Antisipasi Hukum jika Korban Covid-19 Menjadi Penyebar Virus secara Sengaja
Saat pasien covid-19 berubah menjadi penyebar virus secara sengaja, belum ada jerat hukum yang dapat dikenakan kepadanya. Polisi diharapkan mengembangkan diri menghadapi kejadian semacam itu.
Bencana menimbulkan tindakan anti osial. Tidak jarang hal ini berkembang menjadi tindak kejahatan serius. Kohesi sosial yang retak dan lemah menjadi lahan subur konflik, trauma, dan gangguan sosial.
Para perawat di salah satu rumah sakit swasta di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, yang melayani pasien Covid-19, diusir beberapa pemilik rumah kos karena tekanan lingkungan yang khawatir para perawat itu menjadi pembawa virus korona.
Di beberapa daerah, warga menolak jenazah pasien Covid-19 dimakamkan di pemakaman umum di sekitar permukiman mereka.
Peristiwa tersebut terjadi di tengah tingginya tingkat pengangguran karena terhentinya roda usaha di hampir seluruh sektor, dari sektor berskala besar sampai sektor berskala kecil. Mereka yang belum di-PHK, tak lagi menerima gaji utuh.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah jika di tengah bencana pandemi Covid -19 saat ini, korban penularan virus ini berubah menjadi pelaku penyebaran. Korban dengan sengaja menebar teror, menularkan Covid-19 ke lingkungannya karena frustrasi atau putus asa.
Kita tentu saja tidak menginginkan mimpi buruk seperti ini terjadi. Namun, apabila kita kehilangan daya juang, akal sehat, serta inisiatif membangun kembali kebersamaan di tengah bencana dan kondisi serba kekurangan, mimpi buruk itu bisa menyergap kita.
Sehebat apa pun satu pola pemolisian untuk menindak pelaku, tidak akan berdaya lagi menghadapi hal ini. Sebab, kekuatan sistem pemolisian bertumpu pada tertib dan kepatuhan sosial yang dibangun berdasarkan teori dan praktik hukum dengan pendekatan sosial budaya yang tepat.
Dengan alasan tersebut, Inspektur Jenderal Mohammad Fadil Imran mengingatkan pentingnya perangkat hukum yang jelas, yang mampu mengantisipasi gangguan ketertiban dan kepatuhan sosial akibat berubahnya pasien Covid-19 menjadi pelaku kejahatan.
Saat menggelar diskusi akademik melalui telekonferensi, Senin (20/4/2020) malam, Fadil mengingatkan, Polri membutuhkan perangkat perundangan yang mampu mengantisipasi ketertiban sosial akibat berubahnya pasien Covid-19 menjadi pelaku kejahatan.
Sebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia, kata Fadil, belum memiliki perangkat perundangan seperti ini. Maklum, bencana dunia ini tidak terduga datangnya dan baru pertama kali muncul dalam skala sangat luas. Hanya negara-negara otoriter saja yang mampu memobilisasi massa agar tunduk pada perintah negara.
Polri yang lentur
Diskusi yang diikuti belasan peserta, yang sebagian besar adalah mahasiswa pascasarjana sertacalon doktor kriminologi di Tanah Air dan luar negeri tersebut, dimoderatori Guru Besar Kriminologi UI Adrianus Meliala.
Menurut Fadil, yang juga seorang doktor kriminologi ini, Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 9 Ayat 1 yang mengandung ancaman sanksi setahun penjara, tidak mengatur soal perubahan pasien menjadi pelaku kejahatan.
Selama ini Polri lebih melakukan pendekatan persuasif dan terlibat dalam sejumlah kegiatan sosial bersama masyarakat untuk mengantisipasi kejahatan penyebaran virus korona secara sengaja. Sementara di sisi lain, Polri, setahap demi setahap tanpa disadari warga, melakukan pendekatan hukum.
Jeratan UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ini mulai populer setelah muncul sejumlah kasus pasien Covid-19 kabur karena jenuh dirawat di ruang isolasi. Seorang pejabat Pemerintah Kabupaten Tebo berinisial TA, misalnya, kabur dari Rumah Sakit (RS) Raden Mattaher, Jambi, setelah 21 hari diisolasi. Ia masuk ke RS tersebut tanggal 17 Maret 2020.
Seorang pasien lain berinisial N (52) mengamuk hendak kabur dari RS Umum Daerah Inche Abdoel Moeis, Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat (11/4/2020). Dengan bantuan istrinya, seorang pasien Covid-19 juga kabur dari RS Harapan Anda, Tegal, Jawa Tengah. Hal serupa terjadi di RS Mardi Rahayu, Kudus, Jawa Tengah, dan di RSUD Chasan Boesoirie, Ternate.
Langkah Polri menjerat mereka yang menolak karantina kesehatan dengan UU tersebut tampaknya hanya bersifat sementara. Di masa mendatang, negara membutuhkan perangkat perundangan beserta turunannya sebagai landasan kerja Polri dan instansi terkait lainnya.
”Peraturan perundangan baru ini diharapkan bisa diterapkan dalam setiap peristiwa bencana yang memicu berubahnya korban menjadi pelaku kejahatan,” jelas Fadil. Ia berharap, setelah masa pandemik Covid-19 berakhir, pemerintah, termasuk Polri, dan DPR, bisa segera membuat peraturan perundangan ini.
Tidak hitam putih
Staf Ahli Kapolri Bidang Sosial Budaya ini berpendapat, aturan main mengendalikan korban yang menjadi pelaku semasa pandemik Covid-19, harus jelas. Sebab, proses perubahan dari korban menjadi pelaku kejahatan, kasusnya tidak berlangsung hitam putih seperti pada kasus narkoba, pada kasus Kelompok Anarko, atau pada kasus penimbunan dan pencurian masker.
”Kasus narkoba sudah jelas. Korban yang menjual narkoba menjadi pelaku. Sanksi hukumnya jelas. Penanganan kasus Kelompok Anarko atau kasus korupsi dana bantuan pun bukan hal baru untuk dituntaskan Polri. Perangkat hukumnya sudah lengkap. Personel Polri sudah sangat siap menghadapi kasus seperti ini,” tuturnya.
Menurut Fadil, dibutuhkan telaah antardisiplin ilmu dalam mengendalikan perubahan korban menjadi pelaku penyebaran virus korona, termasuk untuk memulihkan para pelakunya. Kriminologi tak bisa bekerja sendiri. Harus ada dukungan dari ilmu-ilmu sosial lain, termasuk ilmu ekonomi. Dengan demikian, Polri bisa membedah persoalan ini secara komprehensif, menyeluruh, dan lengkap.
Dalam diskusi tersebut, beberapa peserta menyampaikan kritik terhadap Polri yang cenderung melakukan pendekatan persuasif diiringi bantuan sosial ketimbang penindakan hukum. Peserta lain menanyakan mengenai sejauh mana Polri meningkatkan kompetensinya dengan menggunakan disiplin ilmu-ilmu sosial lainnya, termasuk pendekatan sosial dan budaya.
Menanggapi hal itu, Fadil menjelaskan, Polri melakukan langkah tersebut untuk meredam terjadinya kekacauan sipil (civil unrest), menjaga ketertiban sosial, dan menyiapkan sejumlah langkah antisipasi jika masyarakat bereaksi karena frustrasi sosial.
Selain itu, Polri pun seperti warga lainnya, rentan terhadap Covid-19. Oleh karena itu anggota Polri wajib melindungi diri. ”Kita harus mampu menyelamatkan diri kita dulu sebelum menyelamatkan orang lain,” tutur Fadil.
Suasana hati
Ia membantah seolah Polri tidak melakukan penegakan hukum terhadap kebijakan pemerintah menanggulangi Covid-19. Polri, lanjut Fadil, sudah dan terus memelihara ketertiban sosial tahap demi tahap. Dari tindakan lunak berupa imbauan dan pendampingan sampai ke tindakan keras penegakan hukum sesuai sesuai situasi yang berkembang.
Langkah bertahap tersebut menunjukkan bahwa Polri memahami suasana hati rakyat. ”Kita semua saat ini dalam kondisi tertekan secara psikososial dan ekonomi,” kata Fadil.
Ia kembali mengingatkan, bencana cenderung menghasilkan ketidakstabilan dan ketidaknormalan sosial. Anomali bisa muncul di tengah masyarakat yang frustrasi menghadapi krisis. Polri, lanjut Fadil, tak boleh gegabah. Polri harus lentur. Apa yang sudah dilakukan Polri saat ini menunjukkan bahwa Polri mau menerapkan ilmu-ilmu sosial lainnya di luar kriminologi. ”Setiap langkah antara lain telah melalui pertimbangan antropologis, sosiologis, dan ekonomi,” ucapnya.
Fadil berharap, eksplorasi dan kolaborasi keilmuan yang didapat Polri saat menghadapi pandemik Covid-19 ini akan membuat Polri semakin tangguh dan cerdas karena bertambah ”jam terbang” nya menghadapi pengalaman baru.
(WINDORO ADI, wartawan Kompas 1991-2019, tinggal di Kuningan, Jawa Barat)