Baru Diterbitkan, Perpres No 60/2020 tentang Tata Ruang Jabodetabekpunjur Didorong untuk Diperbaiki
Perpres No 60/2020 tentang tata ruang kawasan perkotaan Jabodetabekpunjur diharapkan menjadi panduan penataan. Namun, aktivis lingkungan mencermati perpres itu memiliki banyak catatan dan mendorong peninjauan ulang.
Oleh
helena f nababan
·3 menit baca
Pada 13 April 2020, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Jabodetabek-Punjur). Namun, Perpres terbaru yang menggantikan Perpres Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabek-Punjur itu dinilai memiliki banyak catatan yang dipertanyakan, dikritisi, dan untuk dibenahi.
Dalam konferensi pers daring yang digelar bersama oleh Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Walhi Jawa Barat, dan Walhi DKI Jakarta, Rabu (13/5/2020), aktivis yang tergabung dalam organisasi-organisasi tersebut berupaya menyikapi perpres tersebut, lantaran menurut mereka masih banyaknya catatan yang mesti menjadi perbaikan.
Beberapa catatan mereka, antara lain, mulai dari komitmen penyelamatan lingkungan yang belum memadai, perlindungan masyarakat yang sangat lemah dan rentan kehilangan sumber-sumper kehidupan, hingga rencana kelembagaan yang juga tidak memadai.
Direktur Eksekutif ICEL Raynaldo Sembiring menjelaskan, Perpres Nomor 60 Tahun 2020 ditujukan untuk mengatur Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan. Pengaturan itu mengacu kepada UU No. 26 Tahun 2007.
Artinya, lanjut Sembiring, muatan perpres ini seharusnya ditujukan untuk penataan ruang darat pulau utama saja. Sehingga pengaturan mengenai pulau-pulau reklamasi di dalam perpres menjadi tidak tepat. Itu karena pengaturan ruang pesisir 0-12 mil sudah diatur dalam Undang-Undang Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
”Seandainya pun mau dimuat dalam perencanaan, yang paling tepat adalah dalam rencana zonasi wilayah pulau-pulau kecil (RZWP3K) DKI Jakarta. Hanya seperti yang kita ketahui Gubernur DKI Jakarta sudah berjanji untuk tidak melanjutkan reklamasi. Pengaturan pulau-pulau reklamasi berpotensi bertentangan dengan asas kepastian hukum,” jelas Sembiring.
Dengan masuknya pulau-pulau reklamasi ke dalam perpres itu, ICEL melihat secara normatif hukum, perpres disusun dengan tidak cermat karena menimbulkan dampak lingkungan.
”Ini untuk koordinasi lintas wilayah untuk meminimalkan dampak wilayah. Ketika si pulau reklamasi muncul, agak melenceng karena ada RDTR perkotaan,” kata Sembiring.
Sementara Susan Herawati, Sekjen KIARA mengungkapkan, Perpres No 60 Tahun 2020 ini wajib dikritik karena isinya melegalkan proyek reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya Pulau C, D, G, dan N. Padahal, lanjutnya, proyek tersebut jelas-jelas telah melanggar hukum, merusak keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan, serta menghancurkan penghidupan lebih dari 25.000 nelayan di Teluk Jakarta dan di lebih dari 3.500 nelayan Kepulauan Seribu.
”Alih-alih memperlihatkan keberpihakannya kepada nelayan di Pesisir Jakarta, Kepulauan Seribu serta kelestarian sumber kelautan dan perikanan di Teluk Jakarta, melalui perpres ini, Presiden Joko Widodo menunjukkan keberpihakannya kepada pengembang reklamasi yang akan menghancurkan masa depan Teluk Jakarta,” kata Susan.
Adapun Tubagus Soleh Ahmadi, Direktur Walhi Jakarta menegaskan, dengan banyaknya catatan tersebut, masyarakat belum bisa berharap banyak dari perpres ini. Utamanya dalam agenda pemulihan lingkungan hidup dan penyelamatan sumber-sumber kehidupan rakyat.
”Evaluasi pemerintah terhadap dirinya sendiri bawah kejadian bencana ekologis selama ini tidak berarti apa-apa karena aktivitas dari model pembangunan yang semakin berdampak pada kerentanan lingkungan hidup masih terus diizinkan berjalan. Contohnya betonisasi kali-kali di Jakarta,” kata Tubagus.
Sementara Wahyudin Iwank dari Walhi Jawa Barat menyatakan, perpres tersebut belum menunjukkan semangat perlindungan lingkungan hidup dan ekologi yang utuh.
”Kawasan perkotaan Jabodetabek-punjur masih dipandang sebagai kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi, yang pada akhirnya lingkungan hiduplah yang harus mengikuti,” jelasnya.
Kawasan perkotaan Jabodetabek-punjur masih dipandang sebagai kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi, yang pada akhirnya lingkungan hiduplah yang harus mengikuti.
Ia mencontohkan pada Pasal 12 di mana ruang terbuka hijau diatur supaya setiap wilayah memiliki 30 persen RTH, yang terjadi hari ini adalah pembangunan jalan tol atau juga proyek infrastruktur lainnya.