Antisipasi Perubahan Perilaku Saat Tunjangan PNS DKI Berkurang 53 Persen
Penurunan tunjangan aparatur sipil negara di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masuk akal karena kontraksi anggaran yang sedemikian besar. Namun, perlu dipikirkan dampaknya terhadap perilaku sosial warga.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta mengevaluasi penurunan tunjangan untuk aparatur sipil negara di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Alasannya, prioritas keuangan di masa pandemi Covid-19 ini adalah untuk memutus penularan virus korona baru dan pemberian bantuan sosial kepada masyarakat.
Demikian dikemukakan oleh Kepala Badan Kepegawaian Daerah DKI Jakarta Chaidir tatkala dihubungi di Jakarta, Rabu (27/5/2020). Ia mengatakan, tunjangan bagi aparatur sipil negara (ASN) di dinas-dinas dan lembaga di bawah Pemerintah Provinsi Jakarta dikurangi 53 persen. Persentase penurunan ini sesuai dengan kontraksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta yang berkurang drastis akibat lesunya ekonomi.
”Hanya tunjangan yang dikurangi. Gaji pokok tetap,” kata Chaidir.
Ia menjelaskan, sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 49 Tahun 2019 tentang Tunjangan Hari Raya dan surat keputusan bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri, tunjangan untuk ASN bisa naik dan turun. Hal ini bergantung pada fluktuasi APBD ataupun APBN. Tunjangan juga bisa dihapus apabila neraca keuangan nasional atau daerah tidak memadai.
”Insentif atau tunjangan dihitung dari kinerja ASN dan risiko yang datang dari pekerjaan tersebut. Jumlah ini diolah dengan keadaan anggaran pemerintah daerah. Untuk saat ini, faktor utama ialah kontraksi anggaran,” ujarnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 mengenai Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau ASN menyebutkan, jumlah gaji pokok pegawai baru di golongan I-A yang merupakan paling rendah adalah Rp 1.560.800 per bulan. Adapun untuk PNS golongan IV-E yang tertinggi adalah Rp 3.593.100. Jumlah ini belum mencakup tunjangan kinerja daerah dan tunjangan hari raya.
Tunjangan bagi ASN di dinas-dinas dan lembaga di bawah Pemerintah Provinsi Jakarta dikurangi 53 persen.
Sebagai gambaran, Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 409 Tahun 2017 tentang Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) menjelaskan bahwa calon ASN mendapat TKD terendah, yakni Rp 4.860.000. Pegawai dengan pangkat pelayanan terampil mendapat Rp 7.470.000. Paling tinggi adalah teknis ahli dengan TKD Rp 19.710.000.
Penurunan pemasukan
Awal Mei, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengungkapkan bahwa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengakibatkan banyak industri dan usaha terpaksa ditutup sementara demi mencegah penularan Covid-19. Hanya 11 sektor strategis yang tetap boleh beroperasi. Dampaknya ialah pemasukan pajak dan retribusi berkurang.
Anggaran yang tersisa digunakan untuk pembiayaan penanggulangan virus korona baru. Selain itu, anggaran juga digunakan untuk memberi bantuan sosial kepada warga Jakarta yang miskin dan rentan miskin dengan jumlah lebih dari 1,2 juta jiwa. Bahkan, untuk bantuan ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengaku kepayahan sehingga meminta untuk tahap kedua ditalangi Kementerian Sosial.
Sosiolog perkotaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fadjar Thufail, mengingatkan pemerintah bahwa pemotongan tunjangan, walaupun merupakan langkah yang benar secara perhitungan keuangan di masa pandemi, juga mendatangkan perubahan perilaku masyarakat. Ia memaparkan, ASN di Jakarta memiliki tunjangan tertinggi se-Indonesia.
Tunjangan yang didapat ASN di Pemprov DKI Jakarta minimal setara dengan satu kali gaji pokok dan gaji pokok itu sendiri termasuk yang paling tinggi secara nasional. Apabila dikurangi 53 persen, hal itu tidak akan membuat penerimanya masuk ke dalam kategori rentan miskin. Namun, pemotongan tunjangan tetap harus mengantisipasi perubahan perilaku para penerimanya.
Perubahan ini harus dijadikan pertimbangan dalam menyusun manajemen risiko bencana di masa pandemi. Pemotongan tunjangan, misalnya, mengakibatkan pola konsumsi rumah tangga harus berhemat. Biasanya keluarga tersebut mampu berbelanja bulanan ke toserba swalayan. Kini, karena pendapatan berkurang, mereka harus berbelanja ke tempat yang lebih murah, seperti pasar tradisional.
Pemotongan tunjangan tetap harus mengantisipasi perubahan perilaku para penerimanya. Perubahan ini harus dijadikan pertimbangan dalam menyusun manajemen risiko bencana di masa pandemi.
”Padahal, penerapan PSBB di pasar tradisional masih bermasalah karena penjual dan pembeli berdesak-desakan, tidak memakai masker dan sarung tangan, serta jarang ada yang mencuci tangan dengan sabun secara rutin,” papar Fadjar.
Lokasi pasar umumnya juga lebih jauh dibandingkan dengan toserba swalayan. Harus diperhitungkan pula pola penghematan rumah tangga dengan tidak mengendarai kendaraan pribadi, tetapi memakai angkutan umum untuk menuju pasar tersebut. Hal ini memperbesar risiko penularan Covid-19.
”Pandemi ini merupakan masalah sosiologis, tidak hanya epidemiologis, karena sangat bergantung pada persepsi masyarakat mengenai kehidupan. Masyarakat menginginkan bahan kebutuhan pokok yang terjangkau dan tidak gentar menempuh jarak lebih jauh demi mendapatkannya,” kata Fadjar.
Menurut dia, mengantisipasi penurunan pendapatan masyarakat di semua sektor tidak hanya pada kelompok miskin dan rentan miskin. Pergerakan masyarakat kelas menengah bawah juga penting. Warung-warung di wilayah permukiman harus dijamin tetap dibuka selama PSBB dengan mengikuti protokol kesehatan agar warga tidak perlu pergi jauh dan terpapar risiko keramaian.