Pemprov DKI Jakarta Memperkuat Deteksi Dini Tingkat Akar Rumput
Pihak RT, RW, dan dasawisma PKK diminta mendata warga rentan yang berisiko terpapar virus korona baru. Hal ini menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah strategi pengelolaan di akar rumput yang efektif.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Strategi pendataan sedini mungkin mengenai nama-nama individu yang rentan tertular dan menularkan virus SARS-CoV-2 menjadi ujung tombak kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Semakin cepat mengidentifikasi mereka yang menunjukkan gejala, semakin cepat penanganan bisa dilakukan.
Dalam jumpa pers di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (30/3/2020), Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan para lurah untuk memastikan ketua rukun tetangga (RT), ketua rukun warga (RW), dan ketua dasawisma pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK) memantau warga akar rumput yang menunjukkan gejala terjangkit Covid-19.
”Para wali kota telah menyediakan tempat untuk isolasi sementara individu tersebut sambil menunggu hasil pemeriksaan,” katanya.
Menurut Anies, pendekatan ini bisa diterapkan di kawasan permukiman padat. Mengingat pembatasan jarak secara fisik sukar dilakukan dengan optimal di wilayah ini, kewaspadaan dan kesigapan melakukan pelaporan serta pemeriksaan ke fasilitas kesehatan menjadi kunci.
Sistem piket
Anies juga menjabarkan bahwa ketua RT, RW, dan dasawisma PKK turut berperan sebagai pengawas bagi kelompok rentan, yakni warga lansia dan orang dengan penyakit bawaan. Para warga lansia yang terpaksa tinggal sendiri hendaknya dipastikan tidak keluar rumah. Para pengelola warga di akar rumput diharapkan bisa membuat sistem piket untuk membantu warga lansia tersebut berbelanja kebutuhan pokok.
”Terkait karantina wilayah seperti lockdown, kami terus berkoordinasi dengan pemerintah pusat dan hingga kini belum ada arahan menuju karantina wilayah. Meskipun begitu, Pemprov DKI Jakarta sudah menyampaikan surat kepada pusat, apabila ada karantina wilayah, sektor-sektor vital seperti pangan, komunikasi, kesehatan, energi, dan keuangan harus tetap beroperasi,” tutur Anies.
Ia mengatakan, sanksi hukum terhadap warga yang belum menerapkan pembatasan fisik dan sosial sukar dilakukan karena kewenangan pemerintah daerah terbatas. Terutama terkait para pekerja informal yang meninggalkan Jakarta akibat tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan. Payung hukum harus datang dari pusat.
Ketua Tim Tanggap Covid-19 DKI Jakarta Catur Laswanto mengungkapkan, per Senin (30/3/2020) petang, jumlah orang yang positif mengidap virus korona baru sebanyak 720 orang. Dari jumlah ini, 48 orang sembuh, sementara jumlah yang meninggal lebih banyak, yaitu 76 orang. Sebanyak 150 pasien positif menjalani isolasi mandiri karena kondisi fisiknya memungkinkan tidak perlu dirawat di rumah sakit.
”Masih ada 599 individu yang menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Dari sisi tenaga kesehatan di 30 rumah sakit, ada 81 orang yang positif Covid-19,” ujarnya.
283 jenazah
Jumlah orang dalam pengawasan ada 2.288 orang dan sebanyak 1.971 orang sudah sehat. Adapun pasien dalam pengawasan ada 1.046 orang dengan 388 individu telah sembuh.
Meskipun begitu, Dinas Pertamanan dan Kehutanan DKI Jakarta mencatat, sejak 6 Maret hingga 29 Maret 2020 ada 283 kegiatan pemulasaran dan pemakaman yang memakai standar penanganan Covid-19. Petugas pemakaman mengenakan alat pelindung diri lengkap. Jenazah juga dibungkus rapat di dalam peti dan dikebumikan dalam waktu maksimal empat jam setelah berpulang.
”Para almarhum memang belum terbukti mengidap Covid-19, tetapi kita jangan menganggap remeh. Lindungi diri sendiri dan orang-orang di sekitar,” ujar Anies.
Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Turro Wongkaren menjelaskan, sejatinya konsep karantina wilayah memiliki berbagai macam penerapan, bergantung pada budaya, demografi, dan geografis suatu wilayah. Kalaupun Jakarta hendak menerapkan karantina wilayah, tidak bisa disamakan dengan praktik di negara lain dengan struktur sarana dan prasarana berbeda.
”Etika karantina wilayah tidak bisa diutarakan tiba-tiba karena dapat memicu kepanikan massal. Pengumuman harus dilakukan setidaknya sepekan sebelum aturan diterapkan,” ujarnya.
Karantina wilayah berarti memastikan tidak hanya rantai suplai kebutuhan pokok tercukupi dan transparan, tetapi ada sumber daya manusia yang mampu mengoperasikannya. Misalnya, untuk memastikan aliran pangan sampai di wilayah permukiman dan disebarkan sesuai jumlah penduduk. Dalam hal Jakarta, pemerintah daerah tidak akan bisa melakukannya sendirian. Pada akhirnya tetap harus berfungsi dengan keterlibatan masyarakat.
Menurut Turro, langkah karantina radikal yang bisa diambil adalah menerapkan jam malam. Pendekatan ini lebih cocok untuk Jakarta yang merupakan wilayah urban sekaligus perkampungan dengan penduduk profesional maupun pekerja informal. Penerapan jam malam tetap memperhatikan orang-orang yang masih harus bekerja di luar, seperti kurir pengantar makanan dan belanjaan serta profesional garda depan yang tetap bertugas di masa tanggap darurat.