Menjadi Manusia yang Tidak Berdaya Saat Berada di Episentrum Korona
Videografer ”Kompas” merasa tidak berdaya karena tidak bisa menolong calon pasien RS Sulianti Saroso yang terjatuh di trotoar. Protokol pencegahan Covid-19 memang mencegahnya bersentuhan dengan calon pasien.
Oleh
RIAN SEPTIANDI
·6 menit baca
Lelaki paruh baya jatuh tidak berdaya tepat di depan mata saya, tidak lama setelah mobil yang mengantarkannya ke depan pintu Rumah Sakit Sulianti Saroso pergi meninggalkannya, Selasa (24/3/2020). Pejalan kaki yang berada di sekitar selasar tidak satu pun yang berani mendekat, demikian pula saya. Sejak Covid-19 menyebar di Indonesia, Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso menjadi rumah sakit rujukan untuk mengatasi pandemi ini.
Tidak heran banyak pasien berdatangan dan aktivitas di rumah sakit terlihat lebih sibuk dari biasanya. Melihat lelaki itu terjatuh, ada dorongan untuk menolong, tetapi lagi-lagi atas pertimbangan keamanan, saya memilih tidak beranjak. Sesaat saya merasa menjadi manusia tidak berdaya dan merasa tak berguna. Sungguh ironi di kala seharusnya saya bisa menolong seseorang di depan mata saya, saya justru hanya diam.
Ini adalah pengalaman pertama saya bertugas meliput berita di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, salah satu pusat perawatan pasien Covid-19. Sebagai videografer Kompas, bertugas di kala pandemi Covid-19 adalah pengalaman yang sangat berharga, tetapi berisiko tinggi. Sempat terlintas rasa takut tertular, tetapi ini adalah risiko dan tanggung jawab saya sejak awal saya memilih dunia jurnalistik. Layaknya seorang dokter yang bersumpah menolong orang atau tentara yang menjaga kedaulatan negerinya, seorang jurnalis juga tetap bertugas di lapangan menyajikan informasi yang bertanggung jawab untuk masyarakat luas.
Kedatangan saya ke RSPI SS untuk bertemu dengan tenaga medis yang bertugas merawat pasien Covid-19. Tidak mudah membuat janji bertemu dengan perawat yang tentunya sangat sibuk menangani pandemi. Terlebih jumlah temuan kasus Covid-19 terus meningkat setiap hari. Wajar jika janji bertemu sebelumnya beberapa kali dibatalkan.
Pagi itu sekitar pukul 08.45, saya menunggu di minimarket yang letaknya lebih kurang 100 meter dari RSPI. Sesuai protokol kesehatan, tidak lupa saya mengenakan masker dan membawa handsanitizer. Hari menjelang siang sekitar pukul 12.00 baru saya berani masuk ke area rumah sakit. Ketika saya memasuki gerbang rumah sakit, rasa khawatir mulai muncul saat melihat kerumunan orang bermasker di IGD dan lobi utama RSPI yang menjadi tempat penyaringan pasien Covid-19.
Rasa khawatir itu berubah menjadi takjub dan hangat saat saya masuk semakin dalam dan menunggu di Gedung Adhyatma karena kiriman bantuan makanan, minuman, hingga alat kesehatan tidak berhenti mengalir. Karangan bunga berisikan semangat berjejeran menghiasi selasar, tidak jauh dari ruang isolasi dan Gedung Adhyatma.
Setelah lima jam menunggu dan khawatir akan batal kembali, akhirnya salah satu perawat bernama Indah bersedia melakukan wawancara siang itu. Kesempatan ini saya manfaatkan semaksimal mungkin dengan bergegas menyiapkan peralatan kamera saya dan mewawancarainya di lorong samping gedung tempat saya menunggu. Wawancara itu membahas mengenai pengalaman beliau dalam bertugas menangani pasien Covid-19. Tidak lupa saya juga menjaga jarak aman saat sedang wawancara. Wawancara itu hanya berlangsung 10 menit. Banyaknya karangan bunga berisikan kata semangat membuat saya semangat dan melupakan rasa takut tertular.
Tak berhenti sampai disitu, saya juga berkesempatan bertemu dengan Direktur Utama RSPI dan dapat membuat janji untuk melakukan wawancara tatap muka dengan beliau pada hari berikutnya. Saya juga bergegas merekam sudut-sudut bangunan RSPI, termasuk bagian luar IGD.
Merasa tak berdaya
Cone pembatas terpasang berjajar di area masuk lobi utama agar tidak sembarang orang mendekati area tersebut karena dapat tertular Covid-19 arena penyakit ini dapat menulari siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Terutama dalam zona merah seperti rumah sakit rujukan ini, kita tidak dapat membedakan yang mana kunjungan pasien yang memiliki gejala Covid-19 atau pasien penyakit lain.
Peringatan pihak humas dan keamanan rumah sakit saat saya meminta izin untuk untuk mengambil gambar juga turut membuat saya semakin khawatir dan cemas. Padahal, saya berdiri di pos keamanan sekitar 15 meter meter dari zona dilarang masuk oleh pihak RSPI.
Perasaan khawatir saya semakin menjadi sore itu ketika sebuah mobil berhenti sekitar 10 meter di depan saya menurunkan tiga penumpang bermasker di selasar seberang IGD. Seorang lelaki paruh baya, ibu muda, dan anak kecil. Sang ibu muda bergegas menuju IGD meninggalkan lelaki paruh baya berdiri berpegangan dengan anak kecil itu.
Setelah mobil pergi, lelaki itu jatuh tak berdaya tepat di depan mata saya. Tampak anak kecil dengan raut sedih kebingungan, orang-orang yang berlalu-lalang tidak berani mendekat. Saya hanya berdiri membatu sembari memegang kamera saya, di mana hati bertolak belakang dengan tubuh ini.
Hati yang ingin mendekati dan membantunya, tetapi tubuh menolak untuk mendekati dan lebih memilih memberi tahu petugas keamanan yang sedang berjaga. Dengan sigap, mereka bergegas mengenakan masker dan sarung tangan, lalu membawanya menuju Instalasi Gawat Darurat. Momen itu sempat saya abadikan dalam kamera saya meskipun hati ini menjadi tidak keruan.
Saya merasa menjadi manusia tidak berdaya, seakan rasa kepedulian saya memudar. Namun, ucapan petugas keamanan saat itu menyadarkan saya. ”Terima kasih, Mas, untung cepat diberi tahu,” ucap petugas.
”Iya Mas, sama-sama, maaf tidak bisa bantu” ujar saya. ”Tidak apa-apa, Mas. Sudah jadi tugas saya dan protokolnya memang harus begitu biar tidak tertular,” kata petugas. Hal itu menyadarkan bahwa yang saya lakukan adalah tindakan yang tepat karena ada protokol untuk menangani pandemi covid-19 ini.
Meskipun belum jelas apakah pasien itu datang untuk screening Covid-19 atau bukan. Namun, satu yang jelas, Covid-19 dapat membuat manusia terlihat seperti lebih egois dari biasanya, cenderung mementingkan keselamatannya masing-masing.
Memanfaatkan Teknologi
Selepas liputan, saya bergegas pulang dan lekas mandi sebersih-bersihnya agar tidak menularkan virus jika ada yang menempel di pakaian atau di badan. Tidak lupa, semua alat kerja yang saya bawa saat liputan saya bersihkan dengan alkohol mengikuti anjuran dari kantor dan para ahli.
Kejadian ini adalah pengalaman berharga bagi saya, terlebih kantor tempat saya bekerja telah menerbitkan protokol keselamatan liputan yang membatasi wartawan untuk menemui langsung narasumber, terutama di lokasi yang menjadi pusat perawatan pasien Covid-19.
Setelah anjuran untuk mewawancara narasumber secara daring diterbitkan, saya mulai memanfaatkan panggilan video dalam aplikasi Whatsapp dan Zoom untuk melakukan liputan. Salah satunya untuk mewawancarai Direktur Rumah Sakit Sulianti Saroso, Mohammad Syahril, secara daring melalui aplikasi panggilan video.
Tantangannya adalah kita bergantung pada kualitas jaringan, membutuhkan paket data yang lebih besar dari biasanya dan keterbatasan sumber daya visual. Hal itu juga menjadi pendorong saya untuk berpikir lebih kreatif dan bekerja lebih solid dengan tim untuk memaksimalkan sebuah karya di tengah keterbatasan.
Terlepas dari itu, dengan memanfaatkan teknologi seperti ini juga memberikan rasa aman dan nyaman bagi narasumber. Banyak dari narasumber kita yang tidak ingin diwawancarai tatap muka langsung dan lebih memilih wawancara dalam jaring demi keamanan bersama. Rasa aman dan nyaman juga dapat menentukan keberhasilan kita dalam sebuah wawancara.
Pengalaman liputan selama Covid-19 ini tidak tergantikan. Di tengah pandemi ini kita seharusnya semakin peduli terhadap sesama dan setiap orang memiliki perannya masing-masing dalam membantu sesama. Seperti seorang jurnalis yang memberikan inspirasi bagi masyarakat untuk tetap berjuang melalui karya tulisan, foto, hingga videonya. Dalam beragam keterbatasan ini juga membuat kita lebih memutar otak sehingga lebih kreatif.