Perpres Jabodetabek-Punjur Buka Peluang Proyek Pulau H Berlanjut
Pulau H sama sekali belum dibangun dan masih dalam sengketa hukum antara pengembang dan DKI Jakarta. Namun, terdapat gambar pulau tersebut pada peta zonasi dari pemerintah pusat.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peraturan Presiden RI Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur dinilai membuka peluang dilanjutkannya proyek reklamasi Pulau H di Teluk Jakarta. Ancaman dampak lingkungan dan sosial ekonomi dari kelanjutan proyek itu pun jadi sorotan.
”Jadi yang perlu dicermati ancamannya dalam waktu dekat ini adalah Pulau H,” ucap Direktur Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja dalam konferensi pers daring pada Kamis (21/5/2020). Konferensi pers oleh Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta ini bertujuan menyampaikan catatan kritis pada Perpres No 60/2020, khususnya pada bidang pesisir.
Koalisi antara lain terdiri dari Rujak, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Solidaritas Perempuan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), serta Perkumpulan Maritim dan Ekologi.
Berdasarkan Peta Rencana Pola Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek-Punjur dari laman sipuu.setkab.go.id, bentuk Pulau H digambarkan berwarna biru dan berkode B7. Itu merupakan zona dengan karakteristik daya dukung lingkungan rendah, rawan intrusi air laut, dan rawan abrasi.
Zona B7 terdiri dari kawasan peruntukan permukiman dan fasilitasnya di kawasan pesisir, kegiatan budidaya perikanan skala regional, kegiatan transportasi laut, kegiatan pariwisata, dan/atau kegiatan riset dan pendidikan. ”Itu sama zonasinya dengan Pantai Indah Kapuk,” ujar Elisa.
Tidak seperti Pulau C yang sekarang bernama Pantai Kita, Pulau D (Pantai Maju), Pulau G (Pantai Bersama), dan Pulau N yang sudah terlihat fisiknya, Pulau H hingga sekarang sama sekali belum dibangun. Selain itu, Gubernur DKI Anies Baswedan melalui Keputusan Gubernur DKI Nomor 1409 Tahun 2018 tentang Pencabutan Beberapa Kepgub tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi sudah mencabut izin reklamasi Pulau H.
Pengembang Pulau H, PT Taman Harapan Indah, melawan keputusan itu lewat Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Saat ini, proses hukum sedang pada tahap kasasi.
Elisa mengatakan, pengembang bisa saja melanjutkan pembangunan Pulau H meski belum ada aturan dari Pemprov DKI terkait tata ruang di lokasi. Sebab, berdasarkan Pasal 139 Ayat 2 Perpres No 60/2020, sepanjang aturan di daerah masih bertentangan dan belum disesuaikan dengan perpres, rencana tata ruang kawasan perkotaan Jabodetabek-Punjur merupakan acuan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang alias acuan izin.
Elisa menambahkan, terdapat keganjilan dalam peta yang jadi lampiran perpres. Saat ia mengunduh tanggal 4 Mei, zona Pulau H masih B1, sedangkan dalam peta yang diunduh pada Kamis ini masuk zona B7.
Sepanjang pengalamannya, belum pernah ada perubahan warna zonasi di peta setelah perpres sudah ditandatangani dan sudah terbit. ”Bagaimana kita bisa percaya pemerintah. Mana peta yang benar,” tutur Elisa.
Sepanjang pengalamannya, belum pernah ada perubahan warna zonasi di peta setelah perpres sudah ditandatangani dan sudah terbit. ”Bagaimana kita bisa percaya pemerintah. Mana peta yang benar,” tutur Elisa.
Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara, Parid Ridwanuddin, mempertanyakan landasan pemerintah pusat melegalkan adanya pulau reklamasi dalam Perpres No 60/2020. Jika mempertimbangkan kebutuhan ekonomi, ia menuntut pemerintah menjelaskan soal manfaat yang akan didapatkan warga yang menggantungkan hidup dari perikanan di Teluk Jakarta.
Parid merujuk hasil riset dari tim Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan Perikanan, yang terbit pada 2016 dan berjudul Estimasi Kerugian Nelayan dan Pembudidaya Ikan akibat Reklamasi di Teluk Jakarta. Tim penulis menyebutkan, secara total, potensi nilai kerugian pelaku usaha perikanan mencapai Rp 207,15 miliar per tahun.
Rekomendasi para penulis, suatu mekanisme kompensasi diperlukan jika reklamasi dilanjutkan agar hidup para pelaku usaha perikanan dan keluarga terjamin. Selain itu, perlu ada skenario aktivitas ekonomi yang baru agar mereka tidak terus-menerus bergantung pada kompensasi.
Namun, Marthin Hadiwinata dari Perkumpulan Maritim dan Ekologi mengingatkan, dengan terbatasnya lahan pertanian di daratan pada kawasan Jabodetabek-Punjur, perikanan di Teluk Jakarta adalah alternatif sumber pangan yang tidak boleh diabaikan. Ia berpendapat, Perpres 60/2020 sama sekali tidak membahas kontribusi perikanan meski mengatur soal pesisir.
Iwan Charmidi, Ketua Komunitas Nelayan Tradisional Muara Angke, mengatakan, masyarakat nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara, menyatakan kebijakan pemerintah soal reklamasi merugikan. Bukan hanya dari potensi pembangunan Pulau H, dilanjutkannya pembangunan Pulau G di utara Muara Angke juga menurut mereka pun sudah mengancam mata pencarian. Mereka khawatir lingkungan terdampak sehingga biota laut yang jadi sumber nafkah mereka berkurang dan akses keluar-masuk kapal nelayan terganggu.
Kompas berusaha mengonfirmasi pada Kepala Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan DKI, Heru Hermawanto, soal tanggapan Pemprov terhadap pengaturan pulau reklamasi di perpres. Namun, pesan singkat dan telepon dari Kompas hingga pukul 19.00 belum direspons.