Menjaga Jarak Fisik di Angkutan Kota Nyaris Mustahil
Ruang moda angkutan kota yang sempit menyebabkan kontak fisik antarpenumpang sulit dicegah. Perlu prosedur mendetail untuk menerapkan jaga jarak fisik di sana.
Oleh
Aditya Diveranta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan untuk menjaga jarak fisik di angkutan kota sulit dilakukan sopir dan penumpang selama pandemi Covid-19. Kondisi ini dikhawatirkan memperparah penularan di tengah fase transisi pembatasan sosial berskala besar yang baru berlangsung pada Senin (8/6/2020).
Pantauan Kompas sepanjang Senin, sejumlah trayek angkutan kota (angkot) dari arah Jakarta Timur masih membawa penumpang hingga lebih dari lima orang. Padahal, jumlah muatan penumpang angkot maksimal sekitar 10 orang.
Sahili (38), sopir angkot M16 trayek Pasar Minggu-Kampung Melayu, mengangkut enam orang saat ditemui di Jalan Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur. Di dalam angkot, masing-masing ada tiga orang pada sisi kanan dan kiri yang duduk berdekatan dengan jarak kurang dari 1 meter.
Kondisi itu bertentangan dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif. Pasal 17 dalam pergub itu menyebutkan, kendaraan umum massal diisi paling banyak 50 persen dari kapasitas kendaraan.
Terkait hal itu, Sahili mengatakan, dirinya hanya mengangkut berdasarkan kesepakatan dengan penumpang. Sebagian penumpang dia izinkan naik dengan syarat saling jaga jarak. Namun, penumpang di dalam mobil menjadi berjarak terlalu dekat.
Kepadatan di dalam angkot sebenarnya dikeluhkan Kiki (23), warga Jakarta Timur. Namun, dia terpaksa segera naik angkot karena takut terlalu lama menunggu angkutan berikutnya. ”Pagi-pagi begini, kan, ngejar jam kantor, Mas. Saya cuma takut terlalu lama kalau tunggu angkutan berikutnya datang, sih,” ucap perempuan ini.
Aturan jaga jarak fisik juga terabaikan di angkot K02A trayek Bumi Mutiara-Pondok Gede dan M06 trayek Gandaria-Kampung Melayu. Rachmat Adin (45), sopir angkot M06, mengupayakan kendaraan terisi setidaknya enam penumpang demi menambah setoran penghasilan.
”Hari gini, makin susah dapat penumpang. Kalau lagi dapat banyak, lumayan karena penghasilan per hari ini bahkan tidak sampai Rp 100.000. Belum lagi harus isi bensin,” ujar Rachmat.
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung, mengkritik kepadatan penumpang sejumlah moda angkutan pada masa transisi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebab, selain angkot, sejumlah moda lain, seperti bus Kopaja hinga bentuk angkutan umum massal serupa, belum menerapkan pembatasan penumpang sesuai dengan ketentuan pergub pada 8 Juni ini.
Dia menyayangkan, Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta tidak spesifik menjelaskan jumlah pembatasan penumpang yang semestinya berkurang hingga 50 persen itu. ”Semestinya Dishub menjabarkan secara detail berapa kapasitas maksimal untuk setiap moda angkutan sehingga tafsirnya tidak berbeda-beda untuk setiap moda angkutan,” ujanya.
Dalam kasus moda angkot, dia menilai sangat sulit untuk menerapkan jaga jarak fisik. Hal itu pun butuh penjelasan dari regulator secara spesifik.
Ellen juga menyayangkan kurangnya sosialisasi terkait pembatasan penumpang di moda angkutan selain bus Transjakarta dan kereta rel listrik. Padahal, ada berbagai jenis angkutan umum serupa angkot, bus Kopaja, dan sebagainya yang butuh penjabaran mendetail soal aturan pembatasan penumpang.
Ketua Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan menuturkan, pengusaha angkutan sejauh ini beradaptasi dengan regulasi yang ada. Terkait dengan munculnya Pergub No 51/2020, dia telah mengimbau agar semua angkutan menerapkan protokol pencegahan untuk menangani Covid-19.
Kendati begitu, Shafruhan juga tidak menjamin protokol tersebut benar-benar dipatuhi di masa krisis begini. Dia tidak memungkiri, kondisi sopir dan pengusaha angkutan membutuhkan cukup penumpang agar dapat menutup biaya operasional.
Dalam beberapa kejadian, menurut dia, ada semacam kebutuhan bersama, yakni penumpang membutuhkan angkutan dan sopir butuh uang. Hal ini memicu penumpang dan sopir bernegosiasi untuk mengesampingkan jaga jarak fisik. Karena itu, dia meminta petugas yang berwenang juga aktif memantau di lapangan.
Shafruhan pun tidak memungkiri, kondisi sejumlah angkutan umum saat ini semakin sulit. Dia khawatir sejumlah perusahaan angkutan tidak dapat beroperasi karena bangkrut selepas Juni 2020.
Ellen menyarankan, regulator sebaiknya melakukan evaluasi ketat terhadap sektor transportasi di tengah fase transisi PSBB. Dia menekankan agar jumlah penumpang di dalam moda angkutan diawasi sehingga tidak berlebihan. Hal ini pun untuk mengantisipasi penularan Covid-19 lewat moda angkutan umum.
Evaluasi ketat itu penting untuk menentukan status masa transisi PSBB pada hari berikutnya. ”Perkembangan kondisi setiap hari jelas sangat menentukan. Apabila tidak dipantau per hari, saya khawatir kita malah kecolongan di tengah masa transisi ini,” ujar Ellen.
Dia menekankan, pola pikir penanganan pandemi saat ini adalah bagaimana cara agar warga tidak tertular Covid-19. Berarti, butuh edukasi juga kepada masyarakat bahwa kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk duduk terlalu berdekatan di angkutan umum.
”Kalau ada masyarakat yang memaksakan naik suatu angkutan umum, itu berarti memang mereka butuh keberadaan moda tersebut. Kebutuhan itu perlu diiringi edukasi bahwa ada protokol jaga jarak yang mesti dipatuhi. Sebab, sepertinya masih banyak yang belum paham dengan itu,” ungkap Ellen.