Jakarta merupakan kota yang mengalami paradoks. Semakin modern kota, idealnya semakin adab dan inklusif. Sayangnya, Jakarta justru menjadi kota intoleran nomor tiga terbawah versi Setara Institute.
Oleh
Dian Dewi Purnamasari/J Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta merupakan kota yang mengalami paradoks jika dilihat dari sudut pandang toleransi. Semakin modern kota idealnya semakin adab dan inklusif. Sayangnya, Jakarta justru menjadi kota intoleran nomor tiga terbawah versi Setara Institute.
Setara Institute adalah lembaga nirlaba yang berfokus meneliti dan mengadvokasi masalah demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia (HAM). Setara Institute merilis indeks kota toleran tahun 2018.
Sebanyak 94 kota di peringkat berdasarkan sembilan indikator yang ditetapkan. Sejumlah indikator itu di antaranya regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi agama.
Tentang regulasi pemerintah kota, misalnya, indikator yang digunakan adalah sejauh mana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) mengakomodasi kepentingan kelompok minoritas. Selain itu, juga pembentukan produk hukum dan pendukung lainnya, serta ada tidaknya kebijakan yang diskriminatif yang dikeluarkan kota tersebut.
Direktur Riset Setara Institute Halili, Selasa (10/12/2019), mengatakan, Jakarta berada pada peringkat ketiga terbawah setelah Tanjung Balai dan Banda Aceh. Jakarta mendapatkan poin 2.880, Banda Aceh 2.817, dan Tanjung Balai di posisi terbawah dengan 2.817.
”Jakarta ini paradoks. Semakin modern kota idealnya masyarakatnya kian beradab, toleran, dan inklusif. Namun, Jakarta justru sebaliknya. Konservatisme semakin menguat dengan basis sosial masyarakat yang rapuh,” ujar Halili.
Halili juga melihat, tidak ada terobosan signifikan, baik pernyataan publik maupun tindakan nyata, selama kepemimpinan Gubernur DKI Anies Baswedan. Dalam kasus persekusi aktivis media sosial Ninoy Karundeng, misalnya, tidak ada pernyataan yang kuat dari gubernur untuk menepis isu ini.
Dengan kondisi masyarakat yang masih bersifat paternalistik, kondisi ini seolah menjadi pembiaran. Tirani kelompok mayoritas membuat tindakan yang salah, yaitu mengancam minoritas, menjadi seolah tindakan yang dibenarkan.
”Selain itu, juga ada masalah perizinan pendirian Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu yang sampai saat ini belum selesai,” kata Halili.
Halili menjelaskan, politik identitas pada Pilkada 2017 mendorong menguatnya konservatisme di Jakarta. Bahkan, pada masyarakat yang terdidik pun isu konservatisme ini masih laku. Akhirnya, masyarakat semakin terpolarisasi, terutama kelompok konservatif dan moderat. Isu ini akhirnya menjadi alat untuk memecah belah kerukunan warga.
”Di sini, figur gubernur diperlukan untuk tata kelola masyarakat. Namun, kami melihat Gubernur DKI justru tidak bisa bersikap netral dan melindungi kelompok minoritas,” kata Halili.
Berbeda dengan Jakarta, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi justru berhasil menyelesaikan konflik penolakan pembangunan gereja Santa Klara di Bekasi Utara. Pada Agustus 2019, Rahmat meresmikan rumah ibadah yang tertunda pembangunannya selama 21 tahun. Ia bahkan mengeluarkan pernyataan yang sangat keras dan dianggap sebagai simbol perlindungan bagi kelompok minoritas.
Di Bogor, Wali Kota Bima Arya yang terpilih selama dua periode juga berkomitmen untuk menuntaskan konflik gereja Yasmin. Kebijakan untuk melindungi kelompok minoritas itu tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) ataupun kebijakan lain.
Kota Bogor juga termasuk kota yang merespons positif hasil indeks kota toleran yang dikeluarkan oleh Setara Institute. Setelah dua tahun, yaitu 2015 dan 2018, masuk dalam 10 besar kota intoleran, kini terlihat komitmen dari kepala daerahnya untuk berbenah. Ada komitmen dari kepala daerah untuk menciptakan lingkungan yang memberikan rasa aman pada kelompok minoritas.
”Di Jakarta, saya melihat tidak ada terobosan apa pun. Bahkan, ada kecenderungan pemimpin memfavoritkan satu kelompok mayoritas,” ujar Halili.
Di sini, figur gubernur diperlukan untuk tata kelola masyarakat. Namun, kami melihat Gubernur DKI justru tidak bisa bersikap netral dan melindungi kelompok minoritas.
Beda hasil
Sementara itu, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DKI Jakarta Taufan Bakri mempersilakan Setara Institute menyampaikan pandangannya sesuai dengan hasil riset yang sudah dilakukan. ”Namun, ada data bahwa kami kota paling berdemokrasi di Indonesia. Maknanya, kebebasan sipil tinggi,” ujarnya, Selasa (10/12/2019).
Berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia 2018 yang dibuat Badan Pusat Statistik (BPS), DKI Jakarta menempati posisi tertinggi di antara provinsi-provinsi seluruh Indonesia, dengan nilai 85,08. DKI mengalahkan Bali (82,37) serta Nusa Tenggara Timur (82,32).
Skor Jakarta naik 0,35 poin dibanding skor dalam indeks serupa tahun 2017, yang saat itu sebesar 84,73. Aspek kebebasan sipil naik 7,36 poin dan aspek lembaga demokrasi naik 87,82 poin.
Taufan menyatakan, Pemerintah Provinsi DKI terus bekerja meningkatkan kerukunan di antara warga, termasuk antar-umat beragama. Jemaat Ahmadiyah dan penganut kepercayaan Baha’i, misalnya, menurut dia bebas beribadat di Ibu Kota selama tidak menimbulkan hal-hal yang menyinggung perasaan umat beragama lain.
Soal polemik umat Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu di Jakarta Selatan yang belum kunjung mendapatkan izin pendirian rumah ibadah, Taufan menuturkan, masalah itu masuk ranah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Pemprov bersinergi dengan FKUB untuk menuntaskannya.