Angkutan Umum dan Jalanan Padat, Harus Ada Pengelolaan Manusia
Mulai pekan ini, Jakarta menerapkan PSBB transisi. Sejumlah pelonggaran diberikan, termasuk aktivitas kantor. Namun, muncul antrean penumpang di sejumlah stasiun. Harus ada pengaturan jam kerja pekerja di semua bidang.
Oleh
Helena F Nababan
·4 menit baca
Mengawali pekan ini, Senin (8/6/2020) pagi, penumpang dari kawasan pinggir Jakarta memadati kawasan angkutan umum sehingga memunculkan antrean panjang. Itu terjadi setelah pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi mulai diberlakukan di Jakarta. Pengamat menilai sudah saatnya aktivitas orang dikelola untuk mengatasi antrean dan menjaga jarak.
Pantauan di Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin pagi, penumpang yang hendak beraktivitas terpantau tertib. Mereka bermasker, serta keluar kereta dan antre di eskalator dengan rapi. Area stasiun padat penumpang meski tidak sepadat di hari-hari normal.
Sementara saat di dalam kereta, penumpang duduk di kursi yang diberi jarak atau berdiri di lantai kereta yang sudah diberi tanda jaga jarak.
Pemandangan semacam itu terjadi setelah mulai Jumat (5/6/2020), di DKI Jakarta mulai berlaku PSBB transisi. Cirinya ada pelonggaran sejumlah kegiatan ekonomi, tetapi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Untuk mendukung hal itu, operator angkutan umum di DKI Jakarta menerapkan protokol kesehatan. MRT Jakarta, LRT Jakarta, Transjakarta, juga KRL yang dikelola PT KAI mewajibkan semua penumpang menggunakan masker, pemeriksaan suhu tubuh, mencuci tangan dengan air atau dengan hand sanitizer, tidak berbicara dengan telepon genggam di dalam kereta, menjaga jarak aman anta penumpang, hingga antre saat masuk kawasan stasiun dan kereta.
Untuk mengakomodasi penumpang, MRT Jakarta juga mengembalikan headway atau jarak kedatangan antarkereta. Jarak kedatangan kereta kini setiap lima menit di jam sibuk pagi dan sore hari, serta setiap 10 menit sekali di luar jam sibuk. Adapun KRL juga mengatur kereta datang setiap lima menit sekali. Sementara LRT Jakarta mengatur kereta datang setiap 10 menit sekali.
Deddy Herlambang, Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), menjelaskan, meski ada protokol kesehatan, ia melihat yang paling sulit dilakukan adalah menjaga jarak aman antarpenumpang. Ia melihat kebijakan KRL menambah frekuensi kereta bisa mendukung protokol jaga jarak.
Alina (40), karyawan swasta yang berkantor di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, menjelaskan, terkait jaga jarak, dengan berangkat kantor pukul 08.00, ia mendapati kereta tidak padat seperti saat normal tanpa pandemi.
”Penumpang memang jaga jarak di dalam kereta meskipun tidak sampai 0,5 meter. Tidak ada penumpang yang mengobrol dan semua mengenakan masker,” katanya.
Penumpang memang jaga jarak di dalam kereta meskipun tidak sampai 0,5 meter. Tidak ada penumpang yang mengobrol dan semua mengenakan masker.
Erni Sylvianne Purba, VP Corporate Communications PT KCI, menjelaskan, untuk mendukung layanan angkutan penumpang, PT KCI menambah frekuensi perjalanan. Pada masa PSBB transisi, frekuensi kereta yang dijalankan sebanyak 935 kereta atau bertambah 161 perjalanan. Penumpang pun, kata Purba, diatur sebanyak 74 orang per kereta.
”Agar batasan tersebut dapat diterapkan, upaya yang kami lakukan adalah pembatasan masuk stasiun dan KRL sehingga pengguna di stasiun-stasiun berikutnya juga dapat terlayani,” kata Purba.
Deddy melanjutkan, selain penambahan frekuensi, juga harusnya ada penambahan sarana dan pengawasan di area dan di dalam sarana. Tujuannya jelas, supaya bisa mengurai kepadatan penumpang dan tercipta jaga jarak aman antarpenumpang.
Hal lainnya, menurut Deddy, adalah pengelolaan tenaga kerja. Artinya, ada pengelolaan jam masuk para karyawan. Pengelola kantor bisa mengatur waktu masuk.
Ada pengelolaan jam masuk para karyawan. Pengelola kantor bisa mengatur waktu masuk.
Pengaturan jam kerja
Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), menjelaskan, jadi seharusnya masa kenormalan baru tidak semuanya harus kembali kerja ke kantor seperti sebelum pandemi.
”Yang masih bisa work from home (WFH) ya semestinya tetep WFH atau minimal ada pengurangan kehadiran ke kantor. Sektor yang menuntut pekerja harus datang ke tempat kerja perlu diatur jadwal kerjanya sehingga bervariasi pergerakan orangnya, tidak menumpuk pada jam yang sama seperti masa sebelum pandemi,” ujarnya.
Atau kalau mau, kata Djoko, sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan dapat menyediakan sendiri kebutuhan angkutan untuk karyawannya agar terjamin protokol kesehatan terutama menjaga jarak fisk antarorang.
Chaidir, Kepala Badan Kepegawaian Daerah Pemprov DKI Jakarta, secara terpisah, menjelaskan, sudah ada Surat Edaran (SE) Sekdaprov DKI Jakarta Nomor 38 Tahun 2020 tentang sistem kerja pegawai aparatur sipil negara di lingkungan Pemprov DKI Jakarta pada pelaksanaan PSBB pada masa transisi menuju masyarakat sehat, aman, dan produktif.
Dalam SE tersebut, PNS DKI Jakarta dibagi jam masuk kerjanya. Pada Senin-Kamis, jam kerja dibagi 07.00-15.30 dan 09.00-17.30. Pada hari Jumat, jam kerja dibagi 07.00-16.00 dan 09.00-18.00.
”Ini untuk seluruh PNS di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, ya. Aturan yang terbit Jumat (5/6/2020) mulai berlaku Senin ini,” kata Chaidir.
Sementara untuk karyawan swasta, Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi DKI Jakarta Andri Yansyah menjelaskan, ia sudah menerbitkan SK Kepala Disnakertransenergi DKI Jakarta Nomor 1363 Tahun 2020 tentang protokol pencegahan dan pengendalian Covid-19 di perkantoran/tempat kerja pada masa transisi menuju masyarakat sehat, aman, dan produktif.
Menurut Andri, selain setiap kantor dan perusahaan fokus dalam menerapkan protokol kesehatan, dinas juga meminta setiap kantor membatasi jumlah pekerja yang hadir di perkantoran atau tempat kerja paling banyak 50 persen dari jumlah seluruh pekerja.
”Lalu juga melakukan penyesuaian hari kerja, jam kerja, sif kerja, dan sistem kerja untuk beradaptasi dengan kondisi pandemi Covid-19 dengan tetap mengacu pada protokol kesehatan,” katanya.