JAKARTA, KOMPAS - Pilihan aspek pemihakan terkait pengelolaan lingkungan mesti jelas dilakukan untuk menjamin efektivitas. Setidaknya ada tiga aspek yang dalam praktiknya cenderung tidak beriringan yakni kesehatan, infrastruktur, dan estetika.
Novita Anggraini, pegiat lingkungan di organisasi nonpemerintah Ngopi Jakarta (NgoJak) yang bergiat di bidang sejarah, budaya, lingkungan, dan kemanusiaan mengutarakan hal tersebut pada Jumat (9/3).
Hal itu terkait dengan konteks kerap mubazirnya sejumlah infrastruktur untuk memperbaiki kesehatan warga Jakarta yang dibangun dengan pertimbangan estetika tertentu.
Salah satu contohnya adalah keberadaan fasilitas “septic tank” di sebagian wilayah yang cenderung tidak dimanfaatkan dengan baik. Pada beberapa lokasi, sebagian warga justru memilih buang air besar di sungai yang menjadi bagian dari aliran Ciliwung.
Ini masih ditambah dengan ketersediaan air tanah yang relatif terbatas dan tidak bisa dieksploitasi berlebihan. Padahal, sebagian besar warga di kelompok masyarakat pada sebagian perkampungan di pinggir sungai bergantung pada pasokan air tanah (dangkal) menyusul keterbatasan akses pada layanan air perpipaan.
Sebelumnya pakar forensik geoteknik, Prof Chaidir Anwar Makarim menjelaskan empat klasifikasi lapisan tanah menyimpan air. Pertama lapisan dangkal (un-confined aquiver) pada kedalaman 0-40 meter.
Kedua, lapisan “confined upper aquiver” dalam batas 40 meter hingga 140 meter. Ketiga, lapisan “confined middle aquiver” di kedalaman 140 meter hingga 250 meter dan terakhir adalah lapisan “confined lower aquiver” di kedalaman lebih dari 250 meter.