Masih Ada Keraguan soal Pembagian Bansos di DKI Jakarta
Transparansi data penerima bantuan sosial dan cara verifikasi kelayakan harus dibeberkan kepada warga. Jangan sampai upaya mendukung warga selama pandemi Covid-19 menimbulkan risiko kesenjangan sosial.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membagi-bagikan bantuan sosial kepada warga miskin dan rentan miskin disambut skeptisisme warga itu sendiri. Mereka mempertanyakan jaminan bantuan akan tepat guna dan tidak dibagikan berdasarkan bias para pemimpin di lapangan.
”Sejauh ini belum ada sosialisasi di lingkungan tempat tinggal saya. Namun, di RW (rukun warga) sebelah sudah disalurkan bansos (bantuan sosial). Cuma, kok, ada beberapa penerima yang statusnya karyawan aktif?” Kata Sonny, warga kelurahan Menteng, Jakarta, ketika ditemui pada Rabu (15/4/2020). Sonny adalah pengemudi ojek daring.
Sehari-hari, ia menunggu di pangkalan resmi Jalan Blora atau terkadang di trotoar pusat perbelanjaan Gran Indonesia. Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mengakibatkan pesanan makanan, belanja, ataupun pengantaran paket lesu. Sehari, ia maksimal hanya mendapat empat pesanan. Lebih sering dalam sehari ia hanya melayani satu pesanan sehingga ia sangat mengharapkan bantuan pemerintah.
Harus ada jembatan antara RT/RW yang merupakan perpanjangan tangan administrasi formal dengan warga.
”Saya ngerti kalau dalam satu paket mungkin isinya enggak terlalu banyak, tetapi kita setidaknya bisa mengakali pemakaiannya supaya tahan lama,” ujarnya. Ia tak mendengar ada pendataan mengenai penerima bansos tersebut di lingkungannya.
Sonny mengakui ia tidak akrab dengan para petugas RW dan RT (rukun tetangga) karena dari pagi hingga malam ia berada di jalanan. Begitu pula saat PSBB diterapkan.
Sorotan serupa juga diungkapkan oleh Aldi, warga Kelurahan Lebak Bulus yang bekerja sebagai tukang ojek pangkalan. Ia membaca mengenai skema bansos tersebut di media arus utama, tetapi ia sangsi dengan ketepatan pembagiannya.
”Takutnya kalau pembagian diserahkan ke RT/RW nanti yang diutamakan kerabat mereka. Buktinya, di lingkungan saya, para pedagang kaki lima yang mengontrak dan enggak bisa mudik sampai sekarang belum menerima bantuan,” ucapnya.
Tumbuhkan kepercayaan
Sosiolog perkotaan Universitas Negeri Jakarta, Rahmat Hidayat, menerangkan, di kalangan akar rumput, ketidakpercayaan kepada struktur pemerintahan resmi lazim ditemukan. Sejarah korupsi dan penggelapan bantuan menanamkan kesadaran subliminal bahwa segala jenis program dan bantuan dari pemerintah hanya berhenti pada elite, dalam hal ini mereka yang dekat dengan pejabat kelurahan serta RT/RW.
Hal ini ditambah dengan kebanyakan ketua RT dan RW adalah pegawai kantoran. Umumnya mereka bekerja dari pagi hingga petang dan baru bisa melayani warga di malam hari atau di akhir pekan. Jenis layanan pun sebatas administrasi, seperti mengurus surat pindah, membuat pengantar kartu keluarga, dan pendaftaran pemilu.
Walhasil, ketua RT dan RW belum tentu mengenal dan dikenal oleh warga. Fakta bahwa mereka kini berada di rumah akibat pelarangan beraktivitas di luar tidak otomatis membuat mereka langsung akrab dengan warga.
”Harus ada jembatan antara RT/RW yang merupakan perpanjangan tangan administrasi formal dengan warga. Berdayakan tokoh-tokoh masyarakat, pengurus majelis taklim atau kegiatan agama lainnya, Karang Taruna, pengurus ruang publik terpadu ramah anak, dan PKK (pemberdayaan kesejahteraan keluarga),” tutur Rahmat.
Selain menjadi pengumpul data lapangan, mereka juga menjadi verifikator apabila satu keluarga layak atau tidak untuk menerima bantuan. Mereka merupakan orang-orang yang memiliki kekuatan menjemput bola kepada warga karena mereka berstatus khusus, tetapi tidak bagian dari pemerintahan formal.
”Komando untuk memberdayakan para otoritas informal ini memang ada di pemerintah provinsi. Teknisnya ada di kantor wali kota melalui bidang pemberdayaan masyarakat kota. Penerapannya oleh kelurahan dengan diawasi oleh dewan keluarahan yang anggotanya adalah perwakilan dari setiap RW,” papar Rahmat.
Terkait anggaran penanganan dampak Covid-19, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Muhammad Taufik mengatakan, Pemprov Jakarta sudah mengucurkan dana Rp 3,03 triliun untuk penanggulangan penularan virus korona baru dan penyakit yang diakibatkannya, yakni Covid-19. Meskipun begitu, DPRD Jakarta tengah mengupayakan penambahan dana.
Uangnya diambil dari pengalihan biaya rapat, perjalanan dinas, serta proyek-proyek yang tidak mendesak dikerjakan di tahun 2020, seperti Formula E. ”Kalau hitung-hitungan ideal bisa mencapai Rp 6 triliun, tetapi masih dibahas berapa jumlah yang bisa dikucurkan secara riil,” ucapnya.
Pemprov DKI Jakarta memberi bansos kepada 1,2 juta keluarga miskin dan rentan miskin. Adapun 13 juta keluarga ditanggung oleh Kementerian Sosial. Paket berupa kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, ikan kalengan, biskuit, sabun mandi, dan masker yang diberikan kepada keluarga berdomisili di Jakarta, tanpa perlu memiliki kartu tanda penduduk Jakarta.
Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengatakan, setiap hari akan dibagikan 20.000 paket bansos. Pembagian dilakukan tanggal 9-24 April 2020 dan langsung diantar ke rumah penerima.