Mereka sempat berpikir pergi ke pusat perbelanjaan. Apalagi menyiapkan baju baru untuk Lebaran tahun ini.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
Tri Nurcahya (39) harus melewatkan momen Lebaran bersama keluarga tercinta. Pekerjaan sebagai petugas Palang Hitam mengharuskannya siap siaga di tengah perang melawan pandemi korona jenis baru yang jauh dari usai. ”Kami tetap masuk kantor. Soalnya harus stand by tangani penguburan jenazah dengan protokol Covid-19,” ujar Try, Jumat (22/5/2020).
Tim Palang Hitam Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta bekerja ekstra keras selama pandemi. Mereka mengabaikan akhir pekan dan tanggal merah agar jenazah di rumah sakit bisa diantar ke tempat peristirahatan terakhir.
Try dan teman-teman bekerja lima kali dalam sepekan. Satu giliran jaga berlangsung selama delapan jam. Akan tetapi, semenjak pandemi jam jaga sering molor karena ada tugas dadakan, petugas laki-laki tetap masuk pada akhir pekan dan tanggal merah. Sementara petugas perempuan masuk pada akhir pekan dan tanggal merah ketika sedang piket.
Hingga kini belum ada instruksi pembagian libur Lebaran oleh pimpinan. Hal itu berbeda dengan kondisi biasanya di saat hanya petugas piket dan cadangan yang masuk.
Tri mendapat giliran jaga sejak Sabtu (23/5/2020) malam hingga Minggu (24/5/2020) pagi. Alhasil ia akan melewati malam takbiran dan shalat Id bersama teman-teman Palang Hitam. Belum lagi mereka tetap siaga untuk tugas dadakan yang bisa datang kapan saja.
Istri dan anaknya coba memaklumi tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya melewatkan momen Lebaran bersama keluarga di Bambu Apus, Tangerang Selatan, Banten. ”Insya Allah (keluarga) maklum walaupun dengan muka cemberut. Kami tetap terhubung dengan panggilan video,” ucapnya.
Tri selalu meluangkan waktu untuk panggilan video, khususnya saat jam jaga molor. Itu supaya keluarga di rumah tidak khawatir akan kondisinya. Petugas Palang Hitam lain juga mengalami hal serupa. Silaturahmi virtual menjadi pilihan meskipun masih berada di Jabodetabek yang mudah dijangkau.
Tidak saja petugas Palang Hitam. Sukarelawan nonmedis juga memilih silaturahmi virtual karena pandemi jauh dari landai. Rizki (18), mahasiswa Sastra Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, salah satunya.
Sudah tiga pekan ia menjadi asisten perawat di Rumah Sakit Universitas Indonesia, alih-alih memilih mudik ke Banyuwangi, Jawa Timur.
Sejak saat itu, praktis waktunya habis untuk membantu pelayanan di rumah sakit dan istirahat di tempat penampungan sukarelawan. ”Berdebar-debar karena ini pengalaman pertama terjun sebagai sukarelawan nonmedis. Alhamdulillah studi dan puasa lancar karena kepala perawat memberikan kelonggaran untuk belajar dengan maksimal,” kata Rizki.
Rizki saban hari mengenakan alat pelindung diri lengkap saat bertugas masuk ke ruang isolasi untuk mengambil pakaian kotor pasien. Kemudian membantu perawat mengurus obat-obatan pasien di bagian farmasi, mengantar sampel darah ke laboratorium, hingga menjemput pasien Covid-19 di instalasi gawat darurat untuk menuju ruang isolasi.
Selain itu, ia juga bertugas membersihkan alat pelindung diri para tenaga medis yang bisa dipakai berkali-kali di ruang isolasi, seperti sepatu bot, pelindung wajah, dan kacamata pelindung, dengan cairan khusus.
Komunikasi dan silaturahmi dengan keluarga, kerabat, dan kenalan tetap berjalan lancar di sela-sela aktivitasnya. Otomatis gawai menjadi penghubung mereka selama pandemi.
Rizki meluangkan waktu 30 menit hingga 1 jam untuk berkomunikasi. Komunikasi semakin lancar karena pihak universitas menyediakan Wi-Fi secara gratis selama 24 jam. ”Silaturahmi lewat panggilan video saja. Suasananya memang berbeda, tetapi makna sliaturahmi tetap sama,” ucapnya.
Semoga pandemi lekas berlalu dan kehidupan kembali normal. Itulah harapan pejuang garis depan dalam perang melawan SARS-Cov-2 penyebab Covid-19. Mereka menyimpan kerinduan untuk bertemu dan bertatap muka secara langsung dengan orang terkasih.