Pemkot Tangsel Perkuat Gugus Tugas Covid-19 Tingkat RT dan RW
Pembatasan sosial berskala besar di Tangerang Selatan belum maksimal. Hasil yang dicapai masih jauh dari target.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
TANGERANG SELATAN, KOMPAS — Pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar atau PSBB termin kedua untuk Kota Tangerang Selatan dimulai pada Minggu (3/5/2020) hingga 17 Mei. Penguatan gugus tugas tingkat rukun tetangga atau RT menjadi prioritas agar PSBB menjadi lebih efektif.
”Evaluasi PSBB termin pertama menunjukkan tingkat pemenuhan aturan kesehatan oleh masyarakat hanya 71,5 persen. Meleset dari target 90 persen, kata Wakil Wali Kota Tangerang Selatan Benyamin Davnie melalui sambungan telepon dari Jakarta, Minggu.
Ia mengungkapkan, kendala penerapan PSBB bukan pada pengetahuan masyarakat, melainkan pada kesadaran untuk tinggal di rumah. Berdasarkan laporan aparat pemerintahan yang melakukan razia kendaraan bermotor ataupun keramaian, warga yang tertangkap semuanya mengetahui mengenai PSBB. Mereka juga mengerti risiko penularan Covid-19 yang diakibatkan oleh penyebaran virus korona baru.
Rata-rata, warga yang dirazia mengaku mereka keluar rumah karena bosan sehingga hendak mengunjungi kerabat. Ketika ditanya alasan tidak memakai masker mereka berkilah tidak punya, gerah, atau lupa. Akibatnya, pengurangan pergerakan orang di Tangsel hanya 40 persen, jauh dari target 60 persen.
Menurut Benyamin, sudah terbit Peraturan Wali Kota (Perwal) Tangsel No 13/2020 yang menerangkan seluruh aspek pelaksanaan PSBB. Guna memastikan penerapan di lapangan sesuai dengan perencanaan, pemerintah kota menurunkan pejabat eselon II Pemerintah Kota Tangerang Selatan untuk memantau kinerja kelurahan mengawasi pelaksanaan PSBB. Adapun para pejabat eselon III dan IV Pemkot Tangsel ditugaskan memantau pelaksanaan PSBB di 750 rukun warga (RW).
”Kami juga memberi surat teguran kepada individu yang melanggar aturan PSBB agar menimbulkan efek jera,” katanya.
Bantuan sosial
Terkait bantuan sosial (bansos), Benyamin mengungkapkan, pendanaan dilakukan pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi Banten, Pemkot Tangsel, dan sumbangan sejumlah perusahaan. Perwal Tangsel No 13/2020 menyatakan, para penerima bansos adalah orang-orang yang rentan terhadap dampak Covid-19. Di antaranya lansia, warga miskin, dan mahasiswa dari luar Tangsel yang tidak bisa pulang ke kampung halaman.
Sebelum bansos disalurkan, pengurus RT dan RW diminta mendata warganya. Hal ini sengaja dilakukan karena sumber daya manusia di pemerintahan terbatas. Selain itu, juga untuk membangun kemampuan pengelolaan dan perekaman data di akar rumput.
”Kami menyadari masih ada kendala di lapangan, misalnya warga yang tidak percaya kepada RT dan RW untuk mengurus bansos. Akan tetapi, hal ini yang harus diluruskan dengan cara membangun kompetensi RT, RW, dan warga melalui data yang transparan dan akurat sehingga bisa diawasi bersama,” ujar Benyamin.
Tercatat sejauh ini di Tangsel ada 78.000 keluarga yang layak menerima bansos. Bentuknya ada yang berupa paket kebutuhan pokok dengan matriks nilai Rp 600.000, ada pula kiriman uang sebesar Rp 600.000 melalui Bank Jabar Banten. Keluarga yang sudah menerima bantuan paket kebutuhan pokok tidak diperkenankan menerima uang, demikian sebaliknya.
Benyamin mengatakan, Pemkot Tangsel sudah menyerahkan nama dan nomor kontak para ketua RW kepada Kementerian Sosial dan PT Pos Indonesia selaku penyalur bantuan. Harapannya, tidak ada lagi bansos tak tersalurkan karena tidak ada alamat penerima.
Sementara itu, Wakil Wali Kota Tangerang Sachrudin membagikan dana bansos Rp 600.000 kepada 2.460 warga Kecamatan Ciledug. Pendataan terus bergulir dengan pelaporan penerima manfaat melalui RT dan RW.
Guru Besar Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia, Bambang Shergi Laksmono, menyikapi dengan kritis cara pemberian bansos pemerintah yang masih sarat politisasi. Menurut dia, hal ini adalah hambatan pengumpulan data yang cepat dan tepat. Di samping itu, budaya bansos di Indonesia masih kental dengan nuansa patron dan klien, yakni yang mampu memberi sumbangan kepada yang tidak mampu.
PSBB membuka mata masyarakat mengenai lambatnya penanganan dari pemerintah. Di sini pula kesempatan rakyat melakukan pengawasan, sekaligus membantu pendataan untuk membangun sistem yang baik. Keterbukaan komunikasi pemerintah dengan perwakilan warga, pekerja, dan semua pihak terkait menjadi kunci.
”Sumbangan menjadi tulang punggung bansos karena belum ada sistem pencatatan jaminan kesejahteraan sosial yang menyeluruh. Budaya gotong royong memang baik, tetapi jangan menjadi alasan sistem Jaminan Kesejahteraan Sosial tidak maksimal dan dibebankan kepada warga yang dinilai mampu. Apabila telah tercatat, tidak ada lagi hubungan patron-klien, yang ada hanya pemenuhan hak warga negara,” ucapnya.