DEPOK, KOMPAS - Depok menjadi satu-satunya kota di sekitar Jakarta yang belum memiliki angkutan umum massal berbasis jalan atau bus (bus rapid transit/BRT). Padahal moda transportasi itu bisa menjadi solusi untuk mengatasi kemacetan yang terjadi setiap hari di jalanan Depok.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Depok Widyati Riyandani, di Depok, Jumat (25/1/2019), mengatakan, rencana menghadirkan angkutan umum massal berbasis jalan atau bus (bus rapid transit/BRT) seperti Transjakarta di Jakarta, sebenarnya sudah lama muncul.
Di 2014, Dinas Perhubungan Depok telah mengkaji trase jalan yang memungkinkan untuk BRT. Dari kajian itu, ada tiga koridor yang dinilai cocok. Ketiga koridor itu telah dimasukkan ke dalam rencana aksi Bappeda Depok terkait Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).
Rute koridor 1, yaitu Terminal Depok-Sawangan-Parung yang akan terintegrasi dengan BRT transjakarta dan KRL Commuter Line.
Koridor 2, Terminal Depok-Margonda-Akses Universitas Indonesia-Cimanggis-Juanda-Margonda-Terminal Depok yang terintegrasi dengan usulan kereta cepat ringan/LRT Cibubur-Pondok Cina.
Koridor 3, Terminal Jatijajar-Tole Iskandar-Margonda-Juanda-Raya Bogor-Terminal Jatijajar yang terintegrasi dengan rencana BRT Transjakarta, LRT Cibubur-Pondok Cina, dan KRL Commuter Line.
Namun untuk merealisasikannya, masih ada dua tahapan yang harus dilalui. Keduanya, penyusunan studi kelayakan dan penyusunan gambar kerja.
“Berdasarkan rencana aksi RITJ, penyusunan studi kelayakan untuk BRT kita rencanakan pada 2021. Kalau dinyatakan layak, baru ke tahap penyusunan gambar kerja," kata Widyati.
Dia berdalih tahapan-tahapan ini harus dilalui agar saat direalisasikan, dapat betul-betul berguna untuk masyarakat Depok. "Kita tidak mau berujung gagal seperti penerapan BRT di sejumlah kota lainnya,” tambahnya.
Kendala lainnya, menurut Widyati, Pemerintah Kota Depok tidak memiliki anggaran untuk mensubsidi BRT. Padahal subsidi penting agar tarif yang dibebankan ke penumpang angkutan tidak terlalu tinggi. Tarif yang rendah dibutuhkan agar masyarakat mau menggunakan angkutan umum massal.
Selain itu, karena angkutan daring kini menjadi idola bagi masyarakat Depok. Jadi kalaupun angkutan umum massal berbasis jalan atau bus dibuat pemerintah, dia khawatir masyarakat akan tetap memilih angkutan daring.
Hal lain, menurut Kepala Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Bappeda Depok Dody Setiawan, kondisi jalan-jalan di Depok yang sempit, tidak mudah untuk bisa dilalui BRT. Jika BRT dipaksakan, dia khawatir akan membuat jalanan di Depok semakin macet.
Sementara itu, Tika (40), warga Depok Timur, menyambut baik jika Depok memiliki BRT. Angkutan umum massal itu diyakini akan mengurangi kemacetan.
Hal yang sama disampaikan oleh Mery Riski (30), warga Depok lainnya. Namun, dia pesimistis rencana itu bisa direalisasikan. Tata kota Depok menurutnya bakal menjadi hambatan. “Tata kotanya tidak beraturan. Mal semakin banyak, sementara jalan sempit. Tata kotanya perlu dibenerin dulu,” ujarnya.
Mendukung
Peneliti transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menilai, angkutan umum bisa mengatasi persoalan kemacetan yang selalu terjadi setiap hari di Depok. Oleh karena itu, penguatan angkutan umum penting. Tidak hanya di jalan-jalan utama tetapi hingga masuk ke permukiman untuk memudahkan masyarakat Depok.
Terkait karakteristik jalan di Depok yang sempit, menurut Djoko, hal itu bisa diatasi dengan mengadopsi BRT tanpa jalur khusus.
“Yang penting sediakan angkutan murah dan aman. Harus ada masterplan angkutan umum Depok,” ujarnya. (YOLA SASTRA)