas umum, seperti angkutan publik, taat pada aturan hanya mengangkut penumpang tidak lebih dari setengah kapasitas maksimum. Akan tetapi, dalam penataan jumlah penumpang yang masuk, para pengelola halte dan stasiun kerap melupakan calon penumpang yang antre.
”Belum ada penyortiran bertahap sehingga orang-orang mengular di luar stasiun dan halte. Nyaris tidak berjarak. Ini tidak aman. Pemprov Jakarta sudah melakukan rapat dengan Kementerian Perhubungan dan lembaga-lembaga terkait untuk mencari solusi masalah penumpukan orang ketika mengantre,” tuturnya.
Hal ini pula yang menurut Riza menjadi pertimbangan Pemprov Jakarta untuk membuka kembali mal dan pasar pada 15 Juni. Menurut dia, mal masih cenderung bisa mengatur arus keluar-masuk pengunjung karena umumnya memiliki fasilitas yang cukup.
Namun, pasar tradisional merupakan tantangan tersendiri. Wastafel-wastafel tempat cuci tangan dan tabung-tabung cairan antiseptik harus disediakan setiap beberapa meter. Pemprov Jakarta sudah meminta pengelola pasar agar menerapkan sistem jualan ganjil-genap, yaitu kios bernomor ganjil hanya buka di tanggal ganjil, demikian pula sebaliknya.
”Kami tetap meminta masyarakat tinggal di rumah. Berbelanja sekarang sudah bisa memanfaatkan layanan daring. Jangan ambil risiko keluar rumah kalau tidak benar-benar penting,” ujarnya.